Mobil jazz merah melaju dengan cepat. Braggy memilih membawa Mika ke salah satu restoran tepi pantai yang masih beroperasi menjelang tengah malam. Dia berharap pemandangan dan suasananya dapat membuat perasaan cewek yang sedang terlelap di sampingnya itu membaik. Dia juga sudah mengabari Vanilla bahwa Mika sedang bersamanya. Agar sepupunya tidak khawatir.
Braggy memegang bahu Mika pelan.
"Mik, udah sampe."
Mika membuka matanya perlahan.
"Bukannya kita mau muter-muter doang? Ini di mana?"
"Muter-muter cuma biar kamu bisa tidur? Kamu bukan bayi, Mik. Ayo keluar. Kita makan dulu."
Mika mengedarkan pandangannya. Dia tersentak.
"Tunggu. Tunggu. Ish! Ngapain jauh-jauh makan di sini."
Braggy tidak memedulikan protes Mika. Dia langsung turun dari mobil dan berjalan untuk memesan menu makanan dengan total harga melebihi pembayaran minimum hanya agar mendapatkan tempat duduk yang memiliki view pantai.
Mika mengikuti langkah Braggy dengan terpaksa. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia terpesona dengan pemandangan di depannya. Laut membentang dengan balutan langit malam. Indah sekali. Bertahun-tahun di Jakarta, dia tidak pernah memikirkan apapun selain belajar dan kuliah. Setiap harinya berjalan sesuai rutinitasnya. Hanya sesekali diselingi makan di mal bersama Vanilla dan mengurung diri di toko buku. Mungkin Vanilla yang terbiasa menghadiri acara keluarga atau sekadar jalan-jalan dengan keluarga besarnya, sudah terbiasa dengan perasaan seperti ini sehingga tak lagi istimewa. Namun bagi Mika yang tak terlalu menyukai bepergian ke tempat baru, dia merasa hatinya sangat bebas. Kekang yang membelenggunya seperti terlepas. Dia menghidu udara pantai dan menikmati semilir angin yang menerpa rambutnya.
Braggy tersenyum. "Sini duduk. Tunggu makanan datang," ucapnya.
Mika mengangguk dan mengucir rambutnya.
"Kok tahu ke sini?" tanya Mika.
"Tadi pas kamu tidur, aku nggak tahu lagi mau ke mana. Jadi langsung telepon sekretaris Papi yang stay di Jakarta. Dia ngerekomendasiin tempat ini."
Mika mengangguk. Perasaannya mulai membaik.
"Feeling better?" tanya Braggy.
"Iya. Lumayan. Thanks."
"Apapun yang terjadi sama Dias, itu bukan salah kamu, Mik."
"Gue tahu."
"Dan tolong pikirkan untuk berhenti dari kafe itu."
"Gue butuh kerjaan."
"Kamu cuma kurang persiapan untuk menghadapi krisis yang terjadi sesekali dalam hidup," ucap Braggy.
Mika menghela napas berat. Ya, siapa juga yang tahu kalau toko bapak akan kebakaran. Dia tidak pernah tahu bahwa hidupnya akan jatuh sampai ke titik ini.
"Setelah aku telaah apa yang terjadi, seharusnya kamu nggak cuti kuliah."
Mika tertawa.
"Ish! Lu nggak tahu apa-apa, Gi. Jadi kita urus aja masalah kita masing-masing. Lu sendiri kenapa nggak mau lanjutin bisnis properti Papi lu yang udah besar di Singapur dan Jakarta?"
"Aku punya plan sendiri."
"Ya, sukses buat lu."
***
Braggy beruntung tidak membawa Vanilla ke tempat ini. Karena berbeda dengan Mika yang tidak perlu berpiring-piring makanan agar kenyang, Vanilla selalu sebaliknya.
"Kamu emang kalau makan nggak banyak atau malu-malu makan sama aku?"
"Ish. Gue emang kalau makan nggak banyak."
Hening.
Hanya suara para pengunjung lain yang terbawa angin sesekali menggelitik telinga. Mika menyandarkan tubuhnya ke kursi. Tidak ingin menyia-nyiakan momen malam ini. Braggy mengikuti posisi nyaman Mika.
"Kamu anak ke berapa, Mik?"
"Pertama."
"Kalau butuh sandaran, bisa sama aku, Mik."
"Nggak butuh."
Seorang pelayan menaruh sesuatu di meja kemudian langsung berlalu setelah diberikan ucapan terimakasih oleh Braggy.
"Sini pipi kamu."
"Mau ngapain?"
"Aku sengaja minta lap bersih sama es batu karena di sini nggak ada kompresan."
Braggy tiba-tiba menempelkan lap bersih yang diisi es batu ke pipi Mika.
"Biar nggak bengkak," ucapnya.