Dava memutar bola mata jengah, dia sudah pegal menunggui cewek di sebelahnya yang sedari tadi berkomat-kamit sambil menggenggam sebuah kotak makan. “Ra, lo lagi ngapain, sih? Keburu dia cabut, tuh!” ujarnya kesal sambil melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung ke tembok yang dekat dengan pintu masuk kantin.
Damara, yang merasa aktivitasnya terganggu oleh celetukan Dava, berdecak kesal. “Ck! Gue doa dulu, Dav, biar kali ini Kak Milan mau nerima bekal dari gue.”
“Masih belum kapok juga? Udah berapa kali lo dikacangin sama Milan?” Ada nada gusar yang terdengar jelas dalam setiap kata yang Dava lontarkan.
“Mau sampai berapa kali pun, gue bakal tetep usaha. Mau dikacangin kek, ditelurin kek, gue nggak peduli! Demi Kak Milan!!!” Mata terang Damara melirik cowok yang tengah duduk sambil memainkan ponsel. Di sekitarnya, ada tiga cowok lain yang sedang tertawa-tawa.
“Terserah lo, deh! Percuma juga ngomong sama orang yang udah buta gara-gara cinta!” Kadang, Dava sendiri sampai kehabisan kata-kata jika sudah berdebat dengan Damara soal Milan.