Milch

Desi Puspitasari
Chapter #8

Aroma Kopi

"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi sepertinya kalian sedang bertengkar," kata Adam. Abel meringkuk tidur dalam pelukannya. 

Hari ini Adam memutuskan untuk bersepeda ketika berangkat ke kedai. Ini artinya, terlebih dulu Jessie, Ben, dan Adam harus berjalan mengantar Meg dan Abel pulang kembali ke rumah. Baru kemudian mereka bertiga kembali ke kedai dan pulang mengayuh sepeda masing-masing.

Meg telah menolak, ia sanggup menggendong Abel pulang seperti yang pernah ia lakukan selama bertahun-tahun dulu. Tapi, baik Ben, Jessie, maupun Adam tak merasa keberatan. Mereka tidak mau membiarkan ibu dan anak itu pulang sendiri. 

"Kami tidak bertengkar," jelas Ben. "Aku hanya mengatakan pada Jessie, bahwa bersikap terbuka dan mau menceritakan masalah pribadi itu pada orang lain itu sangat membantu."

Jessie mendengus kecil.

"Daripada hanya dipendam sendiri? Ya, nggak? Bayangkan saja, jika Martha tidak menceritakan kejadiannya hari ini, aku yakin ia akan kehilangan kemampuan menulisnya selama berbulan-bulan. Atau bahkan bertahun-tahun," tambah Ben dengan nada suara tenang.

Adam dan Meg menoleh kecil ke arah Jessie secara bersamaan. 

"Tapi yang paling kukagumi dari Martha hari ini adalah... meski ia tidak begitu peduli apa jawaban dari laki-laki yang disukainya, ia berani mengambil keputusan mengatakan perasaan dengan jujur," balas Jessie tenang. Ia membenamkan tangannya ke dalam saku mantel. Benar-benar dingin. Ia melirik buntelan mirip kepompong dalam pelukan Adam. Untung Meg selalu membawa jaket tebal dan syal berlapis-lapis untuk membungkus tubuh mungil Abel. "Dan, bukannya kabur atau melarikan diri."

"Aku tidak melarikan diri," sahut Ben cepat. "Hanya saja kupikir uangku telah cukup banyak untuk mendirikan sebuah kedai—sebuah tempat untuk orang-orang bercerita mengenai masalah mereka. Bersama kalian."

"Menurutku, ya...," sela Meg dengan tenang. Tangannya menggenggam ujung jari Abel yang menggantung di lengan Adam. "Masing-masing orang butuh waktu yang berbeda untuk bisa menceritakan masalahnya --untuk bisa terbuka, Ben."

"Aku menyayangimu, Meg. Sungguh...," Jessie merasa Meg sedang membelanya.

"Taapiii..., bagaimanapun juga beban itu tetap harus dikeluarkan. Baik dengan bercerita ataupun dituliskan. Hanya itu yang bisa meringankan perasaan...," tambah Meg.

Wajah Jessie berubah masam. Ben membungkuk-bungkuk menahan tawa. 

"Hal yang sama seharusnya juga terjadi padamu, Ben. Perasaan suka yang dipendam lama kelamaan akan berubah menjadi kecewa kalau tidak segera dikatakan."

Adam tergelak kecil. Ia terus berjalan dan mendekap erat Abel. 

Ben terdiam. "Aku telah kecewa, Meg. Sudah lama kecewa...," desisnya pahit. Bayangan mengenai Tania kembali hadir dalam pikirannya, dan itu sedikit membuatnya mual. Tiba-tiba saja ia merasa udara malam ini terlalu dingin dan menggigit. Tubuhnya mulai bergetar menggigil kedinginan. 

"Oh...," Meg menggigit bibirnya, "maafkan aku, Ben. Aku tidak bermaksud sok tahu."

"Kau tidak salah, Meg. Tenang saja. Santai saja...," hibur Adam. Ia tidak ingin raut kecewa menghiasi wajah Meg sedikit pun. Ia sudah terlalu lama menderita—sejak mendengar ceritanya beberapa hari yang lalu. Sebagai teman ia harus ikut menjaga ibu satu anak itu sekuat tenaga. 

Ben mengangguk. "Maafkan aku, Meg. Aku hanya sedang tidak ingin membicarakan hal ini."

"Aku juga." Jessie terdengar kesal. 

Ben terdiam. Sebenarnya ia ingin menanggapi perkataan Jessie barusan, tapi ia takut kalau malah tambah membuatnya semakin kesal. "Maaf...," katanya pelan. 

Suasana menjadi canggung. Meg yang berjalan di trotoar bagian sebelah dalam menoleh. Ia melihat Adam mengangkat bahu lalu menggeleng. Membiarkan Jessie dan Ben menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Meg memutuskan untuk menurut dan ikut diam. Ben benar-benar merasa tidak enak. Ia berjalan di sebelah Jessie yang bermuka masam. Bahasa tubuh Jessie terlihat tertutup. Syal di leher dinaikkan hingga menutupi hidung. Kedua lengannya memeluk tubuhnya sendiri dengan rapat, dan membisu. Ia tidak terlihat sedikit pun ingin memulai pembicaraan atau berkomentar mengenai sehelai daun yang baru saja jatuh karena tertiup angin. 

"Eh? Sebentar lagi kita sampai," kata Meg yang ditujukan pada Adam—tapi kentara kalau kalimat itu bermaksud untuk memecah bisu di antara mereka berempat. 

"Syukurlah. Abel bisa segera tidur di tempat tidurnya yang hangat," balas Jessie berkomentar.

Ben mendengus kecil. Ia merasa sedikit lega dan berharap tidak terlalu kentara. Jessie akhirnya mau membuka suara itu pertanda bagus.

Lihat selengkapnya