Pagi datang bebarengan dengan mentari.
Malam datang bebarengan dengan bulan menari.
Dan Cinta datang bebarengan dengan mekarnya hati.
“Oma…..” kata seorang gadis sedikit kesal. Bibirnya yang mungil sedikit dimain-mainkan hingga tampangnya seperti lumba-lumba yang hendak mencuat ke udara. Rambutnya panjang bebas ia uraikan. Badannya kecil, kurus dan sedikit kurang terurus.
Disamping gadis itu berderet manusia-manusia yang mendekati masa purba, ada yang antusias, ada yang terkantuk, ada pula yang sudah terlelap. Saat itu malam sudah menyapa.
Padang bulan membuat malam di beranda bangunan tua itu semakin sendu, bagai nostalgia lagu era-Belanda, bangunan itu masih tetap terabadikan, beserta para penghuni-penghuninya.
“Itu adalah cerita kesukaanku. Tidak apa kalau kau menceritakan hal yang sama setiap kali datang kemari. Lagipula aku menyukai suaramu yang lembut,” kata salah satu wanita tua yang masih antusias. Kulitnya sudah keriput, rambutnya yang ikal sudah memutih, giginya masih utuh, putih bersih dan rapi, entah gigi asli atau palsu.
“Ohhh, seperti seorang pembaca berita di TV, benarkan? Benarkan?” kata wanita tua yang sedang duduk di kursi malas, meminta persetujuan dari beberapa wanita tua yang lain yang juga duduk di sampingnya. Para wanita lanjut usia tersebut duduk di sofa-sofa empuk dan juga di kursi-kursi malas yang berada di beranda.
Sudah hampir setengah jam gadis itu bercerita, membacakan buku dongeng yang sangat disukai wanita tua itu. Jika kamu pikir buku dongeng hanya untuk mengantar tidur anak-anak, kamu salah. Nyatanya mereka para wanita tua itu juga sangat menyukainya. Mungkin dengan sedikit anekdot dan juga suara lembut gadis pendongeng itu, para pendengar tetap setia mendengarnya setidaknya sekali setiap pekan atau bulannya.
Milan nama gadis itu.
“Di Jakarta ini, sulit mencari gadis baik hati sepertimu? Siapa lagi yang bakal meladeni nenek-nenek tua seperti kami kalau bukan kamu?” kata seorang nenek yang sering dipanggil Oma Kasih.
“Oma…..” kata Milan memanggil akrab nenek tua tersebut, seakan sudah saling mengenal beberapa dekade, Milan duduk bersandar di sampingnya. Milan menjelma seperti benalu yang selalu menempel pada pohon belimbing jika sudah di dekat Oma Kasih, dan tangan hangat Oma Kasih menjadi pelipur kesedihan dan kesepian sang gadis.
“Ada apa lagi? Apa ada yang memarahimu?” Seperti biasa, Oma Kasih sudah bisa menebak gelagat gadis kesayangannya. Bukan hanya satu dua kali Milan curhat tentang kesedihannya selama hidup di Jakarta pada Oma. Karena itulah Oma sudah peka jika melihat ekspresi dan getaran suara Milan yang seperti itu.
“Siapa? Bilang pada Oma dan para nenek tua di sini? Kamu percaya kan, kutukan orang tua bakal manjur?” kata Oma kasih bersemangat. Mungkin yang ada di pikirann Oma sekarang adalah dia akan mengutuk siapa saja yang menyakiti Milan. dia pikir kutukan macam itu ada, bukan di dongeng, namun di era abad 21 yang semua serba online ini.
Walaupun usianya jompo, namun jiwa mudanya masih meletup bagai gunung berapi yang siap meletus menghamburkan awan panas dan juga lahar.
