Milch

Desi Puspitasari
Chapter #2

Ke Mana Saja

Ben mengancingkan mantel hitam dan keluar mengunci pintu. Dalam pantulan di kaca bagian depan rumah, ia melihat sekilas bayangan dirinya. Rapi. Itu sudah cukup. Ia tidak ingin terlalu terlihat begitu mempersiapkan diri ketika menemui teman perempuan. Siapa pun itu. Meski malam ini ia hanya akan menemui Jessie, dan tidak akan membicarakan hal mengenai perasaan. Ben telah memutuskan mengambil sikap ketika bertemu dengan perempuan. Menjaga jarak.

Tania tidak beraksi begitu hebat, tapi ia telah memporak-porandakan segalanya.

***

Jessie menempelkan wajahnya pada jendela sebuah kedai cokelat. Ia sedikit terlambat. Suasana di dalam terkesan hangat. Warna lampu seakan menyebar memenuhi ruangan dengan warna cokelat lembut. Beberapa kursi kayu dengan sandaran melengkung diisi oleh orang-orang.

"Pilihan yang bagus, Ben," gumam Jessie.

Jessie membuka pintu. Bel yang digantung di bagian atas pintu berkelinting nyaring. Terdengar suara George Michael dengan Miss Sarajevo-nya dalam volume lembut. Samar seperti sedang menemani suara orang bercakap-cakap.

Cuping hidung Jessie bergerak-gerak. Ia senang menghirup aroma wangi minuman yang disajikan dan kue hangat yang baru dikeluarkan dari oven. Ada kayu manis yang harum dan sedikit menyengat. Juga ada aroma vanila yang manis dan lembut.

Seorang perempuan dengan syal warna cerah melilit di lehernya berteriak mengucapkan selamat datang. Mata Jessie hanya memerlukan waktu sepersekian detik untuk menemukan Ben yang duduk di pojokan. Ia sedang berbicara dengan seorang pelayan. Mungkin mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkan pesanannya.

”Untukku?“ tanya Jessie kaget sambil melepas jaket. Seharusnya dia bisa menggantungkannya di gantungan dekat pintu, tapi ia lebih suka menyampirkannya di punggung kursi. Sebuah cangkir teh panas dengan kepul asap putih telah tersedia di meja di sisi bagian Jessie. 

Pelayan itu pergi. Ben menoleh ke arah Jessie.

”Teh jahe di sini sangat enak,” katanya sambil tersenyum. 

”Teh?“ Jessie menarik kursinya sedikit ke belakang dan menyelinap duduk. 

”Kutebak, pasti kamu belum pernah ke sini.“

Ben mengganti tempat mereka bertemu di dua puluh menit sebelum waktu yang disepakati untuk bertemu. 

Jessie mengangguk. Tempat ini terhitung baru. Bau tehnya harum. Ia suka lukisan daun hijau yang menjalar di sekitar permukaan cangkir putih. 

”Meski ini teh jahe, tapi bau melatinya tidak hilang.“

”Mm-hmm....“ Judy menggumam. Ia mengangkat cangkir teh itu tepat di bawah hidung. Dihirupnya aromanya sebentar, lalu dengan hati-hati ia mencoba teh itu. Benar. Teh jahe itu luar biasa. Ia tidak kehilangan rasa sepat khas teh yang tertinggal di lidah sekaligus rasa manis dan efek jahe yang hangat.

Jessie masih merasakan aroma melati yang wangi memenuhi mulut dengan ringan.

”Aku yakin kau pasti suka.“ Ben ikut menikmati teh dari cangkirnya. 

Jessie melirik ke arah meja. Dua buah piring kecil warna putih masing-masing berisi empat buah buket jahe berbentuk beruang.

”Itu juga enak.”

Jessie meletakkan cangkir tehnya. Ia belum berminat mencicipi buket jahe itu. ”Bagaimana kau bisa—”

”Kali ini aku sedang bertaruh dengan diriku sendiri,“ kata Ben cepat tanpa menunggu Jessie menyelesaikan kalimatnya. ”Aku menghitung waktu yang kau perlukan hingga sampai di sini. Kau pasti akan mempersiapkan diri lima belas menit sebelum waktu kita janjian ketemu. Lima menit akan kamu habiskan untuk mencari skarf yang kau simpan dengan ceroboh. Lima menit kau habiskan untuk mengenakan jaket, sepatu, dan mengunci pintu. Lima belas... atau dua puluh menit kau gunakan untuk berjalan—aku tahu kau pasti akan memilih untuk berjalan meski jarak kedai dengan rumahmu sekitar tiga blok. Dua atau tiga menit kau gunakan untuk berhenti sejenak di perjalanan untuk bersin hebat karena dingin atau mengintip dari jendela kaca. Dua menit untuk membuka pintu dan mencariku sebelum akhirnya kau duduk di sana.“ Ben menggerakkan dagunya kecil menunjuk ke arah kursi yang sedang diduduki Jessie. 

Jessie mendengarkan, tapi tidak berkomentar. Apalagi menunjukkan wajah terkesan. Ia malah menciduk dua sendok kecil gula pasir dan mencampurkannya dalam teh. Ben memang terkenal dengan ketepatannya dalam berhitung. Jessie mengembalikan sendok gula ke tempatnya dan tidak melakukan apa-apa terhadap teh yang baru saja ditambahinya gula. Kepalanya menatap cangkir teh dengan serius. Lalu ia mendongak menatap Ben lekat-lekat. Wajah Ben tidak banyak berubah dibanding tiga atau empat tahun yang lalu. Kecuali kantung matanya yang mulai memudar.

”Jadi, selama ini ke mana saja?" tanya Ben simpatik. "Sudah hampir seminggu tidak muncul di kedai. Kamu dicari Abby, lho."

Kali ini seloyang cup cakes vanilla baru saja dikeluarkan dari oven. Bau hangatnya yang harum menyebar ke seluruh ruangan. 

”Maaf, aku... kepalaku pusing sekali. Besok aku kembali ke sana," kata Jessie. Perasaan tak enak menyelinap ke dalam hatinya. Ia sadar hampir selalu bersikap keterlaluan. Kali ini membolos tak menampakkan diri tanpa kabar hingga teman-teman di kedai susu MILCH mencarinya.

”Kamu ngopi lagi, ya?"

"Bukan urusanmu!" bentak Jessie --yang kemudian sadar mereka sedang berada di tempat umum. Tak elok bila memulai pertengkaran dan/atau berkata-kata penuh emosi di tengah keramaian.

Ben tertawa kecil. Ia sudah bisa menebak reaksi Jessie. 

Jessie tidak membiarkan Ben berhasil mengganggunya. ”Aku bosan kopi,” katanya pelan dan berat. Tapi, ia tetap melanjutkan. ”Coba hitung. Ada berapa kedai kopi yang bertebaran di pinggir jalan setiap malam. Aku sudah mencoba semuanya."

"Lalu, kenapa kamu malah kabur dari kedai susu milik kita? Hm?" pancing Ben. "Kamu bebas mau minum susu. Mau segalon langsung juga nggak masalah."

”Kepalaku pusing. Aku ingin mengaso sebentar di rumah."

Lihat selengkapnya