MIKA PELAYAN SENSI

Euis Shakilaraya
Chapter #27

Rindu

Jika hidup adalah perjalanan, maka menjalaninya adalah sebuah penantian panjang.

-Vanilla Mahira-

Cahaya matahari pagi menelusup melalui kisi-kisi jendela kamar Vanilla. Dia sudah terbangun, hanya enggan membuka mata. Sejak subuh, tubuhnya seperti memiliki ikatan khusus dengan kasur dan guling yang sedang dipeluknya.

"Onty... Onty Vanvan!" suara Rio, keponakannya. Vanilla mengabaikannya.

"Van... udah siang. Hari ini kamu wisuda lho. Kamu sakit?"

"Tuh kan, Ma. Rio bilang apa. Onty Vanvan nggak mau buka pintu dari tadi."

"Kamu sih tiap pagi rusuh terus. Jadi Onty sekarang kalau tidur selalu ngunci pintu." Kak Nisa selalu berdebat dengan Rio. Semenjak masuk sekolah dasar, anaknya semakin pintar bicara. Tidak heran. Rio anaknya siapa?

"Mama kok nyalahin aku?"

"Bukan. Maksud Mama, jaga sikap kamu. Van... Ayo sarapan. Aku tunggu di bawah yak."

Hari ini adalah hari yang sudah dinantikannya selama empat tahun. Namun lebur dan hanya menyisakan kesedihan jika mengingat bahwa dia harus wisuda tanpa Mika. Sahabatnya benar-benar diculik alien. Dia menyesal tidak menyadarinya sejak awal. Mika tiba-tiba berubah seolah dia akan menjemput kematiannya sendiri. Namun Vanilla dengan egois hanya memikirkan dirinya. Tidak sempat menatap jauh ke dalam hati sahabatnya. Dia pikir, bertahun-tahun bersahabat, dia sudah sangat mengenal Mika. Namun ternyata salah.

Sejak menghilangnya Mika beserta seluruh baju dan buku-bukunya, Vanilla tidak kuasa untuk melanjutkan kos di sana. Dia memaksa untuk kuliah menggunakan mobil pada papanya. Lagipula dia hanya tinggal menggarap skripsinya. Tidak perlu lagi kos karena jadwal bimbingan serta drama kejar mengejar dosen pun tidak menentu. Setelah perdebatan panjang, akhirnya dia diizinkan dengan catatan harus menyelesaikan kuliahnya tepat waktu.

Matanya basah. Dia menangis.

"Ish! Dasar Mika. Cewek sialan!!!"

Ponselnya berdering.

"Putri tidur, ayo bangun. Kamu nggak malu sama matahari?"

"Bodo! Kenapa?"

"Hei! Kamu wisuda hari ini. Aku mau menghadiri wisuda Dias. Kamu nggak mau bunga atau cokelat?"

"Hei! Sejak kapan kalian sangat akrab sampe harus hadir di acara wisudanya segala."

"Hahaha. Cepet bangun atau saya dobrak pintu kamar kamu."

"Ish! BODO AMAT!!!"

Vanilla mematikan ponselnya. Dia memaki-maki sepupunya itu.

Beberapa bulan lalu, Braggy sudah menceritakan seluruh kisah hidupnya. Hal itu membuat Vanilla terguncang. Semua yang terlihat baik-baik saja, tidak menjamin apapun. Bahkan yang dia sangka keluarga Braggy sangat hebat, ternyata di luar dugaan. Papinya menikah lagi entah yang ke berapa, maminya yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi dan diurus kepulangannya ke Indonesia, sungguh menyakitkan. Vanilla merasa begitu kecil di harapan Braggy.

Namun tidak ada hasil yang mengkhianati usahanya. Dengan ketekunan sepupunya itu, kini dia mulai mempersiapkan untuk membuka cabang yang ketiga dari restorannya, Mr. B. Sungguh merupakan hal yang membanggakan. Anak itu benar-benar hebat. Termasuk soal mengganggu ketenangannya.

***

"Restoran ini cabang ke berapa?" tanya Boni sembari menyuapkan Chiezzy Blue Banana ke dalam mulutnya. Pisang yang dipanggang dengan lumuran selai bluberi serta keju mozarella itu terasa sangat enak di lidah.

"Ini yang kedua. Cabang ketiga aku buka di Bekasi," jawab Braggy.

"Padahal pisang doang. Tapi enak banget." Mata Boni berbinar.

Braggy tertawa.

"Lu nggak tahu aja, Bon. Nih orang ngeluarin menu nasi uduk aja namanya jadi aneh banget. Maksa!" sela Vanilla.

"Emang apa namanya?" Boni penasaran.

Lihat selengkapnya