Milch

Desi Puspitasari
Chapter #7

Pernyataan Cinta

"Kamu menyukai orang itu?" Mata Maya membulat tidak percaya. Ia mengatakan pertanyaan itu dengan perlahan dan pasti—ingin memastikan. 

"Mungkin...," jawabku pendek. 

’Orang itu‘ sedang duduk dan menulis sesuatu di laptopnya. Kacamatanya sesekali melorot turun dan kali ini ia tidak begitu terlihat seperti tetesan cat suram di antara mahasiswa-mahasiswa di kantin kampus. Dia tahu bagaimana cara beradaptasi supaya tidak terlihat begitu mencolok.

"Aku telah berpikir keras, tapi sampai sekarang aku tidak mengetahui dimana letak keistimewaan orang itu. Yang bisa membuatmu jatuh cinta kepadanya?" tanya Maya dengan wajah serius.

"Aku tidak jatuh cinta," kataku kesal. "Dan, aku tidak tahu."

Sungguh. Aku tidak tahu apa yang istimewa dari manusia ilmu pasti itu—selain ternyata ia sangat sok tahu, menyebalkan, dan pernah berkomentar ‘aneh’ terhadap kebiasaanku yang selalu membawa termos kecil berisi kopi kemanapun. 

"Kau membawa termos kopi itu kemana-mana!? Aneh! Dasar kopiholik! Hanya bedanya kau tidak merokok. Itu saja."

Aku mendelik ke arahnya. Pesan melalui Messenger itu baru beberapa detik yang lalu dikirimkannya padaku—setelah ia melihat aku mengucurkan kopi ke dalam gelas yang sengaja kupinjam dari kantin kampus. Laki-laki itu tidak balas mendelik—wajahnya tertutup layar laptop. 

"Uh-oh!" Maya menjulurkan kepalanya. Ia melihat jendela messenger yang saat bersamaan juga sedang kulihat. ”Kau sedang berbicara dengannya.“

"Iya," jawabku singkat. 

Maya tertawa senang.

"Kenapa?" Aku menatap curiga. 

Ia berhenti tertawa dan menggeleng. "Tidak apa-apa."

Aku menutup jendela percakapan yang berisi kalimat informasi penting dari laki-laki itu—yang beberapa hari ini membuat daya imajinasiku mengalami kemacetan luar biasa. Aku tidak bisa menulis apa-apa selain bayangan tentang dirinya. Menakutkan. Apakah aku telah benar-benar menyukainya?

Tidak. Entahlah. Begini: aku selalu memiliki bayangan indah ketika aku sedang menyukai seseorang. Katakanlah, aku mengkhayal sesuatu yang menyenangkan antara aku dengan laki-laki yang kusukai. Mungkin bergandengan tangan sambil bernyanyi gembira. Tapi tidak dengan laki-laki yang satu ini. Bagaimana bisa aku mempunyai bayangan indah kalau setiap kali bertemu perdebatanlah yang sering muncul. Aku terlalu malas menyebutkan apa saja yang pernah kami perdebatkan, karena semua berakhir tanpa hasil—dia tetap yakin dengan pendapatnya. Begitu juga aku. 

"Jangan terlalu sering duduk. Kalau kau tidak ingin mengalami pengapuran tulang. Seperti yang diderita oleh beberapa penulis yang lebih tua daripadamu," komentarnya ketika mengembalikan buku dan mendapatiku sedang duduk menghabiskan waktu di kantin setelah selesai jam kuliah.

"Aku sedang mengerjakan tugas."

"Aku tahu," balasnya berkomentar singkat. Lalu ia pergi begitu saja. "Oh, ya...," dia berhenti karena teringat sesuatu, "terima kasih untuk bukunya. Lain waktu aku akan pinjam lagi."

Cukup menyebalkan, bukan?! Atau...

"Aku kemarin naik bus melewati taman anggrek langka," ia seperti bercerita dan melaporkan kegiatannya padaku.

"Lalu?" Aku tidak melihat apa pentingnya informasi itu untukku.

"Bukankah rumahmu ada di dekat tempat itu?"

Aku mendengus. "Tidak. Rumahku membutuhkan waktu empat hingga lima jam perjalanan untuk mencapai taman anggrek langka itu."

"Oh?" Dia terdiam. "Aku mengerti."

Benar-benar tidak dapat dimengerti. 

Tapi satu hal yang sangat tidak menyenangkan adalah setiap kali selesai perdebatan atau apa saja yang dia lakukan tapi salah menurut penilaianku, aku merasakan sesuatu yang di perut. Semacam mulas namun menyenangkan.

Menyenangkan? Mulas tapi menyenangkan--astaga, yaiks!

Sebagai penulis aku hanya bisa geram terhadap diri sendiri. Bahkan aku telah hapal di luar kepala, perasaan mulas dan mendebarkan di perut itu biasa kutuliskan untuk mendeskripsikan para tokoh dalam ceritaku ketika mereka... jatuh cinta.

Astaga. Ini sama sekali tidak menyenangkan! 

Hal yang sangat tidak masuk akal adalah... aku akhirnya terpesona hanya karena dia bertingkah laku menyebalkan. Sebuah alasan yang sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan.

"Kau sudah pernah mengatakan padanya?" Maya kembali bersuara.

"Belum. Tidak. Eh, mengatakan apa?"

"Perasaanmu!" Maya terdengar gemas.

"Tentu saja tidak! Tidak."

"Katakan! Ayo, katakan!" Secara tiba-tiba, seperti biasanya, wajah dan suara Maya menjadi penuh semangat! "Hm, cinta itu untuk dikatakan. Cinta itu bukan untuk dipendam," tambahnya dengan mata menerawang jauh dengan cara yang berlebihan. 

"Sepertinya tidak sekarang."

"Oh, kenapa tidak!?" Maya tidak akan berhenti menyerah sebelum keinginannya terpenuhi. "Kau sedang online?"

"Ya."

"Kau penulis?"

Aku menoleh tidak mengerti. "Apa hub—"

"Tulis sebuah cerita tentang dirimu dan dirinya. Mungkin judulnya... hum, seribu tanda tanya."

Aku menatap Maya dengan tatapan tidak percaya. Darimana dia bisa memperoleh pikiran gila barusan!? 

Lihat selengkapnya