Kerumunan orang memadati sebuah gang kecil dekat pasar yang setengah pengunjungnya mungkin sudah bubar dan ikut campur di kerumunan yang entah apa yang mereka kerubuti. Kini perhatian orang-orang yang lewat di sana tertuju pada khalayak yang mirip semut mengerubuti madu. Milan mencoba acuh, menghindar dan tidak mau tahu perihal apa yang terjadi di sana.
Milan berjalan dan terdiam sejenak, penasaran juga sebenarnya. Sekitar lima meter dari kerumunan, tiba-tiba saja, ada seseorang yang menerobos orang-orang yang membelakangi Milan tersebut. Sesosok manusia berbaju putih dan bercelana abu-abu keluar dari padatnya orang-orang itu dengan susah payah. Milan terhenyak. Waktu bagai terhenti beberapa detik saat lelaki muda itu mendekatinya.
Breeg…… Milan hampir terjatuh sebelum tangan lelaki muda itu memegang tangan dan juga menodongkan sebuah benda tajam yang tak lain adalah pisau di leher Milan. Milan kepayahan, tak tahu apa yang terjadi. Namun otak Milan yang sebenarnya tak terlalu cerdas menyimpulkan apa yang tengah terjadi.
Dia ditawan. Kenapa aku selalu apes??? Pikirnya.
Tadinya Milan ke Pasar hanya ingin membeli sepatu murahan untuk bekalnya bekerja. Itupun dari uang pinjaman Uril.
Dua orang yang lain yang juga memakai pakaian senada, yaitu seragam SMA turut menerobos. Dan spontan, orang-orang yang tadinya membelakangi Milan berpaling padanya seakan semua perhatian tertuju pada Milan, bagai bintang utama sebuah pertunjukan.
Milan tak sempat berteriak. Suaranya seakan terputus di kerongkongan beberapa saat setelah melihat pisau yang terhujung di lehernya.
Dua yang menerobos juga mengenakan baju sama. Namun rupanya ada yang berbeda. Milan sadar, mungkinkah mereka berasal dari sekolah yang berbeda?
Orang-orang mulai panik. Namun mereka juga takut bertindak. Kaki Milan bergetar. Dalam pikirannya terhanyut pikiran, “Ayah, ibu, Milan belum sempat mengirimkan uang, namun nampaknya tubuh Milan lah yang akan dikirim ke rumah. Inilah akhir petualangan hidupku di bumi Jakarta.
Milan memejamkan mata. Dia sudah bersiap menyambut kehidupan yang lain yang mungkin akan segera mendatanginya.
Milan merasakan ada yang mentetes di tangannya. Ternyata itu adalah darah, bukan darahnya. Namun darah orang yang memasangkan pisau ke leher Milan. Seorang pemuda yang lain berdiri tangguh di belakang Milan sambil membawa sebuah bongkahan batu besar yang entah dia dapatkan dari mana. Mungkin dari sisa bangunan pasar yang di bongkar.
Pemuda yang menawan Milan secara otomatis terjatuh tak berdaya. Orang-orang tak ada yang bereaksi berlebih. Mereka hanya berteriak seadanya, lalu membubarkan diri. Seakan bukan sesuatu hal besar yang terjadi di siang itu.
Satu-satunya yang terkejut dan hampir tak bisa bernafas adalah Milan. Dia kaku, berdiri bagai patung yang kakinya terlibas tombak dan kepalanya terkena panah api.
Tangannya menggantung di udara, menunggu otak Milan untuk memberi perintah ke saraf motoriknya.
Ada darah yang berhambur di kaki Milan. Pemuda dingin yang memegang batu tersebut melihat tajam ke Milan, seperti harimau yang melihat mangsanya.
“A…a.a….a……” jangankan berlari atau mengambil tas ranselnya yang terjatuh di antara darah, berteriak saja Milan tak bisa.
Pemuda yang memukul dengan batu tadi didatangi oleh dua yang lain yang wajahnya penuh luka babak belur pertanda bekas perkelahian. Mereka nampak sebagai satu komplotan yang telah meraih kemenangan.
