"Aku nggak diajak?"
"Nggak. Lu supir doang. Bye!"
Braggy tersenyum mendengar jawaban sepupunya. Dia kembali melajukan mobilnya setelah menurunkan kedua cewek itu. Dia dipaksa untuk menjemput mereka di kos dan mengantarkan langsung ke Dufan. Padahal, dia sedang melakukan rapat penting untuk mulai membuka restoran impiannya. Dia mengumpulkan beberapa rekan bisnis dari Singapur dan mulai mempresentasikan idenya. Orang-orang kepercayaan papinya pun ikut dilibatkan untuk membantu mengurus beberapa lisensi dan surat izin usaha. Setelah mendapatkan kesepakatan, dia mulai meminta semua orang bergerak. Tim hukum, marketing, dan lain-lainnya. Braggy tidak ingin membuang banyak waktu lagi.
"Jadi, kita mau naik apa dulu?" tanya Vanilla.
"Tornadooo!!!"
"Ayoook!!!"
Vanilla dan Mika memulainya dengan Tornado. Mereka sangat lincah. Rasa senang memenuhi dada mereka masing-masing.
Setelah seru berteriak sekuat tenaga, mereka langsung menaiki banyak wahana lainnya. Niagara, Halilintar, Galactica, Turangga rangga, dan Ontang anting. Tidak peduli terik yang menyengat, baju yang mulai basah oleh keringat, dan rambut yang mulai lepek karena terpapar sinar matahari. Topinya tidak membantu sama sekali.
"Arung jeram?"
"Setuju!"
"Istana boneka?"
"Setuju!"
"Makan ayam krispi dulu?"
"Setuju!"
Tidak terhitung berapa ribu kali Mika mengatakan setuju atas semua usul Vanilla. Dia tidak membantah sama sekali. Bahkan saat mereka mencoba wahana baru dan Mika muntah, cewek cantik itu masih bertahan seharian. Hari ini adalah harinya Vanilla. Mika akan mengabulkan semua keinginan cewek mungil itu.
Siang bergulir. Terik tak bertahan terlalu lama. Langit mulai meredup. Tidak panas pun tidak mendung. Semilir angin mengobati lelah kedua cewek lincah yang sekarang mulai kehabisan tenaga. Ramainya dufan membuat adrenalin mereka semakin terpacu. Botol kesekian air mineral sudah tandas. Bahkan mereka sudah mengganti kaosnya yang basah saat akan melaksanakan shalat ashar. Kemudian sedikit merapikan penampilan di toilet.
"Alhamdulillah seger ya," ucap Vanilla.
Mika mengangguk setuju.
"Mau naik bianglala?" tanya Vanilla.
"Yuk. Atau bentar lagi? Biar liat matahari tenggelam," saran Mika.
"Ih! Setuju!!!" Vanilla bersorak kegirangan.
***
"Lu beneran nggak mau ikut pulang? Nggak capek?" Vanilla menatap sahabatnya khawatir.
"Nggak, gue mau langsung ke rumah Dias. Tante Mira minta gue nginep."
"Biar aku antar aja, Mik." Braggy ikut membujuk Mika.
Cewek cantik itu menggeleng dan tersenyum.
"Dah... hati-hati. Gue mau naik busway."
Mika berlalu meninggalkan mobil jazz merah di belakangnya. Perasaannya sangat kacau, padahal bukan dia yang membuat balon hijau meletus. Matanya memanas dan langkahnya mulai berat. Dia harus memulai semuanya dari awal dan melepaskan seluruh belenggu yang mengikat hatinya.
Braggy benar. Kita membuat kisah kita sendiri. Akan bagaimana ceritanya, kita yang tentukan. Sekarang saatnya Mika menentukan akan ke mana langkahnya. Bukan hanya mengikuti arah angin atau arus sungai. Dia harus tahu akan bagaimana dia menjalani hidupnya.
Yang sudah terjadi, tidak dapat terulang. Toko yang sudah hangus terbakar, akan sulit kembali disatukan. Bahkan abunya, sudah tidak bernilai. Tapi hidupnya yang masih utuh, harus terus dijalani dengan penuh penerimaan. Mika sudah menentukan arah. Hanya menunggu waktu agar langkahnya kembali ringan, kemudian dapat menemui Vanilla dan Dias tanpa rasa bersalah sama sekali.
Satu dua airmatanya menetes. Dadanya sangat sesak. Langkahnya terhenti dan lututnya tak mampu lagi menyanggah tubuhnya.
"Ish! Sialan. Gue benci perasaan ini."
Berkali-kali dia memukul dadanya. Hingga airmata itu mengering dengan sendirinya. Menyisakan luka yang menganga.
***
"Kamu sendirian?"
"Iya, Vanilla sama Braggy ada urusan."
Dias menatap Mika dari atas ke bawah. Cewek itu sangat berantakan. Awalnya dia mengira karena Mika belum sempat membersihkan dirinya sepulang dari dufan. Namun begitu matanya bertumpu pada mata cewek di hadapannya, dia terhenyak. Mikanya sedang bersedih. Jelas terlihat kesedihan yang dalam di sana.
"Katanya habis main, kok sedih?"
"Hah? Ish! Sok tahu."
Dias memeluk Mika erat.
"Apapun yang membuat kamu nggak baik-baik aja. Saya harap bisa segera hilang. Saya cuma pengen lihat kamu selalu tersenyum."
"Iya, tapi aku bau keringet. Bisa tolong lepas pelukan kamu?"
Dias meringis.
"Ayo, masuk. Mama saya dari tadi nanyain terus. Saya udah bilang kamu lagi main di dufan dulu. Terus jangan kaget kalau liat muka cemberut Nana. Dia bilang nggak suka sama kamu soalnya kamu cantik."
"Ish! Padahal kita udah damai di rumah sakit."
Mika mengikuti langkah Dias. Hatinya menghangat. Rasanya, kalau boleh memilih, dia ingin membawa Dias ke manapun dia pergi.
"Om, Tanteee, maaf kemaleman mainnya. Saya habis dibajak Vanilla," ucap Mika saat mencium punggung telapak tangan Mira dan ayah Dias.
"Nggak apa-apa, Sayang. Nginep, kan?" Mira mengerlingkan matanya.
"Uhm, saya pikir Nana nggak akan mau berbagi kamar sama saya," canda Mika.
Nana memberengut sembari memeluk mamanya erat.
"Ma, dia itu kayak ratu kegelapan. Ckck. Kecantikan emang bukan segalanya." Ucapan Nana membuat semua orang tertawa. Termasuk Mika. Ada sesuatu yang terlepas di hatinya. Membuatnya sedikit ringan dan kembali bernapas dengan normal.