Milea

Mizan Publishing
Chapter #3

Kehidupan Remajaku

Kehidupan Remajaku 1 Aku selalu berpikir bahwa aku memiliki masa kecil yang benar-benar bahagia. Aku selalu merasa tidak punya masalah apa pun dengan keadaan diriku. Dan aku me- nikmati masa kecilku dengan kadang-kadang percaya bahwa pohon-pohon itu bisa bicara menggunakan ba- hasanya sendiri.Waktu kelas 5 SD aku mulai sekolah di sekolah SD negeri yang ada di wilayah kompleks perumahanku.

Mengingat jaraknya tidak jauh dari rumahku, dulu, aku pergi ke sekolah dengan pakai sepeda. Itu berlangsung sampai aku duduk di kelas 3 SMP.

Sepedaku namanya “Mobil Derek”. Jadi, kalau dulu

Milea Suara dari Dilan kamu mendengar aku pergi ke sekolah dengan naik Mobil Derek, harusnya sudah tidak perlu kaget lagi karena kamu sudah tahu maksudku.Apakah dengan memberinya nama itu aku punya tu- juan biar sepedaku jadi keren dan gagah? Oh, aku enggak tahu. Mungkin, semacam terserah aku mau ngasih nama apa karena itu sepedaku. Tetapi, pamanku protes. Dia itu ayahnya Si Wati, namanya Ibrahim, aku biasa memang- gilnya Mang Iim.

“Masa, sepeda namanya Mobil Derek?” “Iya. Namanya Mobil Derek. Mobil Derek bin Kontainer,” kataku ke dia tanpa maksud menjawab omongannya. Mang Iim memang begitu. Orangnya usil atau gima- na. Berbeda dengan Si Bunda, kalau dia, sih, bisa cuek.

Menurutku, Si Bunda itu orang dewasa yang bisa menjadi seperti kekanak-kanakan ketika sedang berbicara dengan anak yang masih kecil. Mungkin, maksudnya baik agar bisa menyesuaikan dengan siapa dia bicara.

“Bunda, lihat Mobil Derek?” tanyaku ke Si Bunda sambil nyari sepeda di halaman depan rumah karena mau kupakai.

“Mobil Derekmu?” Bunda nanya balik, seperti sama- sama sedang mencari.

“Iya.” “Oh, dipake Bi Diah,” katanya kemudian setelah dia ingat. “Minjem bentar, ke warung.”

Kehidupan Remajaku “Ke warung, kok, naik Mobil Derek,” kataku dengan sedikit agak kesal.

“Kan, kau yang kasih nama itu?” --ooo-- 2 Setelah SMA, aku ke sekolah tidak pakai sepeda lagi ka rena jarak yang harus aku tempuh cukup jauh. Sebe- tulnya bisa saja pakai sepeda, tapi capek. Aku gak mau.

Kadang-kadang aku naik angkot ke sekolah, tapi lama- lama jadi lebih sering naik motor, yaitu dimulai setelah aku punya motor.

Pulangnya nongkrong di daerah Gatot Subroto, di warung kopi punya Kang Ewok. Dipanggil Ewok karena dia itu berewok, badannya besar dan rambutnya cepak.

Dia bilang pernah nangkap babi jadi-jadian, yaitu waktu dia masih muda dan aku tidak percaya.

Warung Kang Ewok, tempatnya enak untuk jadi tem- pat nongkrong. Di sana, aku biasa kumpul bersama Akew, Bowo, Anhar, Burhan, Ivan, dan lain-lain. Mungkin kami datang untuk banyak alasan yang berbeda, tapi ujungnya adalah ketawa bersama-sama.

Warung Kang Ewok buka 24 jam karena dia tinggal di sana bersama istrinya dan satu orang anaknya yang masih kecil. Aku suka mampir dan melakukan banyak hal bersama teman-temanku di sana. Rasanya lebih me nyenangkan daripada harus diam gak jelas di kamar yang dulu masih belum ada internet. Dan, di warung

Milea Suara dari Dilan Kang Ewok itulah aku mulai merokok, tentu dengan pera- saanku yang cemas karena khawatir ketahuan sama Si Bunda. Saat itu rasanya aku benar-benar seperti sedang melakukan hal paling buruk di dunia.--ooo-- 3 Sebelum cerita jadi jauh, aku ingin membahas Burhan, sebentar. Kamu betul-betul harus kenal dia karena orang ini akan sering aku sebut di dalam ceritaku selanjutnya.

