”Berhentilah minum kopi!“ sergah Josh, Joshua-- sahabat laki-laki Jessie, dengan menatap tajam.
”Itu sama artinya kamu berniat membunuhku.“ Jessie membalas dengan suara mengambang. Setengah mengantuk. Matanya balas menatap mata Josh. Bukan menatap tepatnya, mungkin memicing yang terasa sepat karena kurang tidur.
”Kalau kamu tidak segera menghentikan kebiasaan burukmu itu—” Suara Josh melembut.
”Minum kopi bukan kebiasaan buruk!“ sungut Jessie kesal. Ia merasa tidak terima—meski nada suaranya lebih pelan daripada sebelumnya.
Beberapa pasang mata pengunjung melirik ke arah mereka. Sepertinya perempuan lupa menurunkan volume suara. Jessie membalas tatapan mata itu dengan picingan mata mengantuk. Mereka yang memang sedari awal tidak berniat ikut campur kembali mengalihkan pandangan dan menikmati kudapan serta kopi yang telah disajikan.
Tatapan Josh tidak juga beralih dari Jessie.
”Kopi itu akan membunuhmu juga....“ Laki-laki itu masih melanjutkan bujukannya, dengan suara rendah. ”Kau bisa memulainya dengan mengurangi sedikit demi sedikit. Lagipula, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, bukan?“
Jessie mendengus. Ia membuang pandangan ke arah luar jendela kafe kecil di pinggir jalan.
Josh terbatuk kecil. ”Kamu marah?“
Jessie diam, tidak menjawab. Pura-puranya ada pemandangan menarik di luar jendela.
”Ayolah, Jess...," bujuk Josh. ”Siapa yang kau telepon pertama kali di tengah malam kalau kau sedang insomnia? Siapa yang kelabakan mencari obat di tengah malam ketika pusing dan migrainmu semakin menjadi-jadi?“
Josh menarik napas panjang sebelum melanjutkan pertanyaan retorisnya.
”Siapa yang mengirimkan naskah ratusan lembar ke penerbit ketika kau tidur ngorok membayar hutang lembur?“
Tidur ngorok!? Hhhhh!
”Kau minta imbalan?“ tanya Jessie geram. Suara pelan mematikan.
Josh mengangguk. Lalu berkata cepat sebelum perempuan di depannya meledak marah. ”Imbalanku murah, kok. Kau dengarkan nasihatku kali ini! Itu saja. Itu saja imbalannya." Matanya terlihat serius dan garis wajahnya menegas. Suaranya sedikit tinggi. ”Berhentilah minum kopi!“
Jessie menatapnya selama beberapa detik. ”Terima kasih untuk nasihatnya." Tangannya menyambar botol mineral di atas meja dan segera mereguk air di dalamnya.
Josh tadi memaksa pelayan mengganti pesanan kopi dengan sebotol air mineral.
”Nasihatku kali ini gratis. Lain kali kau harus membayarnya.“
Apa maksudnya!?
Jessie meruncingkan bibirnya tanda bahwa ia sangat kesal. Mata sepatnya menatap wajah Josh. Mencari kesan angkuh dan menyebalkan yang menyertai kalimatnya tadi. Tapi, ternyata tidak. Laki-laki itu malah tersenyum. Matanya setengah menerawang jauh. ”Itu kata... Sandra.“
Itu kan—
Jessie tidak jadi melanjutkan protesnya. Ia terdiam kaget. Banyak orang—terutama teman-teman perempuannya bilang kalau ia sangat beruntung. Jessie dipilih menjadi orang terdekat Josh—sahabat laki-lakinya yang saat ini sedang cerewet mengenai bahayanya kopi.
Josh dengan kedua bola mata abu-abu dan rambut cokelat yang selalu tersisir rapi. Josh dengan garis wajah tegas dan matang. Josh yang penuh perhatian dan bersuara lembut. Laki-laki itu membuat siapapun berharap bisa menjadi satu-satunya orang yang mendapat perhatiannya.
Jessie sunggh beruntung. Tapi, ternyata... pernyataan orang-orang tersebut dan kenyataan benar-benar membuatnya kecewa.
Jessie beruntung karena selama ini ia yang dianggapnya sebagai satu-satunya sahabat!? Sayangnya, hanya sahabat. Josh memilih Sandra untuk dijadikannya sebagai lebih dari sahabat. Sudah lama Jessie memendam rasa. Bertingkah polah seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, kali ini gusar. Kurang tidur karena dikejar tenggat tulisan membuatnya uring-uringan. Ditambah lagi perhatian Josh yang memintanya mengurangi kopi. Seandainya tak pernah ada Sandra, perhatian itu akan membuat perasaan Jessie melambung bahagia. Ia akan menuruti perkataan Josh untuk tak lagi ngopi.