Cinta seharusnya tak memiliki batas kadarluarsa. Hanya nafsu yang memilikinya.
Pepohonan seakan diam. Dan angin pun seakan ikut berhenti melihat dua manusia itu yang sedang berhadapan satu sama lain. Saling membisu untuk beberapa saat. Tatapan mata yang saling menyembunyikan maksud itu bertemu seperti neraka yang mengobarkan api misterius.
Dua manusia itu masih diam ketika kupu-kupu melewati mereka sekedar mencari bunga yang bermekaran di sekitar tempat mereka duduk. Suasana siang nan rindang di khatulistiwa dan juga banyaknya warna hijau yang membawa alam ke tempat terbuka itu seharusnya membuatnya menjadi tempat terindah untuk saling bertemu. Di sana. Dibelakang kafe Hijau itu, dua manusia sedang bertemu untuk pertama kalinya setelah empat tahun.
Gadis muda yang cantik yang rambutnya kini telah berwarna tak lagi hitam, tidak juga putih, mengubah kesan pertama sang pria yang dahulu mengenal gadis yang sama namun nampak berbeda. Bibir nan polos kini sudah seperti mawar merah yang mekar. Dan kaki jenjang yang dulu sering mengayuh sepeda kini ter-pamer dengan indahnya di depan si pria. Dalam diam entah apa yang dipikir si pria, apakah itu gadis yang sama? Apakah itu gadis yang lain?
Hanya pancaran matanya saja yang masih ia kenal. Mata indah namun melihat dengan lebih tajam dan menilai dengan lebih seksama. Hal itu membuat si pria bersikap hati-hati akan bagiamna penilaian gadis di depannya itu. Tak boleh terlihat lemah ataupun kalah.
Empat tahun lalu, bukan pria itu yang mengakhirinya. Empat tahun lalu, bukan si pria itu yang pergi saat dia masih bersikukuh dengan apa yang ia yakini, bahwa cinta tak akan pernah salah.
Dan kini pria itu merasakan bahwa cinta mungkin saja bisa salah. Tak ada yang mutlak selain warna laut yang biru di dunia ini.
Masih dalam diam. Tatapan gadis itu masih setajam beberapa waktu yang lalu. Yang hendak berbicara, namun masih ditunda. Yang hendak memeluk namun masih merasa marah. Yang hendak berpegang tangan namun masih merasakan jarak yang teramat jauh. Padahal dia bisa menjangkaunnya. Padahal dia bisa saja meraihnya hanya dalam sekejap. Namun, dia tak tahu apakah si pria juga merasakan gejolak yang sama, hingga diam adalah sesuatu yang bisa masing-masing berikan untuk acara penyambutan dan sekaligus reuni itu.
Saat angin mulai bertiup kembali dan pepohonan mulai bernafas lagi, mulut sang pria seakan mulai berani melepas kata-kata, “Apa kita sudah tidak berada di jalan yang sama seperti dulu?”
Dengan bibir mawarnya, gadis itu mulai meramu kata, “Aku rasa juga begitu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku bisa gila karena tidak bertemu denganmu. Aku bahkan bisa gila jika tidak segera bertemu denganmu.”
“Tapi aku tidak begitu.”
“Kau tahu, perbedaan mata wanita dan pria?” Sora, nama gadis itu, mencoba rileks di depan mantan kekasihnya itu, “Mata wanita bisa melihat lebih banyak dari pada pria. Sebagai kaum yang suka berburu, otak pria menyempitkan penglihatan pria agar bisa fokus pada binatang buruan, memmusatkan perhatian pada satu yang khusus. Wanita tidak seperti itu. Otak wanita sudah terprogram untuk mengolah semua yang mereka lihat dengan mata secara visual. Oleh karena itu, wanita lebih mudah jika harus mencari suatu barang yang hilang, dari pada pria.”
“Tapi,” Zidan tidak kalah percaya dirinya mencoba melengkapi pernyataan gadis di depannya, “Mata pria jaih lebih tajam dari wanita. Hingga ia bisa melihat jauh lebih dalam ke hati para wanita, dan juga mata pria bisa melihat lebih baik dalam gelap, sehingga tidak mudah dikelabui dan juga dibohongi.”
“Benar. Tapi itu bukan berarti pria tidak bisa berbohong, kan?” Sora membenahi rambutnya yang sebenarnya sudah rapi, “Kau tidak melihat ke arah mataku saat kau bilang tapi aku tidak begitu, itu artinya kau juga merindukanku. Atau jauh jauh dan jauuuuh merindukanku? Apa kau masih menyimpan boneka hello kitty itu?”
“Aku sudah menggatinya dengan lumba-lumba. Seseorang memintaku untuk melakukannya. Menurutnya lumba-lumba lebih menyenangkan dari Hello kitty.” Kata Zidan sambil mengingat-ingat isi stick note yang dituliskan Milan di laci mejanya, boneka ini terlalu kekanak-kanakan. Seekor lumba-lumba seribu kali lebih baik.
“Benarkah? Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan lumba-lumbamu itu. Bolehkan?”
“Tentu saja.”
Sora beranjak pergi setelah reuni singkatnya tersebut. Dia mengenakan kaca mata hitamya dan beranjak melangkah pergi dengan sepatu high heelsnya.
Zidan masih duduk di tempatnya semula, “Tidak adakah kata maaf yang ingin kau ucapkan?”
Tanpa berpaling, Sora menjawab, “Maaf hanyalah untuk sebuah penyesalan. Dan aku pergi serta datang padamu tanpa penyesalan. Jadi, kata itu tidak ingin aku ucapkan.” Sora pergi. Langkah kaki tanpa keraguannya mengiringi kepergiannya di hari itu.
Zidan masih mengamati Sora. Tiba di pintu yang akan membawaya pergi dari taman belaknag kafe Hijau itu, Sora melihat seorang gadis yang berseberangan dengannya. Gadis itu sempat tersenyum ramah padanya.
“Dia adalah lumba-lumbaku yang ingin kau temui,” Kata Zidan keras hingga membuat Sora sempat berhenti sesaat untuk mencerna kata-katanya.
Milan berhenti. Dia termangu melihat Zidan. Milan berdiri diantara dua mansuia itu. Dia bingung dan sedikit merinding merasakan atmosfir tempat itu yang dingin sedingin kutub utara yang bahkan belum pernah ia datangi.
“Ha?” Milan terbengong dan melihat ke arah Zidan.
Sora berpaling ke arah Milan dan melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sambil membuka kaca mata hitamnya, dia berkata, “Semoga kak Zidan puas dengan mainan barumu itu!”
Sora melangkah pergi.
********
“Zidan….apa yang terjadi? Siapa dia? Apakah dia adikmu?” Milan nampak bingung, “O…..aku rasa aku tahu,” Milan terus bercakap walaupun Zidan tidak berminat untuk menaggapinya, “Dia pasti gadis hello kitty itu kan? Dia gadis yang membuatmu membayarku untuk beberapa adegan. Iya kan?” Milan melihat tampang besungut Zidan yang sama sekali tak membuatnya enak dipandang, “Karena kau bertampang seperti itu, sudah pasti jawabnnya adalah iya.”
“Kenapa kau tidak diam? Apakah aku membayarmu untuk bicara panjang dan bermain tebak-tebakan?” dalam sekejap, mood Zidan berubah ganas. Dia berbicara dengan nada marah pada Milan, “Kenapa menemuiku? Aku tidak menghubungimu kan?”