Ben berdiri dengan gelisah. Ia tidak sabar menunggu cerita selesai. Juga tidak sabar menunggu malam larut. Bukan karena cerita gadis itu tidak menarik. Juga bukan karena tempat ini membosankan. Ia hanya sedang kepingin menyendiri dan berpikir.
Sekarang tentu saja tidak bisa. Meg di dapur sedang mengerjakan pesanan, dan ia harus cekatan mengantarkan pesanan dan/atau melayani tamu yang baru saja datang.
Ia bisa saja berbohong dengan mengatakan sakit kepala. Tidak ada yang keberatan ketika ia meminta ijin untuk pulang cepat. Tapi, itu artinya ia membuat semua orang khawatir. Mereka akan berbondong-bondong datang menjenguk. Itu sama saja tidak ada artinya. Ben sedang inginkan adalah kesendirian dan waktu untuk berpikir.
***
Aku mengembus napas lelah. Seperti biasa. Baru saja berlari-lari menuju halte bus. Berdiri di antara kerumunan orang lainnya. Ketika bus itu akhirnya datang, aku segera melompat masuk, duduk, dan menunggu kendaraan itu melaju hingga tujuan.
Tercium aroma kopi!
Aku menoleh cepat.
"Selamat sore," sapanya ramah. Ia berdiri dengan satu tangan memegang tiang kuning di dalam bus. Tidak mendapat tempat duduk.
Aku tersenyum. Dia balas tersenyum. Kemudian tidak terjadi percakapan apa-apa. Kami menikmati perjalan dengan diam dalam lamunan masing-masing. Rasanya sebuah senyum sudah sangat cukup untuk pertemuan hari ini.
Setelah beberapa lama, sebentar lagi bus akan berhenti di halte tempat aku biasanya turun. Aku memutuskan untuk berdiri dan menyilakan seorang gadis remaja dengan sweater hijau tunas daun supaya menggunakan tempat dudukku. Setelah gadis itu menyelinap duduk, aku berdiri sambil memegang tiang kuning untuk menjaga keseimbangan. Berdiri di sebelah laki-laki itu.
Kami berdiri bersisihan dan hidungku terus-terusan menghirup aroma kopi.
Tanganku merogoh masuk ke dalam tas selempang. Kukeluarkan sebatang mawar kuning yang bagian tangkai hingga kelopaknya terbungkus plastik bening dengan rapi.
"Untukku?" tanya laki-laki itu ketika aku menyodorkan bunga ke arahnya.
"Untuk ibumu." Aku tersenyum.
Bus berhenti dan aku segera berjalan menerobos kerumunan orang-orang. Setelah aku dan beberapa orang lainnya melompat turun, pintunya kembali menutup otomatis. Aku berdiri di tepi trotoar sambil mengamati kendaraan roda empat itu kembali melaju. Laki-laki dengan mawar kuning dalam genggaman terlihat sedang berusaha keras berdiri dengan menempel di kaca jendela. Bibirnya bergerak mengucapkan kata, 'terima kasih.'
Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Kupikir, meski aku tetap tidak bisa menikmati kopi walaupun telah dicampur susu, aku masih bisa menikmati aromanya.
Bibirku tidak bisa berhenti mengembang senyum. Aku merasa seperti bunga matahari yang terus-terusan terguyur sinar matahari. Dan sepertinya mampir ke kedai susu untuk sekadar berbagi kebahagiaan merupakan ide yang bagus.
***
Jessie baru saja keluar dari dalam dapur dan mendapati Ben sedang berdiri dengan kening berkerut. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap satu titik tepat di atas karpet tanpa berpindah-pindah. Pasti ada satu hal besar yang sedang dipikirkan olehnya.
Jessie tetap diam tidak menyapa. Ia terus saja berjalan menuju Adam dan meletakkan secangkir susu di meja kecil di sebelah piano.
"Pesananmu, Dam," kata Jessie sambil tersenyum.
"Terima kasih." Adam meraih cangkir susu.
Jessie mengamati Adam untuk sementara waktu. Ada sedikit yang berbeda.
"Kau terlihat rapi?" Jessie memastikan. Seingatnya, menurut kebiasaan, Adam jarang sekali terlihat rapi: wajah segar, rambut tersisir, pantovel mengkilat, jaket bersih, dan celana panjang kain yang terseterika halus. Dulu ia selalu beralasan, 'aku tidak punya banyak waktu untuk membersihkan diri setelah pulang kantor, Jess. Aku terlalu capek. Lagipula, setelah berpakaian rapi hampir sepanjang hari, tidak salahnya aku tampil sedikit santai dan berantakan?"
"Iya --eh, anu....!" Adam berdeham gugup. "Eh! Ada yang ingin kutanyakan," katanya menahan Jessie. "Apakah para penulis sanggup memperhatikan hal-hal sekecil itu?"
Jessie terdiam. "Aku tidak tahu," jawabnya pelan. "Aku bukan penulis lagi. Cuma pegawai kedai susu MILCH saja." Lalu, ia pergi begitu saja.
Adam menghela napas.
Di tengah perjalanan menuju dapur, Jessie merasa sikapnya tadi sangat keliru. Ia memutuskan kembali dan terus melewati Ben yang masih berdiri mematung. Gadis yang baru saja bercerita telah bangkit dan membayar pesanannya. Ia sempat menyorongkan setangkai krisan putih mungil untuk diselipkan di telinga Abel.
"Maafkan aku," kata Jessie ketika berada di dekat Adam.
Adam menoleh.
"Orang yang biasanya menulis memiliki kebiasaan mengamati orang-orang atau hal-hal dengan sangat teliti. Itu karena mereka memindahkan tampilan visual ke dalam kata-kata."