Milch

Desi Puspitasari
Chapter #11

Pamit

Ben memutuskan untuk berhenti berpura-pura. Berperilaku asing --tak seperti biasanya --ternyata menguras banyak tenaga.

Jessie memang baru beberapa bulan ini menjadi dekat dengannya. Tapi, perempuan itu seorang pengamat yang baik. Perubahan sekecil apa pun ia pasti mampu melihat. Bersikap normal seperti biasanya akan menghindarkannya dari kerutan-kerutan curiga di mata Jessie. Juga membuatnya tidak tampak bodoh karena terlalu banyak tersenyum. 

Ben kembali masuk ke dalam kedai. Ia baru saja mengantarkan profesor hingga ke halaman depan. Tidak ada alasan khusus. Hanya saja ia sedang tidak bertugas apa-apa ketika melihat profesor itu membuka pintu keluar. 

"Semoga malam ini menyenangkan, Prof. Juga keesokan hari, dan esoknya lagi, dan esoknya lagi," kata Ben sambil menyalami tangan profesor itu.

"Aku selalu menikmati waktu setiap kali datang ke sini."

"Terima kasih," kata Ben dengan sungguh-sungguh. 

Bel di pintu berkelinting pelan ketika Ben membuka pintu. Tidak lebih dari sepuluh orang sedang berada di dalam ruangan. Sepertinya tidak akan pencerita nomor dua. Sebelumnya, seorang pengunjung menceritakan pengalaman ketika ia akhirnya jatuh cinta pada suaminya. Ia menikah hanya karena menurut orang tuanya dan orang tua suaminya menyatukan anak-anak mereka adalah ide yang sangat brilian. 

Ia duduk di kursi piano milik Adam—si pemilik piano itu barangkali sedang di dapur mengambil beberapa kue jahe. Dari tadi ia mengeluh lapar. Ben berharap semoga pengunjung yang lain tidak keberatan ia berbicara dengan duduk di atas kursi.

Si floris-- tukang bunga itu datang lagi. Juga Maya tanpa Martha—Martha sedang sibuk, jelasnya. Gadis bersyal oranye itu tidak ada. 

”Aku….” Ben berdeham karena gugup. 

Semua yang ada di ruangan berhenti bicara dan menoleh. 

"Maaf. Tapi, aku... ada hal yang ingin kuceritakan." Ben merasa ia harus turun dari kursi itu dan duduk di karpet sama seperti yang lainnya. ”Aku—” ia mencari posisi duduk yang nyaman. ”Ada yang harus kuceritakan.“

Jessie terlihat sedang memperhatikannya sungguh-sungguh dari meja pembayaran. 

"Hanya sedikit cerita, kok...," lanjutnya hati-hati. "Aku sepertinya akan… aku…."

Lihat selengkapnya