Sebetulnya, Lia juga pernah cerita tentang Burhan, tapi aku mau memberinya sedikit tambahan menurut versiku sendiri.Aku sudah kenal Burhan sejak masih duduk di kelas 3 SMP, sedangkan saat itu dia sudah kelas 3 SMA dan dikenal sebagai ketua geng motor terkenal yang ada di Bandung.

Zaman SMP, aku suka nongkrong dengan Si Burhan.

Nongkrongnya di warung kopi “Tiga Putri”. Tempatnya tidak jauh dari rumahku, yaitu di salah satu hook per - tigaan Jalan Riung Asri, kompleks perumahan Riung Bandung. Di sana, kami ngobrol sambil ngopi dan tertawa lebih keras dari siapa pun.

Motor CB yang biasa kupakai itu, aku membelinya dari Si Burhan. Harganya lumayan murah. Entah ba- gaimana Ayah setuju dan ngasih uang untuk membeli motor itu. Kemudian, motor itu aku modif di bengkel yang ada di daerah Kebaktian, Kiaracondong, atas saran

Kehidupan Remajaku Si Akew, teman sekolahku, yang rumahnya deket dari bengkel itu.S e j a k p e r i st i wa a ku d i ke ro yo k d i d a e ra h B I P (Bandung Indah Plaza), Burhan enggak pernah mau da- tang ke rumahku, dia juga gak pernah datang untuk me- nengok aku yang dirawat karena mendapat luka tusukan.

Dia bilang takut sama Si Bunda, padahal Si Bunda juga tidak begitu mengenalnya.

--ooo--

Hari itu, sepulang dari sekolah, seperti biasanya, aku ngobrol dengan Burhan, Ivan, Akew, dan lain-lain di warung Kang Ewok.“Gimana Susi?” tanya Burhan.

Burhan tahu Susi karena aku pernah cerita soal Susi yang mau ke aku. Aku juga cerita ke Burhan dan teman- teman tentang Susi yang pernah datang ke rumahku dan akunya sembunyi dalam lemari.

“Masih,” kujawab Burhan.

“Masih apa?” “Masih perempuan.” “Kalau gak mau, buat aku aja, deeeh,” kata Burhan ketawa.

“Tadi, ngajak nonton,” kujawab. “Aku bilang hayu.” Susi memang ngajak nonton, yaitu tadi pas istirahat di warung Bi Eem.

“Eit!” kata Burhan tersenyum.

40 Milea Suara dari Dilan “Nonton aja,” kataku senyum juga. “Gak jadian.” “Kenapa, sih, gak mau?” tanya Ivan. “Susi cantik.” “ I ya . B a h e n o l , o ra n g kaya l a g i ,” B u r h a n i ku t ngomong.

“Aw ... lagi pada ngomongin Remi, ya?” tiba-tiba datang Remi, bergabung dengan kami di warung Kang Ewok.

Nah, kamu juga harus tahu Si Remi. Dia adalah waria yang suka ngamen di perempatan Binong, Bandung. Kalau kamu kenalan dengannya, dia akan bilang namanya: Remi Moore. Jangan ketawa. Kukira itu nama yang bagus untuk terdengar seperti Demi Moore, artis Hollywood yang lagi beken dengan film “GHOST”-nya di masa itu.

Tentu saja, tidak semua orang Binong mengenal Remi Moore. Kami kenal karena kami berkawan dengan siapa pun, kecuali dengan orang yang tidak mau berkawan dengan kami.

Remi Moore, suka bawa-bawa kartu tarot yang dia simpan di dalam tas cokelat mudanya. Kamu juga harus tahu, dia itu suka ngeramal. Sekali diramal, harus bayar seribu rupiah ( Atau berapa, ya? Aku lupa).

“Sekarang giliran aku yang ramal kamu,” kataku ke Remi Moore. Dia mau, sambil ketawa.

“Tapi gratis,” kata Remi.

“Bayarnya cium Si Burhan.” “Aw, gak mau, ah, nanti bibir Remi jontor.” Setelah kartu tarot dia kocok, aku hanya minta dia ngambil salah satu kartu saja. Dia ambil satu, kemudian aku mulai meramal.

Kehidupan Remajaku “Hm ... nanti, kalau dilihat dari ...,“ kataku sambil mengamati kartu itu. “Ini, kan, digambarnya banyak pe- dang yang nancep ke orang ini. Wah, bagus nasibmu, nanti kamu akan beneran jadi Demi Moore!” “Aw, aamiiin, Ya Allah, aamiiin!” kata Remi ketawa.

Aku dengar Akew ketawa paling keras.

