Tritos langsung sadar begitu wajahnya diguyur air. Ia memang haus, tapi bukan ini yang benar-benar diinginkannya. Meski begitu ia tetap meneguk air yang mengalir masuk ke mulutnya, segera setelah selesai terbatuk-batuk. Kepalanya pening, tapi menilik dari rasa seperti ditekan di sekujur dahi dan belakang kepalanya, sudah ada kain yang membebat lukanya.
“Aku lihat kau tak berubah sedikitpun, Kawan Lama.” Tritos menggoyangkan kepala dan bersiap untuk meludahi siapapun dihadapannya. Tapi, ia urung melakukan hal itu begitu melihat wajah yang akrab.
Bukan Ates, melainkan orang terakhir yang ia inginkan berada di tenda para penjajah laknat ini.
“Atrebates, kau anak Jalang!” Tritos mengawasi pakaian prajurit Romana yang dikenakan kawan lamanya dengan jijik. “Kenapa kau menjilat ujung sepatu para penjajah juga?! Ates aku masih bisa mengerti, tapi kau …!”
Tritos menggeleng pada sosok dihadapannya, terlalu marah untuk berburu kosakata.
Ates memang kawan lama seperjuangannya, tapi Atre sudah bersama Tritos sejak masih kanak-kanak. Menjadi lulusan dari Sekolah Perang yang sama membuat mereka berdua akrab.
Ates dan Atrebates adalah kakak-beradik. Mereka berdua kembar, namun terpisah lama karena orang tua mereka tidak tinggal serumah karena alasan yang kini telah dilupakan oleh Tritos. Ates ikut ayahnya untuk tinggal di kaki Menara Timur, tempat Mata Dunia memantau kala negeri masih merdeka. Sementara itu Atre tetap di dataran rendah bersama ibunya di kampung halaman Tritos juga, tempat kuda-kuda seharusnya masih berlarian bebas di bawah pengawasan para Ainsar, sekali lagi kalau saja para orang Romana yang serakah tidak menguasai semuanya.
Tritos mengertakkan gigi. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa membedakan mereka berdua. Suara, bahkan garis-garis wajah mereka sama. Hanya mata mereka yang berbeda. Atre begitu tenang, mirip sebuah batu onik yang kokoh, sementara mata Ates lebih terlihat tajam dan lincah, menyerap informasi yang bisa digunakannya kelak dan selalu mencari-cari kesempatan.
Atrebates, salah satu tokoh yang dikenal masyhur di Gaedrin. Tajam pikirannya, tajam pula kapaknya. Tritos telah melupakan banyak hal namun hasrat membara Atrebates untuk membela negara bukan salah satu diantaranya. Kawan lamanya itu membenci para penjajah sampai ke tulang, hal yang selalu diucapkannya dalam setiap kesempatan. Jadi mengapa dia berada di sini, mengenakan seragam seorang prajurit Romana, bahkan mengenakan strip seorang pejabat di kedua bahunya seolah itu bukan merupakan suatu dosa?
Atre masih diam, matanya menerawang. Kalau saja yang dihadapan Tritos adalah Ates, si cerewet itu pasti sudah memberondonginya dengan banyak kata pembelaan, seribu alasan mengapa ia membelot. Usia tua tak akan mampu mengurangi ketajaman lidahnya. Tapi Atre? Atre akan diam. Diam sampai Tritos berhenti marah dan menghujat, diam sampai Tritos ikut diam. Setelah itu ia akan menjelaskan, selalu begitu Tritos tahu dari dulu.
Maka dari itu, Tritos memaksakan diri untuk tutup mulut meski ia harus cari cara lain untuk menyalurkan amarahnya. Mencengkeram jarinya sendiri dengan kuku sampai darah mengalir adalah satu-satunya pilihannya untuk saat ini.
Pada akhirnya, Atre menghela napas.
“Aku menyesalkan plot pemberontakan yang kau rancang. Kau tak akan bisa menang. Kalau kau masih seperti yang dulu kau mestinya tahu hal itu. Mengapa masih tetap bersikeras, kawan lama?” suaranya penuh dengan kekecewaan, dan ada rasa letih dalam suaranya itu.