“Bilang….siapa lagi yang menggaggumu!” kali in kata nenek tua yang duduk paling ujung, belum terkantuk, walaupun terlihat lemah dengan tubuhnya yang sudah kering itu, dia masih bisa mengeluarkan suara nan membahana, “Kau tahukan, cucuku yang sudah diangkat menjadi letnan. Nah, katakan nama orang yang sudah bikin kamu sedih! Biar dia tahu diri!”
“Oma….Nenek, bukan begitu, hari ini aku tidur sini lagi ya!” kata Milan sambil bermanja dengan Oma Kasih dan menatap sayang pada para nenek tua di sana.
“Kenapa? Biasanya kamu hanya tidur sini saat akhir bulan. Sekarangkan baru tanggal 20,” kata Oma Kasih.
“Hanya saja……”
Teng…teng……jam menunjukkan pukul sembilan malam, dan itu artinya para penghuni panti jompo Kusuma sudah seharusnya beranjak untuk tidur.
Milan menutup buku dongengnya. Dia harus mengantar para nenek tua itu ke kamarnya maisng-masing sebelum kepala perawat memarahinya.
Milan biasa tidur di panti jompo, saat gadis seusianya sudah pada sibuk bekerja, lembur di kantor, bekerja hingga tengah malam, pergi ke diskotik, atau berkencan dengan pacar. Milan lebih nyaman tinggal di penampungan bagi orang-orang yang sebenarnya mempunyai keluarga namun cenderung terabaikan.
Bagi para penghuni tempat itu, Milan bagai boneka yang menghibur mereka. Boneka beruang bagi balita umur tiga tahun, Barbie bagi gadis enam tahun, dan robot bagi anak laki laki usia lima tahun.
Para nenek itu senang ketika Milan datang dan bercerita sesuatu entah itu tentang pekerjaannya yang ngawur atau tentang hidupnya yang membuat nenek-nenek itu tertarik mendengarnya, dan tak jarang ceritanya sering membuat iba.
Oma Kasih adalah manusia di tempat itu yang paling akrab dengannya. Pernah beberapa kali bahkan ia menyembunyikan Milan di bawah dipannya saat dia tidak mendapatkan ijin untuk menginap di panti jompo itu oleh perawat.
*****
“Milan, apa kamu sudah tidur?” kata Oma Kasih yang berbagi kasur dan selimut dengan Milan, seperti bayi yang menyusu pada ibunya, Milan menempel lekat pada ketiak Oma Kasih.
“Belum,” jawab Milan yang memang belum mengantuk, entah karena perutnya yang masih kosong, atau karena angka-anagka dikepalanya yang tak berhenti membayangi hari-harinya akhir ini, “Oma, apa keluarga Oma tidak berkunjung lagi?” Kata Milan mencoba mengalihkan putaran angka-angka itu ke persoalan yang monoton, “Apa yang salah dengan Oma dan juga para nenek yang lain?” kata Milan lirih, mencoba bersikap prihatin terhadap nasib para nenek di sini, yang juga hampir sama seperti Milan, hidup sendiri tanpa keluarga.
Oma membelai rambut Milan dengan sayang, “Kami hanya akan mengganggu mereka bila hidup satu atap. Mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, karena memikirkan apa oma sudah makan, apa oma sudah mandi dan minum obat dengan benar. Dan juga, cucu oma bakal sulit belajar kalau ada oma yang berisik karena menggerang di malam hari,” jelas Oma.
“Oma,….”
“Ada apa?”
Milan diam. Dia enggan menceritakan perihal keuangannya yang sangat mengenaskan di bulan ini sehingga dia tidak berani pulang ke kediamannya atau lebih tepatnya ke kos-nya.
Sudah pasti si punya kos bakal menagih untuk biaya bulan lalu yang sempat ditunda Milan. Ditambah lagi, dia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai sales panci karena menghilangkan lima set produk terbaru yang didatangkan dari Korea. Bukan salah Milan sebenarnya. Dia hanya terlalu polos sampai-sampai menitipkan panci-panci itu ke penunggu WC.
