Malam-malam setelah Oma dibawa kerumah sakit yang menjadi malam terakhir Milan bertemu dengan Oma telah menjadi malam-malam yang harus dilalui dengan perjuangan bagi Milan. Perjuangan untuk menghapus satu nama dan satu wajah dari otak dan hati Milan yang sudah tertulis secara permanen.
Hingga malam-malam itu bertumpuk menjadi minggu, bulan, tahun, windu, dan dekade.
Kini genap dua puluh tahun setelah Oma meninggal Milan harus pula menghadapi kehilangan yang lain, yaitu kehilangan ayah dari anak-anaknya. Kehilangan orang yang sangat diinginkan Oma untuk menjadi pendamping sekaligus teman hidupnya yang akan setia menemaninya dalam suka dan duka.
Dan Oma memang benar bahwa Zidan adalah sosok pria sempurna yang diciptakan Tuhan. Dan darinya pulalah ia bisa melihat dua buah hati yang sehat dan tampan sama seperti ayahnya.
******
Dan hari itu, genap satu tahun setelah meninggalnya Zidan. Bahkan setelah 21 tahun lamanya, Milan belum bisa menghapus nama dan wajah itu. Entah butuh berapa lama baginya untuk melukis wajah dan nama Zidan di sana, bahkan setelah Zidan telah tiada.
Mengingat masa muda menjadi suatu yang membuatnya merasa muda, walau tidak bisa membawanya ke masa muda.
Saat duduk di teras rumah itulah, Milan mengarungi setiap masa yang dilaluinya. Berkata ia dalam hati, “Maaf aku tidak bisa menunggumu. Aku tidak bisa menolak permintaan terakhir Oma.”
Kata kata itu hampir tiap malam ia ucapkan. Bahkan terkadang sampai terbawa dalam mimpi hingga ia hampir setiap malam mengigau hal yang sama dan membuat Zidan merasa bersalah atas keterpaksaan itu. Walau demikian, Zidan tetap setia pada cintanya pada Milan, si wanita biasa hingga 20 tahun, hingga usia memisahkan mereka.
Sesekali Milan pergi jalan-jalan ke halte di mana dulu ia pernah duduk bersama sebuah wajah dan nama yang tak bisa ia hapus. Dan setelah pernikahannya dengan Zidan, sosok itu tak lagi bisa ia lihat. Bagai hilang ditelan bumi. Bahkan setelah dua puluh tahun, sosok Tama tak pernah hadir menghiasi mata Milan. Tapi bagi Milan tak ada yang berubah, hatinya tetap sama, hanya usia dan keriput yang mulai menyapa saja yang berbeda.
Di hari terik, gerimis tiba-tiba bergerumul memenuhi setia jalan raya. Milan duduk sendiri. Sudah dua jam tak ada bus yang datang. Kalaupun ada yang datang, tak ingin pula ia menaikinya. Karena ia bukan ingin menaiki bus kota itu, melainkan melihat ke langit yang sama yang dulu pernah ia lihat bersama seseorang.
Tiba-tiba sebuah mobil warna hitam buatan Jerman yang konon katanya amat terkenal itu turun di tepat di depannya.
Sesosok pria berkemeja nan gagah datang pada Milan. Turut duduk. Tak berapa lama mata mereka saling pandang. Tanpa sadar, kedua tangan mereka saling menggenggam dan saling menghangatkan.
“Lihatlah, sekarang aku bukan lagi pria berseragam SMU. Bukankah sekarang aku adalah pria dewasa di matamu?”