Esok hari tiba setelah hujan turun hampir semalaman. Bau wangi khas dari senyawa “petrichor” yang bisa di baui hidung manusia merebak dari tanah dan rerumputan. Tanah basah dan jalanan yang licin menjadi tapak tilas manusia yang mulai sibuk semenjak pagi.
Jam weker berbunyi nyaring, membuat dua orang gadis terbangun. Uril mencoba bangun namun kakinya terasa berat. Dia mengibaskan selimut. Ternyata kaki Milan menindih kaki Uril.
Uril bangun setelah menyingkirkan kaki orang di sampingnya. Sementara gadis itu masih terlelap tanpa terganggu sedikitpun.
Uril membuka pintu kamar. Gubraaakkk….. sebuah kepala membentur lantai tepat di depan kamar Milan. Uril terperanjat ke belakang saking kagetnya.
Milan yang ketenangannya terusik dengan suara berisik itu langsung bangun, dengan mata yang belum spenuhnya terbuka, ia menyingkirkan selimutnya dan dengan terhuyung berjalan ke arah Uril.
Uril mundur beberapa langkah. Semntara Milan mengucek matanya beberapa kali memastikan apa yang ia lihat.
Seorang bocah yang lunglai, terbujur di depan pintu kamar Milan. Entah masih hidup atau sudah mati.
“Siapa ni bocah?” kata Uril sedikit gugup. Keadaan kompleks akhir-akhir ini tidak terlalu aman. Ada isu kalau ada orang gila, pencuri sampai teroris yang keluyuran di daerah itu.
“Mungkin dia terorisnya…. Coba lihat,” kata Uril sambil mendorong tubuh Milan.
“Mana ada teroris se imut dia. Lihat! Dia terlihat seperti anak yang terawat. Mungkin dia hanay anak yang kabur dari rumah.” Milan menyingkap rambut yang sedikit menutup kepala bocah itu. Baju warna merahnya masih terlihat basah oleh hujan.
“Panas. Demam. Badannya demam!” Milan memegang dahi bocah itu dan memastikan kondisinya dengan menyamakannya dengan suhu badannya sendiri.
Milan membawa ank itu masuk dan mengganti pakaian bocah itu dengan kaos miliknya dan juga celana training nya yang biasa ia pake jogging. Kebesaran memang, namun itulah yang Milan miliki.
Tak lupa ia juga menyelimuti bocah itu. Sementara, Uril sibuk mengompres agar suhunya turun.
Keadaan Milan masih berantakan. Dia belum juga sempat gosok gigi. Hari masih pagi betul. Jam weker Milan menunjukkan pukul 6 pagi. Jalanan Jakarta pastilah sudah penuh sesak oleh orang-orang yang bergeas pergi ke kantor maupun sekolah.
Uril masih memegang kain kompres, Milan masih sibuk memanaskan air untuk membuat susu hangat. Terdengar suara pintu di ketuk dari luar.
“Siapa?” tanya Uril agak ketakutan.
“Kenapa takut? Kita tidak melakukan kejahatan apapun!”
Milan membuka pintu. Senyum khas dari orang yang dikenalnya menyambutnya di depna pintu.
“Hi, Teacher….”
“Hmmmm..” Milan nampaknya belum sadar apa yang dilihatnya.
Tama langsung menerobos masuk ke kamar itu tidak peduli dengan ekspresi kebingungan Milan.
Setelah beberapa detik, Milan mengedipkan matanya. Ia tahu ia sudah bangun dari tidur dan sudah pasti bahwa yang dilihatnya adalah benar- itu benar-benar Tama.
“Keluar…..!!!” Milan menyeret baju putih Tama yang sengaja tak dimasukkan ke celananya hingga terkesan seenaknya sendiri alias kurang tertib. Dia bahkan tidak mengenakan ikat pinggang dan kaus kaki. Rambutnya dibuat acak, potongannya tak beraturan. Ada beberapa bagian tasnya yang sedikit sobek dan dibiarkan begitu saja. Bahkan dibajunya ada beberapa noda kecil, entah itu noda kecap atau darah, Milan tak tahu.
“Siapa bocah itu? O.M.G…” Tama kaget, “Teacher, kau ternyata sudah punya anak ya? Aku kan belum siap buat jadi seorang ayah!” Tama bicara yang tak masuk akal.
“Tutup mulut ngacomu itu!” Milan meraih sebuah kain basah yang digunakan Uril untuk kompres dan menyumpalkannya ke mulut kotor Tama.
Uril tertawa lirih melihat tingkah mereka berdua. Tiba-tiba saja anak itu mengerang. Demamnya belum juga turun.
Tama mendekat. “Aku tak peduli siapa kau, tapi kau tidak boleh tidur di tempat teacher ku tidur! Aku saja belum pernah berbaring di sini!” Tama berkata pada bocah itu yang tentu saja tak paham apa yang dikatakan oleh Tama. Tama segera membopong bocah itu.
“Mau dibawa ke mana?” kata Uril yang heran dengan apa yang dilakukan oleh cowok berpakaian putih abu-abu itu yang ia tahu pasti bahwa itu seratus persen orang yang namanya Tama, tidak diragukan lagi.