Setelah Milan selesai mengeluarkan apa yang harus dikeluarkan, maka lenyaplah si penjaga WC itu. Orangnya sudah berganti dan Milan tidak tahu kemana harus mencari. Konyol memang, tapi itulah Milan. Selalu apes.
Untung Milan tidak dituntut hanya gaji dia sebulan tidak diberikan. Sebelum kejadian itu, omset Milan sebenarnya sangat bagus, bahkan cukup untuk bayar kos dua bulan dan biaya makan. Hasilnya, Milan hanya dipecat plus ganti rugi tanpa gaji dan pesangon. Untuk masalah ini, sepertinya Milan memang Milan kurang beruntung.
“Tidak Oma, bukan apa-apa. Cuma sedikit capek…” kata Milan dengan suara yang makin lirih karena kantuk sudah mulai menggelayut.
Mereka terdiam sejenak di tengah kesunyian malam yang berselimut mendung. “O, ya, bukankah kamu punya gelar sarjana? Kenapa tidak mencari pekerjaan yang mudah saja? Guru misalnya,” kata Oma seperti sudah bisa membaca pikiran Milan melalui desahan nafasnya yang berat.
“Mmmmm….” Milan menjawab dengan kata tanpa makna.
“Di laci paling atas, ada sebuah alamat rumah. Besok bawalah pulang, datanglah ke sana. Ada pekerjaan yang mudah untukmu.”
“Pekerjaan?”
******
Malam berlalu. Fajar merah terbit sebelum mentari. Milan berjalan keluar dari panti Jompo Kusuma. Dia berjalan dengan gontai sambil membawa tas ransel kesayangannya yang sudah ia miliki sejak lima tahun silam. Dalam tas itu sudah ada baju, selimut tipis, alat mandi, dan perlenngkapan lain yang memungkinkan baginya untuk tetap bertahan hidup dimana pun berada. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kertas yang berisi sebuah alamat.
Milan bukan tipe wanita yang anggun. Namun ia tipe wanita yang seperti nyamuk, bisa terbang kemana saja dan juga singgah di mana saja. Artinya ia bisa menggelandang di mana saja.
******
Setelah mempertimbangkan beberapa kali, Milan memutuskan untuk menuju alamat itu dan berusaha mencari peruntungan di sana. Milan memulai hari itu tanpa mandi, sarapan, dan hanya sedikit harapan.
Beberapa blok sebelum sampai ke rumah yang dituju. Milan berhenti. Mengatur nafas, lalu melakukan sedikit peregangan pada kepala dan pundaknya agar mengurangi stress.
Di depannya persis ada sebuah tenda yang nampak seperti warung atau tempat makan yang buka. Tapi tampilan tempat itu terlalu modern untuk dibilang sebagai PKL.
Milan merasakan perutnya ingin mampir ke tempat tersebut.
Setidaknya ada tiga orang yang ada di tempat itu. Nama yang terpasang di tempat itu adalah, “Menu pagi Kafe Hijau”
Milan melangkah dengan pasti tanpa memastikan isi dompetnya dulu.
Seorang gadis yang terlihat lebih muda darinya menyapanya,
“Selamat pagi…. Ingin pesan apa Kak?”
“Ehm…. “ Milan melihat daftar menu di depannya atau lebih tepatnya melihat daftar harganya.
“Ehm…” Milan tidak bisa memutuskan. Atau tepatnya tidak berani memutuskan. Harga di tempat itu lumayan bisa membuat dompetnya kosong dengan cepat. Beberapa lembar uang puluhan ribu yang sangat ia sayangi itu bisa saja melayang hanya untuk satu kali duduk di tempat itu. Untuk segelas susu, dia harus mengeluarkan sepuluh ribu. Kopi panas lima belas ribu. Itu pun belum termasuk makanannya. Tidak ada makanan yang harganya kurang dari tiga puluh ribu.
