Hari pertama di setiap tahun, hari setelah tahun lalu serasa sama, namun pada kenyataannya akan ada dan banyak hal yang mungkin diluar bayangan yang bakal terjadi pada setiap orang. Mungkin saja mimpi mimpi akan menjadi kenyataan, dan harapan harapan akan terlhat makin nyata hingga akhirnya semua itu bisa di genggam. Dendam yang membara mungkin bisa di tangguhkan dan cinta yang berapi bisa terealisasikan menjadi ikatan penuh makna dalam barisan bait puisi sang kekasih.
Hari baru, tahun baru menjadi suatu yang baru pula bagi Milan. Sebagai kompensasi karena ia telah menjadi peluru bagi Zidan yang bisa ada setiap saat, maka dia tercapailah inginnya untuk berprofesi menjadi guru. Walaupun tidak tetap, setidaknya hal tersebut bisa lebih sedikit mengangkat derajatnya di mata masyarakat, sosial, bangsa, dan keluarganya tentunya.
Tak apa, mantapnya dalam hati. Dan hari itu pun ia penuh pasti dengan hati teguh berangkat ke SMA Spartan untuk menemui murid pertamanya. Atau lebih tepatnya yang kedua jika Tama dianggap sebagai murid pertamanya.
Memasuki gerbang. Tiada yang aneh dengan sekolah itu. Barisan murid yang berjalan agak buru-buru karena sebentar lagi lonceng sekolah berbunyi yang artinya gerbang akan ditutup. Dan lagi, parkiran kendaraan penuh mobil itu sudah penuh dengan siswa siswa yang keluar dengan gaya ala anak metropolitan, ala bangsawan, ala borjouis, ala anak konglomerat. Terlihat sangat wah.
Sekolah macam apa ini yang membuat siswanya begitu vulgar memamerkan uang dan mobil ortunya? Mungkin itu yang dipikir Milan. Pasalnya sebagai seorang guru ia datang dengan sedikit berantakan setelah berkecimpung dalam bis kota yang bila pagi di jam jam sibuk seperti biasa, keadaan akan penuh sesak yang membuat parfumnya menghambur sia sia meninggalkan bekas bau badan ekstra bau ketiak orang-orang penghuni bus.
“Aku adalah guru,” dan itulah yang membuat Milan memantapkan kakinya lebih dalam ke sekolah itu. Walau matanya menatap sosok sosok manusia yang terlahir dari keluarga kaya nan raya, dirinya tetap harus percaya diri pada apa yang ia punya. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit merasa tak enak di otak. Apa yang ia lakukan bisa disebut nepotisme. Bagaimana tidak. Dia bisa dengan mudah masuk ke sekolah itu tanpa tes, bahkan tanpa wawancara dengan pihak kepala sekolah atau direkturnya. Bisa saja Zidan punya relasi dekat dengan tirani di sekolah itu. Jadi dia bisa nyelonong menjadi guru di sana. Tapi itu tak jadi soal, selama ia kerja lalu di gaji.
Memasuki kantor. What the hell? Kantor guru itu begitu luas. Saking luasnya, mereka bisa main futsal di sana. Dinding penyekat antar meja guru terbuat dari ukiran-ukiran kayu nan elok dengan masing-maisng bisa bermain bulu tangkis di sekat mereka masing-masing. Para guru yang ternyata sudah lengkap datang semua langsung menuju pada Milan. Bisa disimpulkan bahwa Milan adalah yang datang paling akhir. Sementara semua guru sudah bersiap ke kelas, Milan masih terbengong hingga akhirnya sadar bahwa ia harus segera mencari mejanya. Namun tak ada yang kosong sampai dia melihat seorang wanita yang gayanya dan pakaiannya lebih mirip foto model itu menyingkirkan tas brand Eropa dari sebuah meja. Dan di sanalah meja Milan.
Saat ini Milan memang sedang berada di Indonesia. Namun ketika ia di tempat itu ia merasa sangat asing. Ia seperti berada di benua lain atau biar lebih hiperbola, ia merasa seperti berada di planet lain yang tata main dan aturan hidupnya belum ia tahu sama sekali. Tak ada yang menyambutnya. Tak ada yang mau bicara dengannya, bahkan tak ada yang mau melihatnya.
Sudah ada jadwal yang tergeletak di meja itu. Dan juga ada memo yang harus ia baca. Memo tersebut kurang lebih isinya bahwa Milan sebagai guru baru harus mengajar di kelas XI2. Satu-satunya kelas yang harus ia ajar.
