Haripun terus berjalan dan tanpa kamu menyadarinya tiba-tiba saja kamu sudah sampai pada penghujug Minggu, bulan dan tahun.
Selama seminggu ini, kedua puluh anak di trial class, menjadi bebek yang jinak yang mendengar Milan walau dengan sedikit dipaksakan. Atau bagi sebagian yang lainnya, itu sebagai bentuk terima kasih pada Milan karena sudah mempertemukan mereka dengan para dewa basket tempo hari itu.
“Sekarang, apa yang ingin kalian ungkapkan ketika kalian marah. Misalkan marah padaku mungkin?” kata Milan mencoba membimbing para siswanya agar paling tidak pada ujian tengah semester nanti nilai mereka tidak lagi menjadi yang terpuruk di antara semua kelas yang ada di Spartan.
“Fuck!” kata Jimmy mengutarakan kata dalam bahasa Inggris yang sering ia dengar di film-film Hollywood.
“This is very irritating”
“I can’t say that I am all pleased.”
“You really make me see red.”
“I can’t stand you with this.”
“I’ve had just about enough of this condition.”
Bertubi-tubi suara anak-anak metropolit itu memenuhi kelas. Sesuai perintah Milan, mereka dengan fasih melantunkan kalimat penuh emosi mereka, sekaligus dengan ekspresi dan mimik yang pas.
Milan tetap berdiri di antara siswanya. Dia menuju ke bagian meja paling belakang.
“Bagaimana kalian mengutarakna cinta? Love?”
Mata mereka saling bertatap. Hati Milan bergetar, bahkan lebih hebat dari pada getaran di kakinya yang sudah sedari tadi ia sembunyikan.
Rasa, siswa yang duduk tepat di sebelah Tama langsung mengambil alih kelas, “Love is not something that we look for, but something that find us. Cinta itu bukan sesuatu yang kita cari, tetapi sesuatu yang menemukan kita.”
Semua siswa larut dalam keheningan mendengar kata indah tentang cinta dari Rasa, seakan ia sedang menyatakan cintanya pada seseorang.
Milan kemudian menunjuk salah seorang gadis yang duduk di depan Tama, sembari menghindari pandangan mata Tama.
Gadis yang bernama Ica itu pun dengan sedikit gugup mengutarakan kalimmatnya tentang cinta, “Keep your heart in the deepest recesses and wait for the right one to pick it up. Simpan hatimu di relung terdalam dan tunggulah seseorang yang terbaik untuk mengambilnya.”
Lalu, Milan yang mencoba menghindari sekali lagi tatapan matanya dengan Tama, beralih pada Bagus, dia tampak sedikit kesusahan dalam mengutarakan kata tentang cinta.
Lalu, suara yang akrab di telinga Milan mengambil alih,
“First love is amazing, but the last love is a perfect. Cinta pertama memang menakjubkan, namun cinta terakhir merupakan sebuah kesempurnaan.
I’m trying to stop liking you, because I want to love you.
Aku mencoba berhenti menyukaimu, karena aku ingin mencintaimu.
When you’re in love, you’re going to have trouble of sleeping. Because, you know her face is much more beautiful than any dream in your sleep.
Ketika kamu sedang jatuh cinta, kamu akan sulit tidur. Karena kamu mengetahui bahwa wajahnya jauh lebih indah daripada mimpi di dalam tidurmu.
Falling in love is not planned in a life, because it is a surprise from God.
Jatuh cinta bukanlah rencana dalam sebuah kehidupan, karena itu adalah kejutan dari Tuhan.
You understand why love is blind? Because your mother loved you even before she was able to see you.
Kamu mengerti kenapa cinta itu buta? Karena ibumu telah mencintaimu bahkan sebelum ia melihatmu.”
Tama menghentikan celotehnya tentang cinta dengan tetap memandang dengan tegas penuh keredupan di matanya kepada sang Teacher, Milan.
Bukan hanya Milan, melainkan semua orang di kelas itu tertegun mendengar satu persatu kalimat Tama. Seakan semua gadis di kelas itu tersihir. Dalam sadarnya, Milan mengendalikan diri dan perasaannya, “Kau mahir sekali berkata tentang cinta, pastinya kau memiliki banyak gadis untuk kau gombali. Iya kan?”