Lalu tiba-tiba HP Milan berbunyi. Hape butut berusia hampir satu decade. Dalam hati Milan menjawab, kesempatan melarikan diri. setidaknya ia tak akan malu untuk ngacir begitu saja tanpa membeli dengan pergi sambil mengangkat telepon ala orang sibuk nan penting.
Di lihat di layar HP, ada nama si penelepon, “Jangan Diangkat”. Tentu Milan tidak bodoh. Dia tidak mengangkatnya, hanya pura-pura saja memegang telepon dan menempelkannya ke telinga.
“O…ya……ya…….” seakan sedang berbicara dengan seseorang, Milan langsung menjauh perlahan dari gadis ramah tadi. Gadis itu hanya melihat Milan dengan aneh dan terus memandanginya hingga seorang pelanggan datang dan memesan makanan.
Setelah berjalan sekitar dua puluh meter, Milan berdiri terpaku mendapati seseorang yang dia kenal, lebih tepatnya orang yang baru saja mencoba menghubunginya. Orang dengan nama kontak “Jangan Diangkat” nampaknya sedang menuju ke arahnya.
Dengan cepat, Milan berbalik, dia tahu benar kalau orang-orang sangar itu sedang memburu dirinya. Dia menutupi wajahnya dengan rambutnya yang terurai panjang. Dia membuat dirinya bak gembel atau yang lebih tepat adalah orang gila. Milan kini berjalan lebih cepat.
Sedangkan pria yang dihindarinya berjalan searah dengannya. Milan kembali berada ke depan Tenda Kafe Hijau. Tidak tahu kenapa namun kakinya secara otomatis melangkah tegas menuju tempat ia ingin melarikan diri dari sana beberapa detik yang lalu.
Gadis yang tadi menyapanya mengenali Milan dan dengan sedikit terhenyak. Dia terkejut bagai melihat hantu dengan rambut Milan yang acak acakan. Milan tiba-tiba menerobos masuk ke tenda yang seperti warung sementara tersebut. Sang gadis ramah dengan tag nama “Dini” di bajunya bingung.
Keadaan tenda itu sepi, hanya ada satu pelanggan saja yang dengan nikmat mencicipi capucino panas dan sepotong pie. Untung saja si pelanggan tadi tidak melihat Milan, si gadis dengan rambut acak bagai kuntilanak tersebut.
Dini, pelayan ramah dengan senyum manis segera bergegas. Mungkin dalam hati Dini sang pelayan Café Hijau berseragam putih hijau itu ingin mengusir Milan si orang asing yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kafenya. Namun dia rada begidik, takut kalau orang itu beneran or-gil. Lantas, Dini celingukan seperti mencari seseorang.
Milan bersembunyi di balik kotak besar yang tak lain merupakan kotak es batu di sisi bartender.
“Maaf Nona, sedang apa di sini?” sapa seorang lelaki muda yang berseragam sama dengan Dini, bedanya yang ia pakai bukan rok, melainkan celana panjang, “Kalau Nona tidak segera pergi nanti bos Saya marah….”
Milan hanya diam dan mencoba menyekap mulut lelaki tadi. Santo namanya. Sang pelayan di Kafe Hijau. Setelah melihat lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun masuk ke tenda dan memesan makanan, Milan memaksa Santo untuk menunduk.
“Sssstt…” Milan memberi aba-aba pada orang yang baru saja ditemuinya itu untuk diam alias tak bersuara. Milan tetap memperhatikan si pelanggan yang ternyata Bang Ucok, rentenir yang memburu Milan yang baru saja masuk. setelah celingukan dan memastikan orang tadi tak melihat ke arah bartender. Milan memutuskan untuk kabur, lewat pintu belakang tentunya.
Dini dan Santo yang melihatnya hanya bisa termangu memperhatikan tingkah aneh Milan, wanita yang sudah dua kali masuk ke tenda mereka.