Quintilia—biasa dipanggil dengan nama Quin— merupakan gadis yang ceria. Matanya selalu berbinar kala mengamati setiap hal, setiap serangga atau bunga selalu menarik perhatiannya. Tawanya menyenangkan, membawa kedamaian. Kau bisa mendengarnya bicara setiap hari dan tidak merasakan apapun kecuali keinginan untuk terus mendengarkannya bercerita. Tentang apa saja baik itu musik, serangga-serangga yang menarik perhatiannya, ataupun petualangan-petualangan kecilnya. Pembawaan yang menyenangkan ditambah gerak-geriknya yang menarik hati membuatnya selalu menjadi pusat perhatian para pemuda. Bahkan satu-dua pemudi pun pernah menyatakan rasa suka padanya.
Sungguh menggelikan.
Yang tak diketahui para remaja bodoh itu adalah, Quin akan rela menukar kepala siapapun demi sebongkah berlian. Atau sekantung besar emas. Atau sekeranjang ubi. Bahkan, ubi yang sudah hampir busuk sekalipun akan ditukarkannya jika tidak ada penawaran lain.
Sebagai seorang penipu, Quin memiliki otak dan paras yang seia-sekata: keduanya sama cemerlang. Kombinasi sempurna walau hatinya sebusuk daging kadaluarsa yang sudah pantas masuk comberan.
Begitu sempurna, begitu berbahaya.
Dengan senyumnya yang menawan, ia mampu menjerat semua orang, lelaki-perempuan. Dengan senyumnya pula ia masuk ke ruangan yang pendampingnya sebut “rumah keadilan”, walau Quin masih belum paham arti nama itu sendiri. Orang Gaedrin memang suka menempelkan gelar-gelar sangar pada apapun termasuk pada tokoh atau tempat penting, sehingga ia tidak heran atas nama yang kedengaran fantastis itu. Senyum Quin langsung kandas saat ia mengetahui bahwa tak ada seorang pun di dalam ruangan; tak ada yang bisa menghargai keelokan penampilan diri yang dirawat baik.
Quin mengamati semua dengan waspada, bertanya-tanya apakah ada detil yang nantinya bisa dimanfaatkan.
Ruangannya luas, dengan meja dan kursi, mahoni dan ek, jati dan kayu-kayu dari negeri-negeri jauh. Quin menimbang-nimbang harganya, jadi pusing sendiri begitu tahu bahwa satu-dua berlian ditahtakan ditengah-tengah meja sebagai hiasan. Ia menyerah untuk mengira-ngira dan memilih untuk meneliti sekitar lebih lanjut.
Quin tidak takut. Kalaupun ada yang bersembunyi di antara bayang-bayang ruangan ini dan pasang mata pada Quin, mereka hanya akan melihat gadis polos yang selalu penasaran dengan apapun, tak lebih dari itu.
“Bagaimana kesannya?” tanya Jarnes Galbat, pemuda berdarah bangsawan yang hari ini berada di bawah pengaruhnya. Indra penglihatan sang pemuda tak bisa lepas dari punggung si gadis.
Quin berbalik, memutarkan badan seanggun tarian, membuat rambut gelapnya yang digerai tersibak sedikit, menunjukkan leher jenjang yang menyenangkan hati. “Tempat yang luar biasa, tapi aku lebih tertarik pada orang-orang yang kamu ceritakan padaku. Aku sudah tak sabar untuk bertemu mereka.”
Ia tahu mata Jarnes dengan tamak terus menjelajahi setiap lekuk tubuhnya yang dibalut katun Romana yang paling mahal, tampang pemuda itu luar biasa bodoh sehingga membuat Quin terkikik dalam hati. Bisa saja Jarnes yang jelalatan tak mendengar Quin berkata-kata, tapi rupanya dugaan Quin keliru karena Jarnes segera berucap dengan penuh semangat, “mereka sebentar lagi akan tiba, dan pastinya lebih dari mau untuk ngobrol sebentar denganmu. Mereka tak akan menolak permintaanku. Faktanya, akulah yang dianggap sebagai pemimpin sekarang. Kau harus tahu, bahkan Sang Pedang Selatan pun hormat padaku. Yah, mau bagaimana lagi,” ia tertawa singkat, “inilah keuntungan menjadi saudara jauh mendiang raja, Sayang.” Si pemuda mengumumkan hubungan darahnya dengan si raja mati mungkin sudah lebih dari tiga kali seharian ini.