"Lu udah nggak ada hubungan lagi sama Mika. Terus urusan lu apa ngelarang gue ngunjungin dia di tempat kerjanya?" Aldo mendorong tubuh Dias membuat cowok manis itu terpojok.
Pagi tadi Aldo mengirimkan sebuah pesan berisi share location. Dia langsung mengirimkan pesan pada Mika untuk memastikan keadaan cewek cantik itu baik-baik saja.
Setelah mendapatkan pesan balasan dari Mika, dan mengetahui keberadaan cewek cantik itu, tanpa berpikir panjang, dia langsung mendatangi alamat yang dikirimkan oleh Aldo.
Di sinilah dia sekarang. Dikepung lima orang sehingga sulit untuk melawan bahkan melarikan diri. Sekali pengecut tetap pengecut. Dia tidak menyangka Aldo akan sepengecut dan senekat ini.
"Mulai sekarang, biarin Mika jadi mainan gue dan lu berhenti ikut campur!"
Dada Dias mulai memanas. Andai saja tangannya tidak terikat kuat, sudah dipastikan dia akan mengamuk sejadinya.
"Tahun berapa sekarang? Yang lu lakuin udah ketinggalan jaman. Norak! Lepasin gue sialan! Satu lawan satu kalau lu berani!" Dias tak dapat manahan rasa marahnya.
"Gue nggak peduli. Gue cuma harus memastikan kejadian beberapa taun lalu nggak terulang saat lu dan temen lu bikin gue babak belur!"
Aldo senang melihat Dias mulai menderita. Ujung matanya menunjuk lima orang yang terlihat seperti preman bayaran.
"Habisin langsung!" perintah Aldo.
Lima lawan satu. Meski tangannya terikat, Dias masih berusaha melawan sampai akhirnya tubuhnya tak sanggup lagi berdiri. Lima preman itu berhasil menumbangkannya, membuatnya terkapar dengan darah segar yang mulai mengalir dari sudut bibir dan pelipis matanya. Meski dia sudah mengerang kesakitan, pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, belum juga berhenti. Tenggorokannya tercekat saat salah satu dari mereka menodongkan pisau dan menusuk perutnya. Dias merasakan sakit luar biasa, mengerang sekuat tenaga. Namun darah segar yang tak berhenti mengalir, membuatnya semakin kehabisan tenaga. Matanya mengabur dan rasa sakitnya mulai samar. Dia hilang kesadaran.
Begitu Dias sudah tak bergerak, Aldo beserta komplotannya meninggalkan tempat itu. Sebuah gang buntu yang sempit dan tidak terjamah. Bahkan bila ada yang terkapar berhari-hari di sana pun, tidak akan ada yang mengetahuinya.
***
Dias mengerjapkan matanya perlahan. Gelap. Dia tidak dapat melihat apapun. Pikirannya belum jernih. Sulit sekali mengingat apa yang terjadi. Hanya rasa nyeri di sekujur tubuh yang dia rasakan. Kepalanya terasa berat. Begitu pula dengan tangan dan kakinya yang tidak dapat digerakkan. Sangat sakit.
"Hei... are you okey?"
"Mika? Kamu di sini?"
"Kamu nggak apa-apa?"
"Mik, kamu nggak apa-apa? Saya... saya..."
Kepala Dias sangat sakit. Ingatannya terlempar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Dia mengerang hebat dan kesadarannya kembali. Matahari Jakarta menyengat tubuh penuh lukanya. Dia kembali mengerjapkan matanya. Tidak ada Mika atau siapapun di sini. Tatapannya tertuju pada jalan raya yang ramai. Tangannya yang terikat sudah mati rasa. Kakinya tidak dapat digerakkan. Dias bersusah payah menggerakkan kakinya namun gagal. Dia melihat darah segar masih mengalir dari perutnya yang tertusuk pisau.
Dias mulai memahami yang terjadi. Dia sekarat karena dikeroyok lima orang sekaligus. Motor yang diparkirnya sembarang, menutupi tubuhnya yang terkapar. Membuat siapapun yang berjalan melewati gang, tidak akan pernah menyadari keberadaannya. Dia mengutuk dirinya sendiri yang merasa sangat bodoh karena tidak dapat memprediksikan hal ini. Kini tangannya terikat dan kedua kakinya sangat nyeri. Tas selempangnya tersangkut jauh di atas motor. Dia menghela napas berat.
"Tamat!"
Kini dia tahu, bahwa jagoan yang sering dilihatnya di film action, tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Biasanya, tidak peduli sudah tertembak atau jatuh dari gedung berkali-kali, mereka masih dapat bangkit dan berlari. Namun kini dia sungguh tidak berdaya. Seluruh tubuhnya sangat nyeri meski hanya dikarenakan gerakan kecil yang sengaja dia buat.
Ponselnya berdering berkali-kali. Dias memejamkan matanya. Yang jelas, dia tidak dapat berteriak minta tolong karena tenggorokannya sangat sakit. Entah preman mana yang melayangkan tendangannya di sana. Juga dia tidak dapat bangkit untuk meraih ponselnya dan meminta tolong. Tubuhnya lemas. Bau anyir membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kini dia tak tahu lagi mana bagian yang nyata atau tidak.
***
Sikut Mika menekan leher Boni kuat.
"Jadi di mana? Di ruangan mana Dias dirawat??!! Sialan! Jawab sekarang sebelum kesabaran gue habis!!!"
Boni megap-megap sembari mencoba mendorong Mika. Dia tidak menyangka cewek cantik itu kuat sekali.
"Lepasin dulu!"
"Ngomong dulu!"
"Mikaaa!!! Mik!!!" Vanilla berlari ke arahnya dan meraih tangannya kuat.
"Bisa mati anak orang, Mik. Lepasin!!!" teriak Vanilla.
"Ish!"
Mika melepaskan Boni. Dia langsung berjongkok lemas meremas rambutnya kesal. Airmatanya sudah mengalir tak tertahan. Braggy yang ikut datang bersama Vanilla, langsung meraih bahu Mika dan membantunya berdiri, memapahnya menuju kursi ruang tunggu rumah sakit.
Vanilla menepuk-nepuk punggung Boni yang hampir kehabisan napas.
"Sorry, Bon. Sorry. Lu nggak apa-apa?"
Boni hanya melambaikan tangannya pertanda dia baik-baik saja.