“Inget, lho, kalau udah jadi Demi Moore, jangan lupa ke saya,” kata Akew.

“Iya, dong,” jawab Remi. Akew ketawa.

“Kalau pedang ini, artinya kamu harus dioperasi,” kataku selanjutnya.

Orang-orang hanya bisa ketawa karena Remi Moore meresponsnya dengan mimik muka yang lucu.

“Tapi, bentar,” kataku. “Setelah jadi Demi Moore, nanti, kamu akan pacaran sama hantu, nih. Sama gen- deruwo.” “Amit-amiiittt. Amit-amiiitt,” jawab Remi sambil mengetuk-ngetukkan pung gung jari tengahnya ke meja.

“Kan, Demi Moore, di filmnya juga pacaran sama hantu.” “Remi, mah, gak mau sama genderuwo,” jawab Remi.

“Takuuuttt.” “Maunya pacaran sama siapa?” tanya Bowo.

“Kang Jeje!” jawab Remi centil dan sambil ngakak.

“Ha ha ha.” Berarti kamu harus tahu Kang Jeje. Dia itu orang kaya.

Selain pejabat, dia juga pengusaha. Rumahnya mewah,

Milea Suara dari Dilan lokasinya tidak jauh dari wa rung Kang Ewok. Sedangkan, tanahnya dan airnya, simpanan kekayaan.

Itulah Remi Moore dia hanya orang biasa yang suka dikejar-kejar oleh Tibum, tapi justru dari dialah muncul - nya inspirasi untuk kelak aku punya ide meramal Milea Adnan Hussain.

“Mana Si Anhar?” Kataku kemudian, seperti nanya ke diri sendiri. “Tadi, katanya mau ke sini.” “Jemput Si Yeni dulu kayaknya,” jawab Ivan.

Yeni adalah pacarnya Si Anhar yang sekolah di SMEA, yaitu singkatan dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas yang ada di daerah Buahbatu.

Kamu pasti sudah tahu siapa Anhar yang kumaksud.

Iya, betul, Lia sudah cerita tentang dia di buku “DILAN, Dia adalah Dilanku”. Sekarang, mau aku tambahin ceritanya, biar kamu lebih kenal siapa Anhar sebenarnya.

Anhar adalah kakak kelasku. Rumahnya di daerah Jalan Sunda. Kakaknya sekolah di pendidikan bagi calon aparat negara. Awal aku mengenalnya adalah ketika aku masuk SMA, yaitu saat aku pulang dari acara penataran P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Zaman dulu kalau kamu masuk SMP, SMA, atau kuliah akan diwajibkan ikut penataran P4 terlebih dahulu. Biar kalau ada nenek-nenek yang mau nyeberang jalan, kamu jadi punya kesadaran moral untuk segera membantunya, dan lalu kecewa karena ternyata dia itu adalah nenek sihir.

“Hey!”

Kehidupan Remajaku Aku yang sedang jalan sama Piyan, mendengar ada seseorang yang memanggil, entah kepada siapa, tapi aku menoleh ke arah suara itu.

“Kamu!” kata seseorang yang sedang ngumpul de- ngan teman-temannya di Toko Tohjaya, yaitu toko yang ada di pertigaan jalan menuju ke sekolahku. Dan, orang yang memanggilku itu kelak aku kenal sebagai Anhar yang suka bawa belati ke mana-mana. Semua orang yang se- dang bersamanya memandang ke arah aku dan Piyan.

“Aku?” kataku kepadanya untuk memastikan apakah benar aku yang dipanggilnya? “Iya!” katanya. “Sini!” Aku dan Piyan berjalan untuk mendekati mereka, bersamaan dengan mereka yang kemudian pada berdiri menyambutku.

“Budak mana maneh?” Anhar nanya, lengan sera- gamnya dilinting dan pakai kacamata hitam. Mukanya menyebalkan dan dibikin supaya aku takut padanya. Apa yang dikatakannya itu adalah bahasa Sunda yang artinya: “Kamu anak mana?” “Riung Bandung,” kujawab dengan memandang - nya.

“Ulah belagu di dieu mah,” (Jangan belagu kalau di sini.) Saat itu, aku betul-betul tidak mengerti apa mau- nya.

“Belagu gimana?” “Boga duit teu?” katanya. (Punya uang gak?)

