Milch

Desi Puspitasari
Chapter #4

Tentang Abel

Aku mengumpulkan kotak-kotak tisu di salah satu meja. Kemudian mengelap meja utama hingga bersih. Kursi-kursi sudah dibalik dan diletakkan di atas masing-masing meja. Lampu telah dimatikan.

Aku melepas celemek dan menyimpannya ke dalam rak khusus pegawai. Setelah mengucap selamat malam, aku segera keluar dengan mencangklong ransel dan mendekap diktat tebal. Perutku berkeriuk senewen, tapi bukannya berhenti untuk sekadar mengusir lapar, aku memutuskan untuk terus berjalan cepat menyusuri trotoar di malam hari. 

Sambil terus-terusan menggosok telapak tangan supaya terasa lebih hangat, aku berdiri menunggu di depan sebuah rumah. Barusan aku memencet bel. Tak seberapa lama lampu di dalam rumah menyala, dan pintu terbuka. Bebanku bertambah karena menerima bayi gemuk yang terbungkus jaket tebal.

"Terima kasih banyak." Aku mengangguk dengan sangat bersungguh-sungguh. Wanita tua pemilik rumah penitipan bayi itu balas tersenyum. Ia kembali menutup pintu dan aku kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Isabell--Abel yang sedang berada dalam dekapanku mendengkur halus. Kuharap jaket yang dikenakannya cukup memberinya kehangatan. 

Setelah cukup berkeringat menyusuri jalan sepanjang trotoar sepi, aku merogoh kunci di saku celana dengan susah payah. Membuka pintu dan menutupnya kembali dengan tendangan kaki. Aku meletakkan diktat buku raksasa itu ke atas meja, barulah kemudian membaringkan bayi gemuk itu ke atas tempat tidur. Ia menceguk pelan, tubuhnya bergerak-gerak. Lalu, kembali tenang. Wajahnya terlihat damai.

Aku membungkukkan badan. Pipinya yang gembil kucium-cium pelan. 

Sambil menguap lebar dan merentangkan tubuh yang terasa linu, aku menuju dapur. Kudidihkan sedikit air untuk segelas kopi panas. Aku meninggalkannya sejenak untuk cuci muka. Air dingin dari keran lumayan mengusir kantuk dan memberi kesegaran. Aku kembali menuju dapur. Mematikan kompor dan membuat secangkir kopi pahit panas. 

Ada banyak tugas yang harus segera kuselesaikan malam ini. Kuharap kopi tanpa gula ini mampu menyangga mataku --bertahan melek hingga dini hari. Dengan perasaan lelah luar biasa aku mulai membuka halaman-halaman diktat dan mengerjakan lusinan tugas. Mudah-mudahan bayiku cukup tenang untuk malam ini. 

***

"Kau terlihat lebih kurus dari sebelumnya," komentar salah seorang teman perempuanku. Tatapannya bergerak dari kepala hingga ujung kakiku. 

Kukira aku tidak perlu menjawab pernyataan itu. Yang harus kulakukan sekarang adalah berjalan dengan cepat keluar dari kelas. Ada buku yang harus segera kukembalikan. 

"Seandainya kau mendengar nasihatku," keluhnya. Ia berjalan di sebelahku, ikut mempercepat langkah dan terus berkomentar. 

Aku masuk ke dalam perpustakaan dan segera menuju ke meja petugas. Bertumpuk-tumpuk buku itu kusodorkan untuk dikembalikan. Ibu petugas dengan kacamata bertengger di kepala segera memberi tanda di kartu anggota.

Aku melirik jam di dinding. Mengeluh dalam hati; tak pernah ada cukup waktu. Masih saja harus bergegas. Petugas itu mengucapkan beberapa kalimat menawarkan buku yang sedang tidak kubutuhkan. Aku mengucapkan terima kasih dan bergegas keluar. Masih saja harus bergegas.

Aku berjalan kaki dari kampus menuju ke restoran kecil tempatku bekerja. Berjalan kaki artinya menghemat banyak uang. Kupikir aku bisa menggunakan uang itu untuk membeli hal-hal lain—terutama susu untuk anakku.

"Kau banyak berubah sekarang!" Temanku masih belum menyerah. Terus membuntuti.

Aku berhenti di tangga di depan kampus. Sedikit menyingkir untuk memberi jalan bagi yang terburu-buru masuk kelas karena sedikit terlambat.

"Tidak ada yang berubah." Tanganku mencengkam tali ransel yang menggantung di sisi pinggang dengan erat. "Hanya saja aku perlu bekerja lebih keras daripada sebelumnya." Tanpa merasa perlu menunggu ia balas berkomentar, aku melanjutkan perjalanan. 

"Itu maksudku...!" Ia mengejarku penuh semangat. "Karena bayi itu, kamu kehilangan masa mudamu!"

Sekali lagi aku berhenti. Lalu, menatapnya dengan pandangan tidak suka. "Kenapa tidak kau salahkan laki-laki yang meninggalkanku begitu saja?!"

Dia tampak kaget. "Maksudku... kalau saja kau menggugurkannya?"

Aku marah luar biasa! Tanpa perlu mengucapkan apa-apa, aku bergegas pergi begitu saja.

***

Lihat selengkapnya