Sejenak ruang gru itu kosong. Ia sadar bahwa ia juga harus buru buru mausk kelas. Saat hendak berdiri, handphonenya berbunyi. Dari Zidan. Pesan singkat dari Zidan yang membuat Milan harus membacanya.
Ibu guru Milan, semoga sukses dengan kelas spesialmu hari ini!
--be strong!
Membaca SMS tersebut, Milan merasa lebih bersemangat. Ia bahkan tersenyum membayangkan ekspresi wajah Zidan penuh antusias saat berbicara dan menyemangatinya.
Berjalan dengan tegap di lorong sepi. Tidak ada kegaduhan dan tidak ada suara mengajar saat melintasi setiap kelas. Hal itu mungkin karena setiap kelas dirancang kedap suara.
“Sekolah macam ini? Hogwards kah?” Milan mempercepat langkahnya sambil memikirkan materi yang akan di sampaikan. Apakah menyampaikan perkenalan dulu, tanya jawab, lalu langsung materi atau bagaimana, Milan masih dalam proses berpikir. Otaknya yang tak begitu pandai memaksanya terus mengekploitasi pikirannya sendiri, mencoba menyeruak kepintaran-kepintaran yang tersisa dan juga kecemerlangan yang mungkin masih menjadi benih alias belum tumbuh di otak Milan yang gersang.
Setelah berjalan di lorong yang cukup panjang dan menaiki dua tangga, Milan sampai di depan pintu XI2. “Inikah dia? Kelas pertamaku?” bisik Milan dalam hati. Dia bahkan menyiapkan handphonenya agar dia bisa bersiap mengambil foto untuk ia pamerkan pada Uril.
Pintu dibuka. Suara langkah kaki dari sepatu high heels yang baru ia beli kemarin memenuhi seluruh ruangan tersebut. Tidak ada suara. Murid murid terdiam. Milan merasa lega. Bayangannya yang maraca seperti di film-film di mana anak-anak akan cenderung menampakkan sikap menolak ketika ada guru baru yang datang. Dan kesunyian ini membuat Milan lega sekaligus membuatnya sedikit salah tingkah. Seperti berjalan di karpet merah dan diperhatikan oleh setiap wartawan, Milan berjalan dengan gugup menuju meja mengajarnya.
“Selamat pagi,” Milan mengeluarkan kata pertamanya.
“Pagi…” terdengar balasan yang tak bertenaga dari para siswa yang berjumlah dua puluh siswa tersebut. Malah ia hanya mendengar lima orang saja yang menjawabnya. Senyum nan ramah juga tak nampak di keseluruhan kelas tersebut.
Milan semakin salah tingkah. Dia mengambil daftar nama kelas XI2. Dia mnulai mengabsen. Masing-masing mengangkat tangannya saat dipanggil namanya, walau ada juga yang harus dipanggil berkali-kali baru mau menjawab dan menyatakan kehadirannya. Ada satu nama yang ada dalam daftar tersebut yang membuatnya berhenti sejenak. Tama.
Nama itu adalah Pratama Adi Surya. Apa ini yang dimaksud Zidan dengan be strong! ???
Apakah maksudnya aku harus kuat ketika melihat bocah anarki itu menjadi muridku lagi?
Belum hilang pertanyaan Milan tentang apakah benar Tama yang ia kenal adalah murid kelas XI2, terdengar suara pintu terbuka. Sosok laki-laki dengan gaya brutal khasnya masuk dan melintas tepat di depan Milan. Sileut matanya mampir di bola mata Milan. membuatnya menegang sekaligus menganga dan juga di saat yang sama, terluka. Laki-laki tersebut sedikit memperlihatkan senyumnya. Bukan senyum sapaan yang hangat, namun senyum evil nan licik.
Tiba-tiba terlintas potret beberapa waktu lalu, saat ia menjadi sasaran kekerasan, ditawan, diperbudak, dan dipermainkan oleh seorang yang wajah dan namanya persis dengan lelaki yang baru saja melintas di depannya.
Tiba-tiba saja, pandangan mata Milan gelap. Kepalanya pusing, dan pada saat yang sama, otot-otot kaki dan tangannya lemas. Dia tidak bisa mengendalikan diri. Ingin rasanya ia menjambak rambut lelaki itu sekaligus menampar bibir nan tajam itu. Tiba-tiba ia ingat sebuah nama. Nama yang lain. Zidan.
Dia berpikir mungkin ini sengaja dilakukan oleh Zidan agar membuatnya terluka. Namun apa salahnya hingga ia harus berada di kelas itu. Apakah ini tantangannya. Apakah ini yang ia inginkan? Apakah ini menjadi cara Zidan agar Sora pergi dan melupakannya. Apa hubungan ini semua dengan apa yang Zidan recanakan?
