Milch

Desi Puspitasari
Chapter #5

Tantangan

"Kau lihat apa yang beda dari Meg tadi?" tanya Ben sambil menjaga kecepatan laju sepedanya. Ia berusaha mengiringi Jessie dengan berada di sisi luar jalan. 

"Mm-hmm. Tidak...." Jessie menggeleng. Hidung hingga lehernya terbenam syal tebal. 

Sebenarnya tadi Ben berharap Jessie setidaknya diam sejenak untuk memikirkan jawaban. Ia memancing lagi. "Juga para pengunjung yang lain. Perhatikan apa yang terjadi pada mereka sebelum dan sesudah mereka bercerita."

Jessie mengurangi laju sepeda. Ia mengayuh pelan-pelan. Jalanan terlihat hitam seperti diguyur hujan seharian. Udara dingin yang menerpa tubuh-tubuh di atas sepeda itu terasa segar sekaligus menggigit. Ia menoleh.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?"

Ben menghindari tatapan Jessie. Sepedanya berguncang pelan. Baru saja ia melindas kerikil kecil. "Maksudku, sepertinya akan menarik kalau besok kau yang bercerita."

Jessie merengut tidak suka. Bibirnya meruncing maju ke depan.

"Besok-besok lagi, sesuai pengunjung bercerita, perhatikan mata mereka, deh...," tangan Ben menunjuk pelipis di sebelah matanya. "Setidaknya, Meg --dan juga pengunjung lain --terlihat lega dan bahagia setelah bercerita. Kayak plong, gitu."

 Jessie melengos kesal. 

"Begini, Jess...," Ben menghela napas. 

Mereka berdua berhenti di lampu merah di perempatan jalan yang sepi. Sebuah mobil warna kuning terlihat melintas. Bangunan-bangunan tinggi atau rumah-rumah telah tertutup rapat. Malam terasa begitu dingin dan berkabut tipis. 

"Mungkin ada baiknya kau mulai menceritakan sedikit alasan ketidakhadiranmu di pemakaman Josh," kata Ben pelan tapi sangat jelas.

Jessie menoleh kaget! "Apa maksudmu!? Itu bukan urusanmu! Waktu itu... aku.... aku--"

Ben tidak menjawab apa-apa kecuali memandangi Jessie dengan serius. Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya barusan. 

Jessie merasa kesal. Ketika lampu berubah hijau, tanpa menunggu lama ia segera mengayuh sepedanya cepat! Meninggalkan Ben begitu saja. 

Tanpa kesulitan Ben menyusulnya. "Terburu-buru, eh?" tanyanya sambil nyengir.

Tangan kiri Jessie menurunkan syalnya sedikit. "Aku tidak sabar untuk segera meringkuk di bawah selimut tebal!" jelasnya gusar tanpa menatap Ben sama sekali. Ia menambah kecepatan kayuhan sepeda. Melesat meninggalkan Ben. 

Hanya berselang beberapa detik, sebuah sepeda dengan pengendara berjaket putih menjajari sepeda Jessie. Jessie melirik kecil. Ben tidak menoleh sama sekali. Ia terlalu sibuk mengayuh sepedanya—menyamai kecepatan temannya mengendarai kendaraan beroda dua itu. 

Ben menyalip Jessie. Laki-laki itu menoleh. Mengedipkan mata. Lalu, melaju kencang menghilanh di belokan jalan.

Jessie melihat kerut dewasa di ujung mata Ben yang ikut tertarik ketika berkedip. Jantungnya berdenyar dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Lihat selengkapnya