“Apa yang salah sih, Van?”
“Mungkin karena muka lu nyebelin, Mik.”
“Ya muka gue emang begini. Mau dioperasi kresek sepuluh kali juga gue bakalan tetep begini.”
“Terus gimana sekarang? Lu baru tiga hari kerja di sana.”
“Nggak tau!”
Mika tertidur sangat nyenyak semalam. Berbeda dengan makhluk kebanyakan yang kesulitan tidur saat hatinya dipenuhi rasa marah. Bahkan hampir saja dia kesiangan dan luput melaksanakan shalat subuh. Untungnya, alarm ponselnya mampu membangunkannya setelah dering ketiga.
Hari ini dia masuk shift siang. Paginya diisi dengan rebahan sembari melanjutkan membaca novel kesukaannya. Tak tega melihat Vanilla yang masih kesal karena semalam dia mengabaikannya, akhirnya Mika menceritakan semua kejadian yang dialaminya di tempat kerja. Termasuk gambaran detail mengenai sikap dan penampilan para teman kerjanya.
“Nanti pasti dipanggil Adnan atau manager lu deh ke office,” ucap Vanilla.
“Asal jangan dipanggil Tuhan aja, Van. Gue belum siap.”
“Ish! Gue serius tauk!!!”
“Ya gue juga serius. Amal ibadah gue belum cukup buat dibawa menghadap Tuhan.”
Vanilla kembali menyuapkan banana cheese cakenya yang dia beli di supermarket.
“Semalem gue hampir telepon Dias.”
Mika menengok ke arah cewek mungil yang sangat fokus pada kuenya. Dia tidak menyadari perkataannya membuat airmuka Mika berubah.
“Habisnya lu nggak bisa dihubungi. Gue juga nggak tau gimana cara nyari lu. Mana udah malem banget.”
“Biarin dia tenang, Van. Nggak usah usik dia sama permasalahan gue lagi.” Mika kembali pada halaman bacaannya. Dia sudah berhasil menetralisir perasaannya.
“Mik...”
“Apa?”
“Mik... liat gue!”
“Males, upil lu nongol!”
“Ish!”
“Apaan?!” Mika terpaksa kembali menatap sahabatnya.
“Dias masih sayang banget sama lu. Yakin kalian bakalan terus begini?”
“Sementara, ini yang terbaik, Van.”
Pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan hal lain selain pekerjaan. Bahkan hatinya yang nyeri dan merindukan Dias pun mampu dia redam. Dia akan melipat rapi seluruh kenangan manis bersama Dias dan membiarkannya tersimpan dalam ingatan. Toh, seperti halnya yang terjadi pada ibu dan bapak. Jodoh tak akan pernah ke mana. Seseorang yang sudah ditakdirkan untuk kita, akan kembali bagaimanapun caranya.
***
Hari keempat,
Mika membuka jaket dan tasnya kemudian menaruhnya di dalam loker. Satu persatu karyawan bagian logistik, chef dan barista menyapanya dengan ramah. Namun dia hanya menjawabnya dengan mengangguk. Pulpen dan ponselnya sudah dimasukkan ke dalam saku. Selama bekerja, dilarang untuk menggunakan ponsel. Namun, Mika merasa lebih tenang jika dia membawa ponselnya dibandingkan harus tergeletak dalam tas.
“Mik, ikut gue.” Haikal tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Mika mengikuti langkah Haikal menuju office. Langkahnya tenang dan napasnya teratur. Di dalam kantor sudah ada Adnan dan managernya, Pak Darmawan. Pak Darmawan tersenyum ramah dan mempersilakan Mika untuk duduk. Haikal berdiri di samping Adnan.
“Gimana, Mika? Betah kerja di sini?” tanya Pak Darmawan.
Mika mencoba tersenyum namun tidak mengangguk ataupun menggeleng. Managernya tertawa lepas.
“Saya sebenarnya percaya kamu dapat melakukan tugas dengan baik. Sampai saya mendengar keluhan soal keributan semalam,” ucap Pak Darmawan mulai serius.
“Kalau Bapak memanggil saya ke sini untuk mendengar penjelasan, saya menolak untuk menjelaskan,” tegas Mika membuat manager dan supervisornya menghela napas. Haikal pamit undur diri setelah membisikkan sesuatu pada Adnan.