Tiga puluh lelaki, empat diantaranya remaja duduk membentuk setengah lingkaran. Mereka dipaksa untuk tetap pada tempatnya oleh para prajurit lelaki dan perempuan yang mengenakan pakaian yang seragam: rompi kemerahan berbalut ribuan besi saling terkait dalam cincin-cincin seukuran kuku kelingking, bulu-bulu serigala menghias pundak. Burung gagak berkaok-kaok, hinggap dari satu dahan pohon kering ke pohon kering yang lain.
Menanti.
Mereka, para terdakwa yang sudah divonis mati karena berhubungan dengan pemberontakan itu sedang menyesali nasib masing-masing, kecuali satu. Tritos, yang merasa paling tua dan paling berpengalaman tetap mendongak menantang. Tiga tiang gantungan yang berjejer lima atau enam panjang lengan dari tanah, masing-masing dilengkapi alat pembuka lantai kayu tempat para terdakwa akan menjemput ajal tidak membuat nyalinya ciut sama sekali.
Ia mengedar pandang dengan pongah. Para rakyat biasa mengawasi dari jarak yang agak jauh, wajah mereka mencerminkan ketakutan. Tentu setelah semua prosesi yang kejam ini selesai, mereka akan lebih patuh lagi kepada Romana. Penjagalan ini merupakan sebuah pengingat bagi rakyat-rakyat Gaedrin. Kali lain saat perusuh bangkit dan mengajak mereka mengangkat pedang, awas, awas, nasib kalian akan sama dengan mereka yang digantung.
Tritos menyesalkan ekspresi gentar layaknya anjing yang sedang menghadapi gebukan tongkat. Sebangsanya menjadi begitu lembek sehingga harus gemetar karena berhadapan dengan kematian. Ia ingat dulu kawannya meludahi musuh tepat pada mata dalam salah satu dari sekian banyak pertempuran dalam perang Anasir, sebelum mampus karena jantungnya dikoyak sebilah tombak. Kalau seseorang dari generasinya bisa segarang itu, seharusnya orang-orang setelahnya juga bisa. Tapi lihat mereka, lihat! Bahkan yang ikut serta mengobarkan pemberontakan pun tidak lebih baik. Tritos terutama melempar pandang kesal pada salah satu remaja disampungnya begitu ia mencium bau pesing, tahu bahwa celana kumal si pemuda kuyup sudah.
Seorang prajurit legiun berpangkat—menilik dari embel-embel yang menyangkut di kedua bahunya— memutar jari dengan tampang jenuh, matanya bergerak membaca sabak ditangannya. Para prajurit mendekati para terdakwa, memilih secara acak.
Mereka yang terpegang langsung mencoba melawan dengan menggeliat atau menyerudukkan kepala begitu mereka disergap, bahkan nekat menggigit lengan salah seorang prajurit yang dilindungi pelat-pelat besi, tapi semua sia-sia. Malahan, mereka mendapat pukulan dan tendangan yang dilakukan para serdadu dengan senang hati.
Tritos menyeringai kala tali diikatkan ke leher mereka. Tritos masih menyeringai kala leher ketiganya terbetot sampai patah begitu tempat para terdakwa menjeblak ke bawah, menunjukkan kekosongan tanpa pijakan. Salah satu cukup keras kepala untuk bertahan hidup; calon mayat itu kejang-kejang lama dan mengeluarkan suara-suara tercekik yang menjijikkan, bahkan tak tenggelam oleh kaok gagak lapar yang tak henti. Tritos mengawasi itu semua dengan tertarik. Ah, bisa jadi ia menggunakan sihir Druidik atau semacamnya untuk bisa bertahan selama itu.
Tritos menyeringai lebih lebar lagi saat mayat itu berhenti menggelepar. Gilirannya akan tiba pula pada akhirnya, itu sudah pasti dan tak perlu menolak kenyataan. Ia bisa mendengar bisikan di telinganya, bisikan jahat yang selalu mengganggu setiap ia bermain-main dengan nyawa: *Kematian dan darah, kematian dan darah.*
Itu sudah jadi semacam lagu di telinganya. Orang lain mungkin akan gila, tapi dia sudah belajar untuk menggunakan suara itu sebagai pendorong, bukan penghambat. Seringnya ia bermain pedang juga berperan besar dalam mengabaikan suara mengerikan ini.
Tritos setenang danau tak berangin, meski bisik jahat makin gencar.