Mereka bertiga hendak pergi. Pemuda yang tergeletak tadi tak sepenuhnya pingsan. Dia memegang kepalanya yang berdarah.
“Sesuai perjanjian. Seharusnya kita cukup berhenti sampai di sini,” kata pemuda yang nampak tak punya takut tersebut. Dia yang baru saja menghempaskan batu di kepala pemegang pisau masih dingin bahkan ketika melihat korbannya berusaha berlari menjauh.
Milan menatap sendiri pemuda itu, tanpa ada orang lain yang peduli atau merasa bertanggung jawab.
Dari kejauhan, Milan mendengar bisik-bisik orang yang tak sengaja mampir ke telinganya, “Dasar anak-anak badung. Apa tak sebaiknya kita lapor polisi?” kata salah seorang pak tua yang sudah berjenggot, sambil membenahi lapak buahnya.
“Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi pada pak Malik minggu lalu. Dia ketahuan yang melapor ke polisi, akhirnya lapaknya di bakar, rumahnya diteror berhari-hari. Sampai istrinya hampir gila dan akhirnya mereka pulang kampung,” kata seorang yang lain.
“Cck….cck……mereka bahkan lebih menakutkan dari satpol PP dan polisi,” kata yang lain.
Pemuda yang membawa batu tadi masih berdiri. Keringatnya mengalir diantara kening dan lehernya. Dadanya basah dan cipratan darah menjadi pernik di baju putihnya. Masih memegang batu yang berdarah. Dia mendekat. Tersenyum. Membuat Milan tak bisa menelan ludahnya sendiri.
Kali ini pemuda yang seperti Zorro tanpa pedang itu membuang batu tersebut dan mengambil tas ransel Milan yang sudah kotor, antara darah, debu, tanah, dan juga bau amis.
Pupil mata Milan melebar, menikmati ketegangan yang tengah terjadi. Rasanya seperti nonton syuting film action Jackie Chan.
Sekitar seratus meter, suara sirine polisi sudah terdengar, mendekati lokasi pasar, dimana pembantaian terjadi.
“P…p…ppp….po…lisi….” kata Milan terbata, larut dalam ketakutan yang luar biasa. Dia mencoba berteriak, namun masih tidak bisa.
“Ayo, Kawan…..cepat…”kata seorang yang nampak seperti ajudan yang berdiri di samping Zorro. Sekarang mereka nampak seperti Three Muskeeters tanpa kumis dan tanpa topi bangsawan.
Sang Zorro tanpa topeng dan pedang yang ada di depannya tiba-tiba menyabet tas yang sudah tak berupa tas lagi dan menarik tangan Milan. Milan kaku di tempatnya. Dia mencoba menggelengkan kepalanya. Berusaha menolak dan terpaku di bumi dia berpijak.
Milan mulai menangis dalam diam. Bibirnya bergetar dan menjalar hampir ke seluruh tubuhnya.
Sang Zorro tanpa pedang mencoba menariknya pergi sebelum suara sirine polisi semakin mendekat, “Apa aku perlu memaksamu?”
Tanpa ba bi bu, tangannya dengan sigap meraih tubuh Milan dan melempar tas busuk itu ke temannya. Tubuh Milan meninggalkan bumi dan tiba-tiba saja sudah beralih ke pundak si Zorro. Tanpa menghiraukan penolakan Milan, mereka pergi berlari secepatnya meninggalkan TKP.
Milan meronta-ronta sekuat tenaga hingga ia tak sadarkan diri lagi. Entah itu karena kehabisan tenaga atau karena ketakutan.
******
Sekali lagi Milan berada di alam yang ia tahu betul bahwa itu adalah alam mimpi. Kali ini orang yang berdiri di depannya bukan lagi pria yang sudah mengumpatnya dengan kata-kata kotor penuh kebenaran, “pengangguran, gelandangan, parasit”.
