MILAN-Kasih tak Sampai

Fitriya
Chapter #6

6______Cinta tak terbatas

“Milan, kenapa kau bawa bocah itu ke sini? Bagaimana kalau kita dapat masalah?” Uril sedikit kesal melihat Milan yang menenteng bocah itu ke kos.

Dibawanya pula beberapa bawaan yang isinya baju untuk Vian, Tama yang membelikannya setelah ia merasa iba karena baju yang dipakai bocah itu sungguh tak pantas. Dalam tas lusuh milik Tama, orang tak akan menyangka bahwa di dalamnya berisi beberapa lembar uag ratusan ribu dan juga kartu kredit. Seperti itulah, isi luar bisa menipu.

Milan tak menggubris apa yang dikatakan Uril. Dia mendudukkan bocah itu di kursi sebelah kasurnya.

“Katakan, kenapa kamu kabur? Apa kamu dipukul ibumu? Hal itu biasa. Sewaktu Kak Milan kecil, ibu kakak sering mukul juga. Bukan hanya pantat kakak yang dipukul, tapi hati kakak juga. Tapi bagaimana pun, itu untuk kebaikan kita. Tanpa itu, bagaimana kita bisa menghadapi kenyataan bahwa marahnya dan pukulannay ibu adalah pemanasan bagi kita untuk mengetahui bahwa hidup di luar itu lebih bahaya, lebih ganasa, tak pendang bulu, siapa yang lemah, siapa yang malas, bakal mendapat pukulan baik fisik maupun mental dari masyarakat. Jadi, cobalah maafkan ibumu! Oke?”

“Bukan begitu! Ibu tidak pernah memukulku!”

“Apa karena nilai mu jelek? Kau mendapat nilai nol? Hal itu itu wajar. Meski kak Milan tidak pernah dapat nilai nol, tapi adik kakak sering dapat nilai nol. Tapi, karena nilai nol pula dia mendapat julukan dikelasnya. Mau tahu apa?” Milan memegang bahu anak itu erat. Sementara anak itu menggelengkan kepalanya. “Adikku mendapat julukan raja telur di kelas. Karena hampir tiap hari di mendapat lingkaran telur dari gurunya.”

“Aku selalu rajin belajar. Nilaiku bagus, dan aku selalu masuk lima besar di kelas!”

“O, jadi bukan karena nilai ya?” Milan memikir lagi. Uril hanya menggeleng kepala. “A…ha…mungkinkah karena kamu berkelahi dengan teman? Memecahkan guci sekolah? Mengganggu teman gadismu? Memakai pakaian yang tak rapi di kelas? Memukul teman dengan batu hingga berdarah? Menculik wanita? Membolos sekolah? Atau kebut-kebutan dengan motor di jalan?” Milan mneyebutkan berbagai hal yang tak nampak masuk akal bagi bocah itu. Vian bahkan semakin melongo saat mendengar rentetan kata Milan yang membuatnya semakin pusing.

“Hei, bukakah yang kau sebutkan itu adalah apa yang ada dalam diri Tama? Mana mungkin anak seusia dia melakukan semua itu. Kenapa tak tanya langsung saja daripada memberikan pendapat gila?” kata Uril masuk akal.

“Benar juga,” Milan mengiyakan usul Uril.

“Vian….katakan pada kakak, kenapa kamu kabur?”

“Aku tidak kabur. Mami yang menyuruhku pergi.”

“Huh?” Milan tak mengerti. Dia bisa melihat mata Vian yang mulai memerah.

“Aku anak yang baik. Aku selalu menurut apa kata mami. Aku selalu rangking pertama. Aku tak pernah berkelahi. Aku tak pernah menggoda teman gadisku. Pakaianku selalu rapi, mami yang menyisir rambutku tiap hari, merapikan bajuku dan menyiapkan bekal ke sekolah. Teman-temanku bilang aku beruntung punya ibu seperti mami. Tapi kenapa mami menyuruhku pergi?”

Vian menangis. Milan dan Uril yang mendengarnya ikut prihatin sekaligus bertanya tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Temanku Riko yang nilainya selalu jelek dan juga sering nyontek di kelas tidak disuruh pergi. Kenapa aku harus pergi? Kalau begitu aku akan jadi anak nakal saja!” Vian tak berhenti menangis.

******

Milan dan Uril sama-sama bingung. Sementara Vian tinggal bersama Milan dan Uril. Vian asik seharian bermain game di laptop Milan.

“Ini bisa jadi kasus besar. Jika kita dituduh melakukan penculikan, kita berarti menyandang predikat kriminal. Kita kembalikan saja dia ke orang tuanya atau kita lapor ke polisi. Bagaimana?” bujuk Uril.

“Kau tadi lihat sendiri anak itu tidak mau menyebut alamat rumahnya. Jadi bagaimana kita akan mengembalikannya ke orang tuanya? Kita tunggu dua atau tiga hari lagi. Anak iitu mungkin akan berubah pikiran. Pokoknya selama dua hari ini kita buat dia senang dan kita bujuk supaya mau pulang, ya?” kata Milan, berusaha menjadi ibu peri bagi Vian.

Terdengar suara nada pesan diterima dari HP Milan. Isinya mengatakn bahwa Milan sudah diterima di Kafe sebagai waitress.

“Lihat, ini kafe yang baru saja di buka! Aku bsia bekerja di sana,” kata Milan sambil menunjukkan pesan yang ia terima pada Uril.

“Ya, terserah kau saja. Asal jangan kau suruh aku mnejadi pengasuh Vian. Aku juga punya pekerjaan sendiri. Dan aku tidak bisa membawanya.

