“Ja-di lu yang su-ka pos-ting foto gue?!”
Mika mengeja kalimatnya dan mengucapkannya dengan tajam. Dia mendorong bahu Boni berkali-kali menggunakan jari telunjuknya. Cowok dengan tubuh gempal itupun terpojok. Wajahnya jelas sekali menampakkan ketakutan melihat wajah sangar Mika.
“Mik, bentar. Denger dulu penjelasan gue.”
“Boleh, tapi satu kata satu tonjokan. Gimana?”
Mika menggulung lengan kemejanya dan mengikat rambut sebahunya dengan kasar. Tangannya mengepal sudah gatal ingin menonjok seseorang.
“Mik, komentar orang-orang bukan tanggung jawab gue. Yang jelas gue posting karena beneran ngefans sama lu.”
BUK!
Satu tonjokkan keras mendarat tepat di perut Boni. Cowok itu terjerembab dan mengaduh kesakitan seperti hampir menangis. Mika kesal saat bagiannya direbut oleh orang lain. Dia menoleh tajam ke arah seseorang di sampingnya.
“ISH! SIAL. Harusnya itu bagian aku!” Mika menyalak.
“Maaf, kamu kelamaan.” Dias mengangkat bahunya tak peduli.
“ISH!!!”
Cewek cantik itu berlalu kesal. Vanilla terlihat gugup dari kejauhan. Mika tahu betul siapa yang bertanggung jawab atas kedatangan Dias yang tiba-tiba. Pasti sahabatnya.
“Suruh siapa sih kasih tau Dias?”
“Ya habisnya, gue nggak bisa bayangin kalau tangan lu dipake buat mukul orang. Nggak boleh, Mik. Istighfar, Mik. Istighfar.”
“Ish! Mau gue pukul beneran lu?!”
Vanilla meringis.
Dias datang bersama Boni yang masih memegangi perutnya kesakitan. Mika menunjuk Vanilla dan Dias bergantian kemudian menatap mereka dengan amarah yang masih membara.
“Awas kalau ada yang ngikutin gue!”
***
Mika sudah berjalan masuk ke kos dan hampir sampai di kamarnya kalau saja tidak terjeda oleh ponselnya yang bergetar. Dia menghentikan langkah dan menerima panggilan dari Haikal terlebih dahulu.
“Mik, sibuk nggak?”
“Sibuk!”
Mika langsung memutus sambungan telepon. Baru saja dia kembali melangkah, ponselnya kembali bergetar.
“Ish!”
Dia mengangkatnya kesal, “Apaan lagi anjir? Emang gue punya utang sama lu?!”
“Gue tunggu di kafe kemaren ya. Masih ada amanat dari Pak Darmawan yang belum gue sampein.”
“Kemaren kenapa nggak sekalian? Ngerepotin gue aja.”
“Lha? Yang langsung pergi kan lu. Kenapa gue yang disalahin?”
“Ish! Yaudah tunggu!”
Mika sempat menyesali keputusannya berhenti kerja. Sudah hampir dua minggu dia menganggur. Sekarang dia harus kembali dipusingkan dengan menyebar surat lamaran kerja dan membuang waktu dengan menunggu ketidakpastian. Sedangkan semakin hari, uang simpanannya semakin berkurang. Dia juga tidak mungkin meminta kepada bapak dan membuat keluarganya khawatir.
Uang dari Pak Darmawan dia sisihkan sebagian untuk membayar setengah uang kos bulan depan dan sebagian lagi untuk bekal sehari-harinya.
Dia penasaran amanat apalagi yang harus dia terima dari mantan managernya itu. Rasa penasaran menuntun jemarinya untuk memesan ojek online menuju kafe yang dimaksud oleh Haikal. Lokasinya tidak jauh dari pusat perbelanjaan tempatnya bekerja dulu. Hanya sekitar lima belas menit, dan sekarang dia sudah sampai.
Terlihat sosok cowok yang duduk sendirian sembari memainkan cangkir kopi di hadapannya. Cewek cantik itu menghela napas berat dan berjalan masuk ke dalam kafe untuk menghampiri Haikal.
“Apaan?” tanya Mika tanpa basa-basi.
“Mik, emang nggak bisa ya lu agak selaw dikit? Kita kan temen.”
“Nggak bisa. Kita tuh temen kerja. Sekarang gue udah nggak kerja. Jadi bukan temen. Lagian liat muka lu cuma bikin gue kesel.”
Haikal hampir tertawa. Tapi dia mulai malas juga dengan kelakuan cewek di hadapannya.
“Pak Darmawan ngerekomendasiin lu buat kerja di kafe temennya. Lu bersedia nggak?”
“Jauh nggak?”