"Mana yang lebih buruk?
Saat ada ribuan diksi yang mendesak dan meletup-letup di kepala berharap dapat dituangkan, atau saat bahkan jutaan kalimat sekalipun, tak mampu mewakili yang kau rasakan?"
-Mikayla Renjana-
Menurut sebagian orang, seluruh kesulitan hanya akan berakhir, jika pola pikir kita sudah berubah lebih dewasa. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa kesulitan tidak akan pernah berakhir. Hanya ada dua bagian. Karena jika lebih dari dua, maka akan dikatakan sepertiga atau seperempat orang. Bukan sebagian.
Suasana kafe sedang ramai. Aroma kopi menguar memenuhi ruangan. Belum lagi harum kue dan cemilan yang sedang dibuat oleh Dera. Semuanya menyatu dan menemani para pengunjung yang betah berlama-lama di sana. Ada beberapa pengunjung yang menarik perhatian Mika. Dia mulai mengamati mereka satu persatu. Ada pasangan yang sepertinya sedang berbeda pendapat karena si cewek terus menerus berbicara, sedangkan si cowok memasang wajah bosan dan kesal. Jika terjadi pada dirinya, dia akan lebih memilih berbicara dengan tembok daripada tidak direspon. Atau bisa jadi dia akan lebih memilih kambing daripada pacarnya. Kalau kambingnya mulai mengembik menyebalkan dan bobotnya sudah terlalu berat, dia bisa meminta Pakde Junaedi untuk menyembelihnya.
Si cewek terlihat mengetuk meja di hadapan pacarnya itu meminta perhatian. Namun si cowok masih diam saja. Mika mengulum senyum. Setidaknya, meski Dias juga terkadang menyebalkan, tapi dia tidak pernah tak mengacuhkannya. Cewek cantik itu menggeleng cepat. Salah. Ini salah. Dias bukan lagi pacarnya.
"Mik, nanti sore baliknya nunggu closing ya. Hari ini kan lu gajian pertama." Ray mengingatkan.
"Iya, Ray. Thanks ya."
Beberapa hari yang lalu Nara meneleponnya. Dia mengatakan bahwa uang untuk membayar biaya laboratorium sekolahnya masih kurang. Bapak dan Ibu terlanjur membelanjakan uang tabungannya untuk mengisi toko yang mulai mereka rintis kembali. Ibu sudah mencoba meminjam uang ke buliknya dan nihil. Bulik beralasan bahwa anak-anaknya pun sedang membutuhkan banyak biaya untuk kuliah.
Meski bapak melarang Nara untuk meminta kepada Mika, tapi anak rese itu tidak peduli. Dia hanya memedulikan sekolahnya saja. Mika menemukan perasaan baru dalam hatinya. Perasaan haru saat Nara begitu membutuhkan bantuannya, lalu sebagai seorang kakak, dia mampu memberikannya. Dia berjanji akan mentransfer uang setelah gajian. Dan hal itu cukup membuat Nara berhenti menangis dan memutus panggilan telepon tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Perasaan haru itu menguap. Sia-sia saja.
***
"Nih." Vanilla menyodorkan es krim kepada Mika.
Malam ini, Vanilla menjemputnya menggunakan mobil. Cewek mungil itu baru pulang dari Bekasi dan memutuskan membawa mobil untuk beberapa hari. Tentu saja dengan alasan dia membutuhkannya untuk bepergian bersama Braggy. Orang tuanya yang begitu bangga kepada keponakannya yang sudah tergolong sukses saat usianya masih muda, tidak keberatan sama sekali. Berbeda jika dia yang meminta mobil hanya untuk kepentingannya, papanya akan menyuruhnya untuk menaiki mobil yang ada dalam game saja. Tidak masuk akal.
"Gimana rasanya punya uang hasil kerja sendiri, Mik?" Sahabatnya itu bertanya sambil menerawang menatap langit. Mika menengok dan mengabaikan es krimnya sejenak.
"Biasa aja," jawab Mika.
"Gue mulai bosen kuliah. Apalagi nyusun skripsi nggak semudah main game."
"Lu harus selesein kuliah. Bisnis keluarga lu harus ada yang pegang," saran Mika.
Vanilla menghela napas berat. "Kan ada Abang gue. Lagian Bang Rudi udah bisa handle semuanya sendiri."
Keluarga Vanilla memiliki bisnis rental mobil yang besar. Tidak hanya mobil keluarga atau city car. Melainkan minivan dan bus juga disewakan ke perusahaan yang membutuhkannya sebagai fasilitas antar-jemput karyawan. Atau untuk acara tertentu.
"Lu kenapa?" tanya Mika tiba-tiba.
"Ish! Gara- gara Papa nyebelin sih. Katanya, di antara semua keponakannya, cuma gue doang yang ambil jurusan biasa aja. Yang lain rata-rata kuliah di luar negeri. Atau dalam negeri tapi ambil kedokteran Undip, hukum UGM, sastra Jepang UI, teknik sipil ITB. Bahkan Abang gue aja kuliahnya di UI. Papa bilang gue nggak punya kemauan yang keras buat sukses," keluh Vanilla.
Mika mengerti. Bisa dibilang memang Vanilla ini anak tiri atau semacam anak yang tidak diinginkan. Lingkungan tempatnya tumbuh memaksanya untuk menjadi seseorang yang hebat. Mereka tidak cukup lapang menerima seseorang yang biasa saja.
"Dicoret dari KK nggak?" tanya Mika lagi.
"Ish!!!" Vanilla memukul bahu Mika keras. Namun tawanya kembali. Dia tertawa keras tanpa memedulikan sekelilingnya.
Kini mereka sedang menikmati es krim di tempat duduk yang sudah disediakan oleh mini market 24 jam yang tak jauh dari kosnya. Mika meminta untuk mampir terlebih dahulu untuk setor tunai uang gajiannya dan mengirimkan sebagian kepada Nara.
"Lu bisa, Van. Udah tenang aja. Mereka nggak akan buang anak selucu lu." Mika mencoba menghibur tapi tidak lucu sama sekali.
"Apaan sih dari tadi bahas coret KK, dibuang. Ish!"
"Ya gue sebenernya tau apa yang ada di benak Papa sama Mama lu. Sabar, Van."
"Ish!!!"
"Jadinya Braggy mau bisnis kuliner apa?" tanya Mika menikmati sisa es krimnya yang mulai mencair.
"Belum tau. Masih survey, katanya."
"Suruh jualan ayam krispi aja. Diapain kek itu ayam," usul Mika.
"Ntar gue sampein deh."
"Kalau kata gue, sekelas dia mah buang tenaga kalau ngerintis usaha setengah-setengah. Mending langsung minta bokapnya beliin dia gedung di Jakarta. Ubah jadi restoran atau apalah. Kalau mau ngebangun citra mulai dari nol kayak pegawai SPBU, ya minta dibeliin gedung kecil aja dulu. Dia bikin masakan yang enak. Pekerjakan koki profesional. Terima pesanan online aja dulu. Terus beberapa bulan kemudian, ganti gedung. Biar bisa makan di tempat. Atau apalah. Yaelah. Yang punya wilayah Tangerang, apa sih yang nggak bisa?"
Vanilla tercengang. Berteman selama bertahun-tahun, baru kali ini Mika berbicara panjang lebar.
"Katanya lu nggak tertarik?" sindir Vanilla.
"Iya, sih. Tapi akhir-akhir ini dia sedikit sopan. Yang biasanya sms atau chat bisa sampe 30 kali, sekarang berkurang," jelas Mika.
"Jadi berapa?"