*******
“Apakah ia sudah mausk kelas hari ini? Suara lirih nan indah seorang wanita yang bibirnya berwarna merah cabe kepada sosok lelaki tangguh di depannya. Setelah ia melihat wajah lelaki yang teduh itu meneguk tehnya, dia melanjutkan, “ Kau benar-benar keterlaluan. Jika cara mengusir yang kau gunakan adalah cara ini. Aku yakin kau tak akan berhasil dia bahkan lebih amatir dari yang aku duga.”
Lelaki itu meletakkan cangkir keramik nan indahnya di meja dan menatap ke mata gadis yang dulu ia panggil si manis Sora, “Dia bukan gadis sembarangan. Dalam lima puluh hari, aku yakin dia pasti bisa bertahan. Dan ketika itu terjadi, kau harus benar-benar melupakan aku. Seperti yang kau lakukan dulu.”
“Apakah kau berusaha membuangku? Si manis Sora ini?”
“Kau yang lebih dulu membuangku. Mencabik hatiku, dan melumpuhkan otakku. Hingga rasanya aku ingin bunuh diri.”
“Tapi, apakah harus dia? Aku takut kau benar-benar jatuh cinta padanya.”
“Aku memang tertarik padanya.”
“Tapi itu bukan cinta.”
“Mungkin dulu kau juga hanya tertarik padaku, bukan mencintaiku.”
“Kau tahu, itu bukan mauku. Tapi hubungan kita sedari awal memang suatu kesalahan. Dan aku berusaha mencari pembenaran atas cinta kita dengan pergi jauh. Aku butuh ketenangan dan lepas dari tekanan keluarga kita.” Gadis itu melepas kacamata hitamnya yang sedari tadi ia pakai. Seakan ia ingin menunjukkan pada lawan biacaranya bahwa matanya sudah memerah dan itu berarti apa yang ia katakan memang tulus.
Waktu terasa berjalan sangat lama bagi keduanya. Ruang spesial di kafe Hijau itu tiba-tiba dingin dan beku. Sampai Santo yang mencuri dengar hampir menjatuhkan sebuah guci mahal yang diimpor dari Eropa. Yang di saat itu juga pembicaraan mereka berhenti dan Sora kembali memakai kacamata hitamnya.
*****
Kelas masih sepi dalam diam, seakan menunggu instruksi gurunya.
“Keluarkan buku kalian!” itu kata yang keluar dari mulut Milan. acra perkenalan dan sebagainya telah terhapus dengan kepanikan yang ia alami sesaat lalu.
Dengan menguatkan langkahnya, ia berjalan di antara para murid dan bersusah payah menghindari tatapan mata dengan Tama. Bahkan ingin sekali rasanya ia mnecoret nama Tama dari daftar nama siswa dan menendang bokongnya keluar kelas hingga meng-gol kannya ke kandang bebek.
Sekejap Milan kaget dengan pemandangan yang berada di meja para siswanya. Itu bukan buku bahasa Inggris atau buku tulis yang Milan maksud. Melainkan itu adalah buku novel, komik, bahkan buku dongeng yang ada di meja para muridnya.
Milan tergagap. Dari dua puluh siswa yang ada di depannya, semuanya sama, tak ada yang tak kompak. Ah, ada satu yang berbeda. Dia bahkan tidak mengeluarkan satu buku pun. Dia tidak lain adalah Tama.
Milan berusaha menahan emosinya. Rasanya ia ingin berteriak “KALIAN INGIN MEMPERMAINKAN AKU? KELUARKAN BUKU BAHASA INGGRIS KALIAN ATAU KALIAN HARUS KELUAR KELAS ATAU BAHKAN KELUAR DARI DUNIA INI!”
Dengan nama Tuhan, Milan sekuat tenaga menahan kata-kata yang ia sumbat sebisanya.
Milan tersenyum dan berkata.
“Bagus sekali. Ternyata kalian memiliki buku yang luar biasa. Namun ada satu yang nampaknya tidak membawa buku.” semua mata menuju pada Tama, seakan hal itu bukan pertama kali terjadi.
“Kamu, muka gangster!” Milan memberanikan diri melihat muka Tama, “Iya kamu!” Milan menegaskan setelah Tama menunjuk dirinya sendiri dengan jarinya karena ia tidak yakin kalau yang dimaksud guru barunya yang pernah ia permainkan menunjuk dirinya.