Setumpuk Koran menggunung di sebuah kamar berukuran kecil yang juga tak terlalu rapi tersebut. Seorang gadis yang sekaligus si pemilik kamar bermalas ria di kasur sempitnya, memegang spidol merah. Matanya tertutup. Kakinya menyilang. Tubuhnya tiba-tiba terjatuh ke kasur.
“Kerja…kerja….kerja…..”
Milan nampak sedang memikirkakn suatu hal. Mungkinkah pekerjaan baru? di Koran-koran tersebut, ada beberapa kolom yang dilingkari, tepatnya kolom di halaman vacancy alias lowongan pekerjaan.
Pintu kamar berderik kasar. Seorang gadis lain masuk dengan tergesa-gesa. “Milan….Milan…Milan….” Uril merusak suasana hening kamar. Milan bangun dari pertapaan singkatnya.
“What’s up girl?”
“Sepertinya ibu kos benar-benar menjual tempat ini. Bagaimana kalau nanti biayanya naik? Yang aku dengar, tempat kos kita adalah yang paling murah. Aku cemas. Bagaimana denganmu? Kau kelihatan baik-baik saja. Pekerjaanmu lancarkah?”
“Aku tidak tahan bekerja di sana. Ya, walaupun aku tak melakukan apapun yang penting, tapi penjahat kecil itu sangat merepotkanku.”
“Apa yang terjadi?”
“Penjahat kecil itu selalu mencari gara-gara denganku. Terlalu banyak yang ia minta. Di hari pertama kau harus mnegorbankan bahuku yang bahkan sampai hari ni masih terasa sakit.”
“Lalu di hari kedua? Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Hari kedua, dia menyuruhku menjahitkan kancing bajunya yang lepas saat ia main basket. Itu belum seberapa, aku malahan disuruh mencuci bajunya sekalian yang bercampur dengan keringat busuknya. Aku seperti budak yang hidup di neraka.”
“Lalu di hari ketiga?”
“Hari ketiga… dia membawa teman-temannya ke rumah. Dan aku…aku harus…” Milan memampang wajah melas yang mengiba, “Tahukah kau apa yang aku lakukan?” Uril menggeleng. Milan berlanjut bercerita, “Aku disuruhnya menyanyikan lagu Celin Dion, My Heart Will Go On, dan memperagakan adegan di film Titanic bersamanya saat di ujung kapal menangkap angin dinigin samudra atlantik….me…ma…lu…kan….”
“Waaawwwww.”
“Uril, bukankah aku ini seorang guru? I am a teacher! Tapi lihat apa yang dia lakukan padaku. Aku bahkan selalu begadang tiap malam. Pulang malam, susah tidur, dan juga aku punya mata panda yang sudah hampir sampai ke pipi. Bagaimana ini?”
“Bagaimana dengan adegan hari keempat?”
“Yaaa….kau terlihat terhibur dengan ceritaku. Padahal aku sangat menderita.”
“Ceritakan!” bujuk Uril.
“Hari keempat, aku harus memasak makanan Italy.”
“Bukankah bocah itu punya pembantu?”
“Mbak lastri itu dari Jogja, makanya dia tidak terlalu bisa membuat makanan yang aneh-aneh seperti itu. Selain gudeg, pepes, dan juga beberapa makanan Indo lain, mbak Lastri mana bisa,” kata Milan sambil mengingat kepedihannya menjadi budak di rumah itu, “Penjahat kecil itu ngasih buku resep ke aku. Itu pertama kalinya aku masak spaghetti, pasta, atau apalah itu. Aku bahkan lupa nama makanan yang sudah aku masak. Makanan yang aku bahkan tak tahu namanya itu aku buat seadanya. Sebenarnya bukan itu yang membuat aku kesal. Kau tahu apa itu Uril?”