Kamu itu mirip sama kemerdekaan,
sama-sama harus diperjuangkan.
“Wah dede emesh dateng lagi, tuh!” Ozy yang melihat Damara melangkah mendekat, langsung menyenggol Milan yang sibuk dengan ponselnya.
Milan hanya melirik sekilas. Pengganggu! batin cowok itu sambil mendengus. Sedetik kemudian, Milan sudah kembali fokus pada ponselnya, memainkan game balap motor yang baru dia download 15 menit lalu.
“Heran gue, kok dia nggak capek ya, tiap hari selalu bawain bekal buat Milan? Padahal, akhirnya yang makan juga kita-kita,” ujar Sean seraya melirik Ozy dan Tristan.
“Sssttt ... diem!” Tristan memberi kode lewat matanya agar Sean tidak banyak bicara karena Damara sudah berdiri di depan meja mereka.
Cewek itu menjulurkan tangannya yang masih menggenggam sebuah kotak makan, terlihat jari-jari mungil Damara bergetar saking gugupnya. Kepalanya tetap tertunduk, tak berani menatap Milan. “Kak Milan ..., a-aku bawain sandwich bu-buat Kakak.” Hanya kalimat gagap tersebut yang mampu Damara ucapkan. Namun, tak ada respons sama sekali dari Milan. Suasana jadi sangat canggung.
“Sini, deh, gue yang kasih ke Milan.” Tristan mengambil alih kotak makan yang Damara sodorkan, lalu meletakkannya tepat di depan Milan. Namun, cowok bermata hazel itu masih diam, seakan tak ada orang di sekitarnya.
Sean memiringkan kepalanya untuk menatap Milan. “Lan, lo nggak mati, kan? Diem aja.” Tak ada jawaban. “Yah dikacangin!” rajuk Sean, kesal karena Milan pun tak menanggapinya.
Damara hanya bisa diam sembari terus menunduk. Sekarang telapak tangan Damara yang mulai lembap, mencengkeram rok seragamnya untuk mengurangi rasa gugup.
“Lan, dibawain sandwich tuh, nggak lo makan?” Tristan buka suara, lagi. Memiliki sahabat berwatak es batu seperti Milan membuat Tristan harus rela boros kata untuk menangani situasi-situasi semacam sekarang ini.
Dengan sebal Milan mendengus. Bagaimana bisa fokus bermain game kalau sahabat-sahabatnya terus mengoceh seperti itu?! Habis Sean, sekarang Tristan?! Milan yakin, tidak lama lagi Ozy akan segera membuka mulut kalau dirinya masih diam saja.
Milan menghela napas dan meletakkan ponselnya ke atas meja. “Taruh aja di situ,” ucapnya dingin tanpa menatap gadis yang masih berdiri seperti patung di depannya. Sang Ice Prince beralih pada softdrink miliknya. Dia menenggak cairan berwarna merah itu untuk membasahi tenggorokannya yang terasa agak kering.
Mendengar suara Milan, Damara otomatis menegakkan kepala. Kak Milan ngomong? Dia ngomong sama gue? Demi apa? Aaahhh!!! batinnya terlampau senang.
Untuk kali pertamanya, Milan Arega mengatakan empat kata kepada Damara. Empat kata sudah masuk dalam kategori panjang, bagi Damara. Ini sebuah keajaiban dan anugerah baginya. Entah mimpi apa dia semalam hingga Milan mau berbicara, tidak seperti biasanya.
“Ta-tapi, aku pengin lihat sandwich buatan aku habis.” Damara refleks menggigit bibirnya setelah mengucapkan kalimat barusan. Sekarang cewek itu benar-benar menyesali ucapannya. Kok, gue jadi maksa, sih?
Kesal. Milan benar-benar kesal kali ini. Dengan kasar, tangan besar cowok itu membuka kotak makan yang ada di depannya. Ada tiga potong sandwich yang terlihat sangat enak di dalamnya. Namun, tetap saja, hal itu sama sekali tidak membuat Milan tertarik.
Saat menoleh ke kanan dan kiri, Milan mendapati ketiga sahabatnya sedang fokus menatap sandwich yang masih ada di dalam kotak makan. Muka mereka seperti orang kelaparan yang sudah tiga hari tidak bertemu nasi. Bahkan, Ozy terlihat meneguk ludah berkali-kali. Tiga makhluk lapar dan tiga potong sandwich? Pas!