Sampai tadi malam, Tama masih saja bertingkah aneh terhadap Milan. Untuk saat ini Tama seperti tidak bisa membedakan antara bulan dan bumi, atau ia memang merasa bisa hidup di keduanya?
Seseorang yang diperlakukan dengan spesial tentu sangat berharga bagi orang tersebut. Masing-masing orang tentu memilki seseorang yang hendak dilindungi, bagi orang seprti Tama, mungkin satu-satunya yang ingin ia lindungi adalah orang yang tengah berdaa di dekatnya. Dan itu bukan mama atau papanya, malainkan Milan si manusia asing yang entah bagaimana memasuki kehidupannya.
“Cinta bukan pertaruhan atau perjudian. Bukan seperti melempar dadu keberuntungan. Cinta itu sesuatu yang harus diperjuangkan. Seperti Romeo yang memperjuangkan Juliet, seperti Habibibe yang memperjuangkan Ainun, seperti Edwar memperjuangkan Bella, dan seperti aku yang memperjuangkan dirimu.
Cinta tak hanya bisa diperjuangkan dengan lagu, puisi, syair, atau bahkan uang, terkadang seseorang perlu memperjuangkannya dengan cara lain. Seperti melukai hatinya sendiri dan setiap kali terluka, kau bisa mengerti betapa diz sangat berharga dan kau butuhkan untuk selalu berada di sampingnya.
Jika ada mesin yang membuat orang jatuh cinta, akan aku beli.
Jika ada mata uang yang Bisa membeli cinta tentu sudah kumiliki.
Jika ada syarat agar kau bisa jadi milikku, pasti akan aku sanggupi.”
*******
Mendung kini kerap menyinggahi langit Jakarta. Jalanan masih ramai, macet dan juga berjubel. Walau dingin, namun situasi itu bisa membuat orang gerah, dada sumpek, dan juga hati panas. Belum lagi kalau banjir datang. Semua tdiak akan baik-baik saja bagi manusia Jakarta.
Gaids itu berjalan di bawah hujan dnegan payung kuning dengan motif bunga dan juga mantol dengan warna sama. Hujan itu berusaha menerobos celah-celah mantol palstik itu dan membasahi tubuhnya. Rambutnya yang panjang terpaksa harus sedikit basah entah bagaimana.
Sepatu yang tak terlalu bagus yang Milan pakai berkali-kali kemasukan air karena masuk ke jalanan yang berlubang. Sepertinya dia hendak ke suatu tempat. Mungkin tempat itu tak jauh dari kosnya hingga ia tak butuh menerjang macet sore itu dengan naik angkot, bis atau taksi.
Sebuah coffe shop betengger dengan cantik di tepi jalan itu. Beberapa kendaraan nampak terparkir rapi. Mungkin mereka di sana untuk alasan ingin berteduh atau memang ingin menikmati secangkir kopi hangat di tempat yang cukup terkenal di antara warga ibukota.
Sedikit canggung karena sepatunya yang sudah lusuh menjadi basah dan juga karena rambutnya sedikit gimbal karena air hujan. Milan masuk ke tempat itu. Seorang wanita nampak sudah menunggunya. Dia melambaikan tangan padanya.
Duduk berdua di antara para pengunjung lainnya. Mereka terlihat seperti kakak beradik karena kalau dibilang anak dan ibu terlalu berlebihan. Wanita dengan dandanan modis itu kira-kira berumur tiga puluhan. Sedangkan gadis yang duduk tepat di depanya berumur dua puluh empat tahun.
“Milan, kan?” tanya wanita modis itu kepada Milan. Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Namun mungkin mereka belum sempat memperkenalkan diri.
“Mami Vian, apakah mungkin sudah berubah pikiran? Kalau bleum, lebih baik saya pulang,” jawab Milan sedikit kurang ramah sore itu. Mungkin karena suasana langit atau hatinya yang kurang bersahabat.
Wanita modis yang tak lain adalah maminya Vian, menyodorkan sebuah amplop. Seperti yang Milan duga hanya dari melihat ekspresi wajah ibu itu, “Pasti isinya unag, bukan?”
“Benar…”
“Sebelum Anda menyuap saya, bukankah bijaksananya Anda mnenanyakan bagaiman kabar Vian dulu? Apakah dia makan dengan baik? Apakah ia tidur dengan baik? Sedang apa ia sekarang? Dan…..” Milan menarik nafas, “Dan setidaknya Anda bisa membujuk saya dengan cara yang lebih bermoral.”
“Silahkan dipikirkan lagi. Saya beri waktu lima menit.” Wanita modis itu pergi. Nampaknya ia berjalan ke toilet yang berada di dekat tangga menuju lantai dua gedung itu.