Milch

Desi Puspitasari
Chapter #6

Caffe Latte!

"Dia ituu... sejenis manusia aneh—cuma tertarik pada ilmu pasti yang kaku. Sedang kau... kamu tuh seorang seniman," komentar Maya. 

Martha menggeleng. "Bukan seniman. Aku cuma seorang penulis."

Maya mengernyitkan kening.

"Kata seniman hanya akan menggiringmu pada kesan berantakan, hidup tidak pasti, miskin, dan semaunya sendiri." Martha berhenti sebentar. "Aku adalah orang yang teratur meski sedikit impulsif. Kupikir itu hal yang wajar," tambahnya sambil mereguk jus jeruk dari gelas bening tinggi. 

"Terserah apa katamu-lah," kata Maya sambil melambaikan tangan tanda menyerah. Ia sedang tidak ingin berdebat. "Eh, eh, lihat...!"

Martha menoleh pada arah yang ditunjukkan dengan gerakan dagu teman perempuan yang duduk di hadapannya. 

"Dia kelihatan polos, ya?!" komentar Maya lagi.

Martha tertawa kecil. Tentu saja, laki-laki itu seperti sebuah tetesan cat suram di antara warna-warna pelangi. Hampir seluruh mahasiswa di fakultas sastra di sini menggemari eksperimen warna dalam berpakaian. Meski tidak semua. 

Sore itu memang indah. Sedikit hangat. Daun-daun cokelat yang sesekali berjatuhan mengantarkan pandangan Martha pada seorang laki-laki berjaket kulit yang mulai terlihat kusam. Duduk di atas rumput taman dengan laptop di pangkuan. Keningnya berkerut dan sesekali kacamatanya melorot turun. Mulutnya menghirup kopi dari gelas styrofoam—kopi yang seharusnya sama dengan yang Martha minum saat ini. 

Martha dan laki-laki itu bertemu dan berdiri sejajar ketika hendak memesan kopi. 

"Caffe latte!" seru mereka bersamaan, yang membuat mereka berdua saling menoleh—kembali bersamaan. Waktu itu dia tidak tersenyum meski terlihat gugup. Ia mengangguk kecil dan buru-buru menambahkan pesan kalau kopinya tidak diminum di tempat. Sedang Martha mengganti pesanan dengan jus jeruk yang ia pikir lebih segar dibanding kopi untuk sore hari. Lagipula ia telah menghabiskan satu termos kecil berisi kopi pahit hanya dalam waktu beberapa jam pagi tadi. 

Martha berdesis memanggil Maya setelah laki-laki itu berlalu dengan gelas kopi dalam genggamannya. Melalui tanda menggunakan gerakan kedua bola mata, Maya mengikuti arah laki-laki yang dimaksud menggunakan pandangan mata. Dia duduk di antara mahasiswa-mahasiswa lain yang sedang menggerombol dengan setumpuk buku dalam susunan berantakan di antara mereka. 

"Yuk!" Maya memundurkan kursinya. Jus jeruk dalam gelas bening miliknya telah habis. Jus jeruk Martha juga. 

Martha meraih tas selempang oranye dan membawa setumpuk buku dalam dekapan lalu berjalan menjajari Maya. 

"Kita sapa dia, ya?!" kata Maya dengan mata berkilat semangat. 

"Eh!"

"Ia telah berada di sana untuk mengamatimu selama berhari-hari—dua hari," ralat Maya cepat. "Kasihan kan kalau kita tidak menyapanya!?"

"Apa?" Martha terlonjak kaget. Sebelum ia sempat mencegah, langkah kaki Maya telah mengantarkannya berdiri di sebelah laki-laki berkacamata itu.

"Kau bukan mahasiswa sini," kata Maya blak-blakan. 

Laki-laki itu mendongak. Melihat Maya yang tersenyum meski nada suaranya terdengar galak, ia balas tersenyum. Martha berdiri di samping Maya dengan canggung. 

Dia mengangguk. "Teknik."

Martha menginjak bagian depan sepatu Maya—memberi tanda supaya cepat pergi dari sini. 

Maya bersiul pelan. "Uh-oh! Jauh sekali! Apa yang kau lakukan di sini?"

Martha merasa Maya seperti polisi yang sedang menginterogasi maling.

Laki-laki itu terlihat sedikit gugup. "Aku sedang kepingin menulis buku. Maksudku... kupikir aku perlu menuliskan materi-materi kuliahku yang kaku dengan cara lain yang lebih biasa."

Martha menunggu kelanjutan penjelasan laki-laki itu. Sepertinya terlalu dibuat-buat dan ia terlihat tidak mempersiapkan penjelasan dengan baik. Beberapa kali ujung jarinya menaikkan kacamatanya yang melorot turun. Ujung hidungnya berbintik-bintik keringat. 

"Kudengar ada seorang penulis yang baik di sini. Namanya Martha... uhm," dia berdeham sambil kembali menaikkan kacamatanya, "entahlah Martha siapa. Aku lupa menanyakan nama belakangnya."

Lihat selengkapnya