Kalau dipikir, kita seperti dua kutub magnet
yang sejenis. Karena, setiap kali aku berusaha mendekat,
kamu akan langsung bergerak menjauhiku.
“Ahhh!!! Kak Milan ganteng banget keringetan gitu!”
“Milan semangat, ya!”
“Kak Milan kece banget, duh!”
Milan terus mendribel bola basket di tangannya. Dia tidak memedulikan teriakan histeris dari para suporternya yang sudah memenuhi tribun penonton di lapangan basket indoor sekolah. Tentu saja, sebagian besar suporter Milan itu adalah para cewek yang tidak mau melewatkan kesempatan berharga untuk menonton aksi cowok paling populer itu bermain basket.
Sesuai dengan berita yang sudah menyebar sejak kemarin, pada jam istirahat ini, Milan sedang terlibat duel one on one dengan Adrian, anak kelas XII. Adrian yang kali pertama mengajukan tantangan kepadanya. Bukan Milan namanya kalau tidak meladeni tantangan tersebut.
Sebagai kakak kelas, Adrian memang sangat membenci adik kelasnya yang bernama Milan itu. Adrian benci sikap Milan yang arogan dan seakan tidak takut pada apa dan siapa pun. Satu lagi, Adrian, selaku kapten basket di sekolah, merasa tidak terima dengan desas-desus yang mengatakan bahwa kemampuan Milan dalam bermain basket melebihi kemampuan Adrian sendiri. Milan yang bahkan bukan anggota tim basket? Oh tidak! Adrian tidak akan menerima hal itu begitu saja. Dan sekarang, Adrian di sini untuk membuktikan sendiri bahwa semua desas-desus itu tidak benar.
“Nice shoot, Lan!” teriak Tristan yang ada di bangku penonton paling depan saat Milan baru saja melakukan tembakan three points dan masuk sempurna ke ring. Teriakan Tristan dibarengi dengan terangkatnya dua tangan Ozy dan Sean. Sementara itu, Milan sendiri seperti biasa hanya memasang ekspresi datar, seakan tidak ada perasaan senang walaupun baru saja mencetak angka.
“Milancuuu cemungudhhh eaaa!” Seperti penonton alay, Ozy berteriak dengan gaya sok imutnya.
Sean sampai bergidik ngeri mendengar teriakan sahabatnya itu. “Alay lo!” cibirnya.
Ozy melirik Sean sinis. “Bodo!” semprotnya, tak lupa menjulurkan lidah.
Sementara itu, di sisi lain gedung olahraga, Dava diam saja ketika semua penonton di tribun berdiri dan bersorak-sorai untuk merayakan kemenangan yang baru Milan raih. Jika saja bukan Damara yang memintanya ikut menonton duel basket antara Milan dan Adrian, Dava pasti lebih memilih diam di kelas. Dia lebih baik menyumpal telinganya dengan earphone untuk mendengarkan lagu-lagu Coldplay dan tidur.