Kenapa aku harus kena sial terus. Dalam dua hari aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku gila, gumam Milan dalam hati. Semua ini karena alamat yang Oma Kasih berikan padaku.
Seorang pria yang lebih muda darinya duduk di depannya dengan secangkir kopi hangat yang ia minum dengan berwibawa. Milan menyelami langit yang biru yang menjadi atap mereka saat itu. Aroma bunga yang unik mulai menyerbu hidung Milan. Di saat bersamaan, Milan mencium bau yang tiba-tiba berubah.
Milan membuka mata, sepertinya kali ini dia sudah keluar dari alam mimpi. Yang ia lihat adalah wajah orang yang minum kopi bersamanya, beserta sebuah kaos kaki berwarna putih kecoklatan yang bertengger persis di depan hidungnya.
“Wuuuua…..” Milan spontan berteriak dan menendang pria di depannya.
Dia mengelap hidungnya yang sudah terkontaminasi kaos kaki super kotor itu.
“Apa aku diculik?” tanya Milan panik, “Dengar ya, aku ini bukan anak saudagar ataupun pejabat, percuma saja, tak akan ada yang akan memberi uang tebusan. Lepaskan saja aku. Berapa yang kalian minta. Nanti aku akan mencoba mencicil. Meskipun seumur hidup untuk melunasinya. Atau kau bisa ambil dan jual ginjalku saja sebagai gantinya. Asalnya masih hidup, tidak masalah bagiku.”
“Makanlah!” kata seorang yang terlihat paling sangar yang sekaligus orang yang membuat si pria penyekap ambruk dengan pukulan sebuah batu.
Milan melihat kotak nasi yang berada di atas meja. Sudah dua hari ini perut Milan tidak menerima santapan nasi. Dia hanya mencerna roti dan air putih saja karena sedang dalam proyek pengiritan.
“Aku Tama,” kata anak sekolahan itu sambil menunjuk dirinya sendiri. Kemudian dia berpaling ke temannya yang lain, “Dia panji.” Orang yang ditunjuk tersenyum pada Milan.
“Dan yang paling tinggi itu namanya Bagus. Mereka semua temanku. Kita bukan penjahat, asal tahu saja,” kata Tama sambil duduk di sebelah Milan yang tak lagi gemetaran.
“Rasa takut pasti membuat lapar. Aku pernah merasakannya, jadi makanlah. Dan soal uang cicilan, aku tahu bahwa kau ini orang yang tak berguna sekaligus tak beruang. Aku sudah periksa dompetmu. Isinya bahkan tidak lebih banyak dari uang jajanku.”
“Pengagguran katamu?” kata Milan sedikit marah, “Aku tak tahu apa yang salah dengan hidupku selama dua hari ini. Dua kali aku pingsan, dua kali aku dibilang orang tak berguna, dan dua kali seorang pria memberiku makan.”
“Benarkah? Aku harap ini bukan kebetulan,” kata Tama.
“Ini bukan kebetulan, tapi disaster,” kata Milan sambil melebarkan matanya, “Berikan tasku! Dasar para penjahat kecil! Aku akan laporkan ini ke polisi!”
Panji berdiri, merogoh kedua saku celananya yang kosong, “Ngomong-ngomong soal polisi, kau harus berterima kasih pada kami. Dengan kamu pergi dari tempat itu, kamu tak akan terlibat lebih jauh lagi dan bisa hidup dengan damai serta tentram.”
“Tasmu sudah tak layak pakai lagi. Lihat itu!” Bagus menunjuk sebuah barang yang sudah tak berupa sesuatu lagi.
“Tas….ku…” Milan menghampiri tasnya.
“Perlukah aku membelikanmu tas yang baru? Kau tak akan mungkin pergi dengan tas seperti itu kan?” kata Tama memandangi Milan yang duduk terdiam di depan tasnya yang ternyata sudah robek bagian tengahnya. Tama ingat, tas itu robek terkena kawat berduri yang memagari pasar saat mencoba kabur.
