"Aldo ngilang dari kampus. Semenjak postingan dia dorong-dorong si Niki itu, kabarnya dia banyak kena bully, Mik," ucap Vanilla.
"Gue off-in akun itu sementara," bisik Boni. Vanilla menepuk-nepuk bahunya keras.
"Kerja bagus, Teman!" ucapnya.
Mika diam saja sembari menikmati siomay yang dibeli oleh Boni.
"Jadi, Dias gimana, Mik?" tanya Boni. "Kemarin anak kelasnya pada jengukin, katanya."
"Ya, mendingan."
"Kalau lu, kapan masuk kuliah lagi? Satu semester hampir selesai."
Ucapan Boni mengusiknya. Siomay dimulutnya mendadak terasa pahit. Cowok gempal itu benar. Sudah berbulan-bulan berlalu. Dirinya masih begitu-begitu saja. Bahkan dapat dibilang semakin terpuruk. Perlahan dia mulai mencerna keadaan dan membuat rincian masalah serta solusinya. Saat melakukannya, dia tercengang. Ternyata, semua masalahnya ada pada dirinya. Sikapnya yang menurut sebagian makhluk bumi dianggap menyebalkan adalah petaka. Dan solusinya, hanya dirinya sendiri yang tahu. Dia tidak dapat meminta tolong pada siapapun, termasuk bapak.
"Cieee, Mika udah nganggep gue temen nih," suara Boni memecah keheningan. Mika memicingkan matanya.
"Sahabat Mika satu-satunya cuma gue, Bon. Sabar ya. Langkah lu masih jauh," sela Vanilla dengan mulut yang penuh. Kebiasaan.
"Coba pas gue nanya soal kuliah tadi, kalau Mika yang dulu, gue udah didamprat, diusir, dilemparin apapun yang ada di sekitarnya. Pasti dia langsung melotot sambil ngomong, ish! Abis lu!" Boni terkekeh.
Vanilla menengok ke sampingnya.
"Tidak, JAMILAH!!! Kau tidak bisa melakukan ini padaku!!!" teriak Vanilla histeris.
"Ish!" Mika menyentil dahi cewek mungil itu dan langsung bangkit meninggalkan mereka. Tidak peduli yang satu berteriak menahan langkahnya dan yang satu mengumpat kesakitan karena dahinya memerah.
***
"Kamu jadi izin lagi kerja. Emang nggak apa? Minggu lalu kan udah izin," ucap Dias sembari mengancingkan kemejanya. Setelah dirawat hampir dua pekan, akhirnya dia diperbolehkan pulang.
"Ish! Minggu lalu mah aku dipaksa suruh izin."
"Saya pikir sama aja. Atau beda?"
"Beda."
"Kalau kamu begini cuma karena merasa bersalah, nggak perlu, Mik. Yang terjadi sama saya bukan salah kamu."
"Aku tahu," ucap Mika sembari tersenyum. Dia bangkit dari duduknya. "Aku begini bukan karena merasa bersalah sama kamu. Tenang aja. Buktinya, aku kerja masih diantar jemput cowok lain."
Dahi Dias mengernyit.
"Jujur deh dari kemarin bahas cowok lain tuh siapa?"
Mika meringis.
"Braggy. Sepupunya Vanilla."
"Jadi kamu sama dia terus?"
"Iya. Dia yang anter juga kalau pulang kerja aku mampir ke sini."
"Hemmh, syukurlah. Saya malah khawatir kalau kamu ke mana-mana sendirian."
"Bener???" ledek Mika.
"Iya..."
Dias mengangguk ragu. Meski ada yang menggelitik di hatinya, tapi dia merasa lebih tenang saat mendengar sepupu Vanilla selalu menjaga Mika.
Dias merasa ada yang berubah dari Mikanya. Selama dia dirawat, cewek cantik itu selalu mengunjunginya sepulang kerja. Bahkan hari libur pun digunakan untuk menggantikan Mira saat ayahnya juga sibuk bekerja. Kadang Mika terlihat sedikit ramah saat Nana, adik tirinya ikut menjaganya di rumah sakit. Hal itu di luar kebiasaan.
Dias khawatir cewek cantik itu diliputi rasa bersalah sehingga memaksakan diri untuk selalu ada di sisinya. Meski dia menyukai keberadaan Mika, namun bukan itu yang dia harapkan. Dia yakin dua minggu terakhir ini, cewek cantik itu benar-benar kurang istirahat. Bahkan ini pertama kalinya Dias tidak mengharapkan kehadiran Mika sama sekali.
Tok. Tok.
Pintu terbuka. Menampakkan sosok ayah Dias.
"Nak Mika, bisa ikut Om sebentar?"
"Bisa, Om."
Mika mengikuti langkah ayah Dias.
"Bentar ya," ucap Mika.
Dias mengangguk.
"Jadi sebenarnya apa yang terjadi? Om harus berpikir dua atau bahkan tiga kali untuk membiarkan Dias kuliah lagi di sana. Kejadian ini benar-benar membuat Om dan Tante tidak tenang," ucap ayah Dias setelah memastikan dia dan Mika sudah berada jauh dari kamar rawat inap Dias.
Mika menghela napas, "Saya juga masih belum tahu pasti bagaimana kejadiannya."
"Om akan bawa Dias pulang untuk sementara. Dan masih mempertimbangkan akan melaporkan hal ini ke polisi atau tidak. Demi Tuhan, taruhannya nyawa, Mika. Ini bukan perkelahian biasa."
Mika mengangguk setuju.
"Saya akan berusaha semampu saya agar Dias mau membuka diri, Om."
"Tolong ya. Kami tahu bisa mengandalkan Nak Mika."
"Iya, Om."
"Sekarang ikut ke rumah, kan? Mamanya masih mengurus administrasi di bawah."
"Nggak ikut, Om. Cuma antar Dias sampe masuk mobil aja. Tadi saya udah bilang juga ke Dias."