“Soal itu…….”

Tut….tut….tut…..otak Milan buntu sesaat.

*****

Bangunan itu dari kejauhan nampak sangat unik dan juga indah. Ada berbagai bongsai yang ditata rapi di sepanjang beranda. Sekaligus ada beberapa bunga gelombang cinta dan berbagai jenis tanaman lain. Tempat itu ber cat hijau. Di tengah gerbang ada tulisan welcome to Green Cafe.

Ada beberapa orang laki-laki yang sedang mengusung kursi dan juga membenahi pernak-pernik berupa lampu hias dan juga memasang dekor.

Kafe itu ternyata baru akan dibuka. Kira-kira besok adalah hari pertama bagi kafe yang lumayan besar itu.

Milan menghela nafas. Dia berdandan sewajarnya karena kali ini ia tak akan mnejadi sales atau pegawai kantoran. Dia akan melamar menjadi waitress.

Di sebelahnya seorang anak kecil tersenyum kecil. Milan sama sekali tak menyangka bahwa ia harus membawa serta Vian di hari pertama ia bekerja setelah Uril tidak mau memungut bocah itu. Kira-kira sekitar dua puluh meter sebelum kafe itu terrdapat sebuah taman kanak-kanak. Milan berkata pada Vian untuk menunggunya di sana karena ia harus bekerja. Nanti milan akan mengantarkan permen dan juga makanan kecil kalau Vian mau menunggunya di sana. Vian mengiyakan.

Sampai di pintu gerbang, Milan menarik nafas lebih dalam lagi. “Milania Hapsari, ganbatte! Fighting!”

Sampai di dalam kafe. Ada dua orang yang rasanya pernah Milan temui sebelumnya. Dua pegawai kafe itu melihat Milan yang sedang membawa amplop cokelat. “Bukankah itu gadis yang …” bisik pelayan wanita. “Benar….” Kata pelayan pria.

Milan yang melihat mereka langsung berplaing hendak pergi dari tempat itu karena malu dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Tiba-tiba kepala Milan menubruk tubuh manusia yang berdiri tepat di depannya, “Maaf!” kata Milan.

“Kau lagi?”

Milan mengangkat kepalanya. “Ooops…” Milan mencoba berlari namun tangan Zidan sigap meraih amplop cokelat yang ditenteng Milan sedari tadi. Dengan cepat ia membuka amplop itu dan ternyata Milan adalah orang yang direkrut Zidan untuk menjadi pegawainya. Sebenarnya yang memilih calon pegawai bukan dirinya, namun Santo, yang sudah menjadi orang kepercayaan Zidan.

“Pegawai baru? Mau kabur kemana?” Zidan mendudukkan Milan di kursi yang belum tertata rapi itu, “Walaupun aku tak menginginkannya, tapi kafe ini akan launching besok, dan kami tidak akan sempat mencari pegawai baru dalam waktu sehari. Jadi kau harus tetap bekerja walau itu artinya kau harus menahan malu. Oke?” kata Zidan yang tidak mnedapat respon berarti dari Milan.

Hari ini hari berat bagi siapa saja yang ada di tempat itu. Milan dan pegawai lain yang baru dikenalnya harus mengangkat kursi-kursi dan menatanya sedemikian rupa. Sang manager yang tak lain adalah Zidan sibuk dengan catatannya yang mungkin saja berisi daftar bahan makanan dan juga persiapan akhir yang akan dilakukan.

Berbagai aktivitas fisik yang melelahkan telah selesai tepat jam sebelas siang. Milan teringat sesuatu. “Vian!”

Milan melepas sarung tangannya dan melemparnya. Milan bergegas pergi tanpa peduli dengan para staf lain. Milan pikir ia sudah terlalu lama meninggalkan Vian sendirian.

“Mau ke mana?” cegat Zidan.

“Ada sesuatu yang penting yang harus aku lakukan. Aku akan kembali.”

“Tidak bisa. Bagaimana kalau kamu kabur dari pekerjaan?”

“Aku akan meninggalkan sepatuku di sini. Jadi, aku pasti akan kembali.” Milan melepas alas kaki atau lebih tepat meninggalakn sepatunya. Jadilah Milan pergi berlarian sambil telanjang kaki. Zidan mencoba mneeriakinya, namun Milan tak juga berhenti.

Sampai di tempat di mana Vian harus bermain sendiri, Milan celingukan mencari sosok bocah kecil berumur delapan tahun yang memakai pakaian biru bergambar kucing yang kemarin baru ia beli.

“Aku benar-benar akan ditangkap polisi. Aduh, Milan…bodoh banget sih kamu! Bagaimana bisa kamu meninggalkan bocah itu sendiri?” Milan memukul kepalanya.

Milan mencari lagi. Di taman kanak-kanak itu sudah sepi. Para murid di sana tentunya sudah pulang sejak awal. Milan mencari di taman, ruang kelas, bahkan sampai ke kantor sekolah itu. Tentunya sambil bertelanjang kaki.

Milan duduk jongkok di bawah pohon besar rindang di depan sekolah itu. Pohon adalah tempat favorit Milan untuk setiap waktu. Karenabmneurut Milan pohon juga makhluk hidup yang jika Milan bereluh kesah, pastilah si pohon akan bisa mengerti keadaannya dan juga pohon itu akan membantunya berdoa pada Tuhan agar urusannya dipermudah.

Matahari tepat singgah di atas kepala Milan.

Lihat selengkapnya