“Kalian para penjahat kecil tak akan tahu arti dari tas lusuh ini!” Milan menangis, merobohkan pertahanannya, “Berikan dompetku!” dia merengek pada ketiga bocah di depannya. Sungguh bukan sikap seorang wanita dewasa.
Bagus melempar dompet ke gundukan tas yang sudah menjadi sampah itu. Milan memungut dompet yang sebenarnya tak ada suatu apapun yang berharga kecuali foto orang tuanya, KTP, dan juga kartu ATM.
Milan memutuskan untuk tak ikut campur lagi dalam masalah ini. Dia berlari dan sangat jelas kalau dia tengah menangis.
“Dasar sial!!!!” gerutu Milan seorang diri, dia mengelap wajahnya dengan tangannya yang kotor dan membuat wajahnya tan bertampang Milan lagi. Siapapun yang melihatnya pasti menyangka bahwa ia tidak lagi waras.
Dengan segala yang ia miliki, termasuk keberanian, kepercayaan diri, serta dompet kosong tanpa uangnya, ia pergi ka mall, tempat Uril menjadi waitress atau pelayan.
Uril yang sedang nganggur karena foodcourt masih sepi, mendapati sahabatnya sedang dalam tampang tak karuan. Bukan lagi tampang gadis single atau jomblo yang ingin memiliki pacar, namun gadis lusuh yang sudah tak berupa.
Uril melihat wajah Milan yang memerah sekaligus kotor itu. Uril menyeret Milan ke kamar mandi. Setidaknya ia memiliki pemikiran untuk membuat wajah Milan bersih.
Dua wanita berada di toilet melirik risih pada Milan. Mereka berlalu saat Milan dan Uril datang.
“Bagaimanapun sulitnya hidup, setidaknya jangan menjadikan dirimu seperti orang gila seperti ini?” kata Uril, berusaha menjadi bijak bagi sahabatnya, “Kau masih ingin punya pacar dan menikah kan?” Uril melihat lekat sahabatnya itu, “Apa kau sudah makan? Hem?”
Milan menggeleng sambil kembali mengelap wajahnya yang sudah berantakan.
“Kemarilah! Bersihkan dirimu. Aku akan menyiapkan makanan dulu. Pastikan ketika keluar dari toilet, kamu sudah bersih,” Uril membiarkan Milan membersihkan dirinya sendiri, “O, ya, jangan lupa rapikan rambutmu. Pakai jari atau apalah, terserah!”
Milan mulai sesenggukan melihat Uril yang begitu perhatian padanya. Belum juga Uril pergi berlalu, Milan berkata, “Uril, kalau aku cowok, aku bakal macarin kamu. Beneran. Gak boong!”
“Kalau aku cowok, mana mau aku sama kamu,” Uril berlalu sambil tersenyum geli.
Milan melihat dirinya di kaca, “Kyaaaa…..” Milan kaget setengah hidup melihat bayangan dirinya sendiri di cermin yang tak lebih baik dari ibu-ibu yang duduk di pinggir jalan sambil membawa toples kosong.
“Aduh, Milan…..kamu sudah membiarkan semesta melihat kehancuran dirimu. Aku pasti sudah benar-benar tidak waras,” Milan menggerutu seorang diri.
Dari cermin itu, Milan melihat seorang wanita masuk ke toilet sambil membawa tas. Si wanita meninggalkan tas yang mungkin tak ada barang berharganya persis di dekat Milan. Sementara itu, wanita tadi masuk untuk sekedar membuang air seni atau mungkin kegiatan yang lain.
Milan iseng membuka tas itu. Milan mengambil sisir dan menggunakannya di rambutnya yang sudah hampir tidak bisa disibak kan lagi dengan sisir. Setelah susah payah mendadandani rambut, Milan mencari sesuatu yang lain. Kali ini ia menemukan sebuah bedak dan juga lipstik warna natural yang nampaknya cocok bagi Milan.
Tidak butuh waktu lama bagi Milan untuk membuat dirinya serupa dengan manusia normal lagi.
“Terima kasih!” gumam Milan pada tas yang tepat berada di sampingnya.
******