Milea Suara dari Dilan “Duit?” “Enya,” jawab dia. “Menta aing.” (Iya. Aku minta.) “Kok, minta-minta duit? kamu pengemis?” “Eh? Goblog ,” kata Anhar sambil membuka kacamata dan melotot. “Naon? Ngo mong aing pengemis?” (Apa? Ngomong aku pengemis?) “Calutak, tah!” kata temannya. (Kurang ajar, tuh!) “Geus. Hajar,” kata temannya yang lain, yang mulai me ngelilingi aku dan Piyan. (Udah. Hajar!) Itu adalah awalnya, kemudian aku dan Piyan dike - royok. Untung, akhirnya bisa dilerai oleh pemilik Toko Tohjaya. Aku dan Piyan luka. Hidungku berdarah meski gak parah, kemudian beberapa orang membawa kami pergi ke Puskesmas terdekat untuk mendapat pengo- batan.

Besoknya, aku pergi ke sekolah, tetapi bukan untuk mengikuti kegiatan penataran P4. Aku datang bersama Burhan dan kawan-kawan geng motornya. Aku sudah lupa berapa motor waktu itu, tapi lumayan cukup banyak, dan parkir tidak jauh dari toko Tohjaya untuk menunggu Anhar keluar dari sekolah. Betul, kami mau melakukan balas dendam.

Kamu tebak sendiri apa yang terjadi kemudian, ketika Si Anhar tiba di Toko Tohjaya bersama beberapa temannya itu.

Dengan tanpa usaha keras, kami berhasil membuat Anhar duduk tak berdaya. Sementara, teman-temannya entah pada ke mana, sudah lari dari semenjak Anhar bisa kami jinakkan.

Milea Suara dari Dilan Dari sejak itulah, Anhar mulai mengenalku. Dan, dengan cepat kami menjadi kawan untuk kumpul hampir setiap hari di warung Bi Eem.

--ooo--

Waktu berlalu, ketika akhirnya aku gabung jadi anggota geng motor Si Burhan, Anhar juga ikut gabung, Bowo juga, Akew juga, Piyan juga (meskipun gak aktif). Di hari-hari berikutnya, Anhar menjadi akrab de - nganku. Dia hampir selalu bersamaku. Dia hampir bisa kukatakan selalu ikut denganku di tiap ada acara kegiatan anak muda.

Pada dasarnya, Anhar adalah orang yang cukup setia kawan. Dia bisa hidup dalam persahabatan dan solidari- tas. Hal yang disayangkan darinya adalah seperti yang sudah Lia katakan di dalam buku itu bahwa Anhar sering melakukan tindakan yang buruk dengan me rugikan ba- nyak orang, seperti malak misalnya dan merugikan dirinya sendiri dengan berpaling ke alkohol atau obat-obatan.

Sudah banyak nasihat dari kami untuk Anhar, tapi mau gimana lagi, pada dasarnya itulah Anhar. Kukira ini bukan soal sederhana, ketika dia tidak pernah mengubah perilakunya, kami merasa putus asa.

--ooo--

Sebagian besar dari kita tidak tahu apa yang kelak terjadi.

Sebagai seorang remaja, aku melakukan apa yang harus

Kehidupan Remajaku aku lakukan, tahu-tahu kemudian aku diangkat menjadi Panglima Tempur geng motor. Sama sekali tidak pernah kusadari bahwa kiranya ada orang-orang yang punya pikiran buruk mengenai hal itu.

“Orang-orang baik itu bilang, kita semua anak nakal.

Kita gak pernah bilang mereka anak nakal. Otak mereka itu pikirannya negatif terus, ya? Mana? Katanya baik?” kataku sambil ketawa, ketika sedang ngumpul di warung Kang Ewok.

“Aaah, bukan geng motor yang harus dibubarin,” kataku ke kawan-kawan di kesempatan yang lain. “Yang harus dibubarin itu, pokoknya siapa aja yang jahat, siapa aja yang kriminal.” “Yoi!” “Bubarin mah kumpulan pejabat koruptor,” kata Bowo sambil mengunyah makanan.

“Sekolah, tuh, bubarin,” kata Burhan.

“Jangan, heh!” kataku. “Ibuku kepala sekolah.” “Oh, ha ha ha, iya.” “Bubarin Si Kojek,” kata Si Akew.

“Kenapa Si Kojek?” tanya Bowo.

“Iya, bubarin pacaran sama Si Erni-nya,” jawab Akew sambil ketawa. “Biar Erni-nya buat aku, ha ha ha.” Si Akew memang pengen ke Si Erni. Aku tahu.

“Ha ha ha. Kamu mau ke Si Erni?” tanya Bowo. Bowo belum tahu.

Lihat selengkapnya