Ting tong…………
Bel rumah mewah itu berbunyi. Milan tepat berada di depan gerbang rumah itu. Rasanya sudah berabad dia meninggalkan pekerjaannya. Beberapa hari ini memnag terasa berat baginya setelah Vian datang dan pergi. Tapi baginya masalahnya dengan Tama adalah jauh lebih besar. Dia selalu tidak bisa mengahadapi bocah itu. Bertingkah seenaknya sendiri membuatnya menjadi kelinci yang dijadikan mainan seorang anak kecil.
“Kalau bukan karena aku sudah menggunakan bayaran itu untuk bayar tunggakna kos, aku pasti sduah tak mau lagi bertemu bocah ITU!” gumamnya lirih.
*******
“Apa rencana kita hari ini?” kata Tama yang dengan ekspresi khasnya. Dia duduk di sebelah Milan. Dengan jarak kurang dari setengah meter, Tama tersenyum manja pada Milan.
“Akan lebih nyaman jika kita duduk berhadapan. Jadi aku bisa….”
“Jadi kau bisa memandangku setiap saat!” Tama memotong omongan Milan dengan membubuhinya dengan kalimat yang ia suka, “Baiklah kalau begitu aku akan teramat senang untuk berpindah tempat.” Tama dengan cepat duduk di hadapan Milan. Di meja segi empat itu mereka terpisah. “Teacher, bukankah jika kita saling bersebelah dan dengan tak sengaja bersentuhan, sesuatu itu akan lebih cepat tersalurkan? Atau apakah menurutmu, sesuatu itu akan lebih cepat terasa jika kita saling bertatap mata! Sekarang tentukan, lebih efektif dengan bersentuhan atau dengan bertatap mata?”
Milan dengan muka sebal berusaha menahan isi hatinya agar tidak keluar, “Bocah, apa yang kamu maksud dengan sesuatu itu? Aku lebih suka mengajar anak TK yang merengek ingin muntah di depanku dari pada mengajar seorang bocah tengik sepertimu. Apa kau ingin aku pergi?” Milan menarik nafas dalam.
Tama meraih tangan Milan, “Kau tidak akan bisa pergi. Karena sesuatu itu sudah aku rasakan sejak pertama aku bertemu denganmu. Kau tak akan bisa pergi dengan mudah.” Tama menggenggam erat tanagn Milan. Semakin Milan ingin melepasnya, semakin erat pegangannya.
“Kau boleh mempermainkan style dan dandananmu dengan gaya harajuku atau apalah itu, tapi kau tidak bisa mempermainkan aku!”
“Kenapa Teacher begitu susah mengerti. Tidak bisakah kita selalu ada saat saling menginginkan? Saat aku ingin kamu, aku ingin kamu ada, dan saat kau membutuhkan seseorang, aku juga ingin kau mengharapkan aku untuk ada.”
Milan mendekatkan wajahnya ke Tama, membuat tangan Tama bergetar. Dan Milan bisa merasakannya secara langsung, “Lihatah, tanganmu bergetar hanya karena aku memangdangmu dengan cara seperti ini!” Tama melepas tangannya dan berusaha melihat ke arah lain, “Apa kau masih ingin melanjutkannya?”
“Itu…itu karena aku belum terbiasa dengan wajah manismu!” jawab Tama.