“Apa menurutmu aku ini cantik?”
Dua gadis itu duduk di depan sebuah tempat makan. Mereka menyedu kopi panas di malam yang dingin. Tempat itu selalu nyaman buat Milan untuk menghabiskan secangkir kopi, baik saat sendirian atau bersama Uril sahabatnya.
“Dia bilang, dia suka padaku. Apa menurutmu itu mausk akal?” Milan mencurahkan pada Uril. Baginya kopi itu seperti alkohol yang bisa membuatnya buka mulut dan membeberkan isi hatinya.
“Apa kau akan percaya perkataan anak kecil?”
“Dia bilang kalau aku cantik,” Milan tidak yakin dengan apa yang dikatakannya pada sahabatnya, “Apa menurutmu aku cantik?”
Uril meneguk kopinya perlahan yang masih panas, “Apa kau tahu cantik itu seperti apa?”
“Kulit putih, tubuh langsing, rambut lurus, hidung mancung. Dan aku rasa aku tidak memiliki semuanya.”
“Kau itu memang cantik, walau tidak seratus persen masuk ke standar itu. Cantik itu relatif. Dan kalau anak itu bilang demikian, aku rasa dia jujur.”
“Tapi kak Wisnu bahkan tidak pernah mengatakan kalau aku cantik. Andai saja dulu dia mengatakan hal yang sama mungkin aku akan lebih percaya diri dalam hal cinta. Kau tau kenapa aku masih jomblo?” Milan menarik nafas panjang, “Itu karena aku terlalu bodoh dalam menghadapi situasi. Aku pengangguran dan aku selalu sial. Baru saja dapat pekerjaan, sudah lepas begitu saja. Apa menurutmu aku harus pergi ke kafe itu lagi dan mengemis pekerjaan? Apa menurutmu dia akan menerimaku kembali?”
“Bukan itu yang menjadi masalah sekarang. Kalau kau berhenti dari pekerjaanmu sebagai guru privat, maka kau harus memikirkan soal mengganti uang yang sudah habis kau gunakan.”
“Aku tidak cantik-cantik amat dan juga tidak kaya. Lalu apa yang aku miliki?” Milan menundukkan kepalanya di meja. Merasa frustasi.
“Mari kita ke karaoke. Aku punya teman yang bekerja di sana. Mungkin kita bisa dapat diskon.” Melihat keadaan Milan yang sudah sangat lesu dan hampir layu membuat Uril merasa kasihan dan dia tengah berusaha membuatnya segar kembali, “Besok. Kita besok akan bersenang-senang. Tenang saja, aku akan mentraktirmu. Oke?”
Milan yang tengah kekurangan daya hidupnya hanya bisa menjawab lemah, “Baiklah. Tapi jangan berusaha menjodohkanku dengan cowok yang sama sekali bukan tipeku lagi seperti yang kau lakukan beberapa waktu lalu. Aku rasa aku akan pensiun dalam urusan cinta.”
Malam berlalu. Kedai kopi dan obrolan itu berekor pada janji Uril dan Milan untuk pergi ke karaoke.
*******