“Manusia terlahir ke dunia tanpa pengetahuan.
Jikalau Tuhan memberi satu kesempatan untuk bertanya maka aku akan bertanya, ‘siapa cintaku di dunia nanti, Tuhan?’
Jika Tuhan tak menjawab, aku akan bertanya, ‘di mana aku bisa menemukan cinta, Tuhan?’
Jika Tuhan tak menjawab lagi, aku akan bertanya lagi, ‘kapan kau bisa bertemu cintaku?’
Jika memang Tuhan tak menjawab, aku akan memohon, ‘Tuhan, berilah pertanda jika dia memang ada di dekatku’.
Malam ini gadis itu merindukan seseorang lagi. Lagi. Dia mengingat masa dulu. Saat dia tengah di deru cinta sepihak. Dia bahkan sampai sekarang masih mengingat dengan jelas garis wajah Wisnu, the first love and the first man.
Lagi. Di Movie Drugs, seorang laki-laki yang sudah di kenalnya menyapanya. Namun kali ini dia tak menyewa film Tom Cruise, Jack Gillenhal atau seumatnya. Namun dia pinjam film Jepang yang konon kata temannya amat romantis. Milan, si gadis yang tersipu melihat gambar dua sejoli yang sedang bersentuhan punggung itu hanya bisa melihat Wisnu dengan muka merahnya.
Milan duduk di tempat dia biasa minum minuman dingin setelah lelah berkeliling mencari film yang hendak ia bawa pulang ke tempat kos.
“Masih suka Hollywood?” kata Wisnu yang ternyata dari tadi sudah memperhatikannya sewaktu ia masuk ke deretan rak yang penuh film barat nan berkulit putih dengan bulu di dadanya. Mungkin itu salah satu alasan Milan menyukai Hollywood. Tapi itu bukan seratus persen bagi Milan.
“Iya, aku menyewa Hollywood lagi. Tapi kali ini pesenan temanku. Karena aku kebetulan lewat daerah sini, makanya aku meminjam ini sekalian.” Milan tidak menjelaskan detail yang sesungguhnya bahwa sebenarnya ia juga sedang memburu film itu untuk dirinya sendiri.
“Mau tahu fakta lain di balik aksi film Hollywood?” kata Wisnu yang sepertinya memang ingin memancing keingintahuan Milan, si maniak movie.
“Tentu saja. Ceritakan, Kak!” kata Milan malu-malu tapi mau.
“Pernah belajar fisika di SMA?”
“Iya, tapi aku tidak perlalu pintar,” kata Milan sok bodoh.
“Sering kali dalam adegan film terdapat jagoan yang menendang lawan hingga si lawan tersebut terpental jauh. Di sinilah hukum aksi reaksi alias Hukum Newton III seharusnya berlaku. Kenyatannya dalam film tidak demikian. Jika suatu senapan menembakkan peluru ke depan, maka seharusnya si penembak tertarik ke belakang secara otomatis karena hukum tersebut. Seperti ketika orang mendayung sampan. Ketika kapal melaju ke depan, si pendayung pasti tertarik ke belakang. Iya kan? Nah, begitu juga saat seorang petarung menendang lawan hingga terpental jauh, si jagoan sama sekali tidak terpental ke belakang karena gaya yang diberikan, dan bahkan si jagoan sama sekali tak terluka. menurutku itu tak masuk akal.”
Ya, seperti aku yang memberikan cintaku. Tuhan mungkin mendengar hatiku, hingga Dia menarikmu untukku. Ketika aku merasa jauh, kau benar-benar jauh, tapi ketika aku merasa dekat, kau benar-benar dekat. Maka mulai sekarang aku akan menarikmu lebih dekat lagi.
*********
Aroma pagi merasuk dari jendela yang dari semalam memang tidak tertutup dan dibiarkan terbuka begitu saja. Harum aroma bunga mawar merasuk pelan ke hidung Milan. Selimut hangat yang entah kapan ia pakai membalut lembut di tubuhnya.
Milan membuka mata. Dilihatnya seisi ruangan itu. Asing. Asing bagi Milan. Dia menggerayai tubuhnya sendiri. Ingin tahu apa yang terjadi.
Milan lega, bajunya masih melekat di tubuhnya.
“Apa ini?” Milan bangun, melihat ke cermin. Di meja dekat cermin itu terdapat beberapa gambar. Salah satunya sempat menyolok mata Milan, hingga mulutnya mengangap lebar.
“Tama? Berarti ini kamar….?” Milan melihat sekelilingnya. Ada sosok yang berbaring dengan kasur lantai di dekat tempat tidur yang barusan dipakai Milan. Orang itu tak lain adalah Tama. Dia dengan telanjang dada dan hanya memakai kolor hitam masih mendengkur seperti orang yang sakit TBC.
“Wooooiii,….” Teriak Milan hingga orang yang diteriakinya tereranjat dan langsung berdiri, seperti mendengar teriakan dari polisi, bocah yang mungkin belum genap delapan belas tahun itu langsung mengusap matanya, mencoba membuat matanya jelas melihat.
“Teacher….apa-apaan? Ini masih pagi. Aku barusan mimpi indah, bertemu dengan Demi Levoto, kami bahkan sempat berfoto bersama dan bermain di pasar malam…….” Kata Tama yang nampaknya belum benar-benar bangun dari mimpi.
“Apa semalam aku benar-benar tidur di sini!” kata Milan sambil melihat sekitar, seperti mencari sesuatu, “Pakai ini!” Milan melempar kaos ke wajah Tama, berharap dia segera memakai kaos itu.
“Sorry, Teacher. Tadi malam gerah banget. Ya, beginilah resiko tinggal di khatulistiwa. Aku tahu sih, kalau Teacher pasti juga gerah, tapi kira-kira apa boleh aku sedikit…”
“Eeett……..jangan berpikir yang macam-macam dan berhenti memanggilku Teacher! Oke….? Aku mau pulang. Mana tasku?”
Tama hannya menunnjuk tempat tas Milan bersemayam.
“Tapi, apa Teacher benar-benar tdiak ingat? Semalam…..”