Tritos melangkah pelan bersama dua orang anak buah barunya, melewati para legiun yang membanjir ke arah lain.
Legiun keenam hari ini bertolak menuju Sirnok. Atre sudah berpamitan sejak pagi-pagi buta pada Tritos, berkata bahwa mereka akan bertemu sebentar lagi kalau memang keadaan di Sirnok membaik. Setelah itu, dia pergi bersama barisan paling depan, bersama dengan para ajudannya. Mengganggu lamunan, suara serak-parau para legiun yang memang jarang bisa menyanyi dengan sempurna terdengar di telinga Tritos:
Emas batangan dari Istana Vregotren, demi Tuan kami dapatkan;
Mata Dunia dari Menara Timur, demi Puan kami kalahkan;
Romana Raya, demi rumah bordil Corsicus sampai Triumph kami agungkan;
Veni! Vidi—!
“Yang tidak kumengerti adalah,” Tritos mulai bicara dengan gigi mengertak, suara tetap dijaga serendah mungkin agar jangan sampai terdengar oleh para legiun yang berlalu ke arah yang berlawanan, “mengapa mereka masih saja mempopulerkan lagu yang menceritakan kejayaan pada masa lampau. Gaedrin sudah dikuasai, mengapa masih pula menggosokkan garam pada luka kami dengan cara menyanyikan lagu porno ini?”
Pendamping pertama di samping Tritos, tak lain dan tak bukan si Gallius putra Phineas sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang sangat menghina, tapi urung ketika melihat air muka Tritos yang tak menyenangkan. Ia sudah cukup mendapat asupan kemarahan Tritos terutama saat latihan senjata. Dia membuang muka, memilih mengawasi para legiun yang berbaris rapi dan masih mendendangkan lagu dengan nada tinggi-rendah yang bervariasi.
Sementara itu, orang kedua yang berada agak jauh di kanan Tritos mendekati Sang Kapten sambil menyeringai. Seorang wanita dan bangsa Gaedrin juga, menilik kulit coklatnya yang menggelap karena terbakar matahari, serta mata abu-abu cerah beserta rambut cepak khas petarung perempuan. Adis, yang baru saja Tritos angkat sebagai Ahli Pasok bagi auksilia pimpinannya. Ia memilih Adis karena dia adalah satu dari sedikit anggota kelompok kecilnya yang bisa baca tulis serta paham ilmu hitung. Dia bertugas mengatur jatah pembagian ransum, serta hal lain yang menyangkut perkemahan termasuk mengatur jadwal siapa saja yang kena tugas untuk menggali lubang tempat buang air kala mereka berhenti di suatu tempat.
Adis menyodok tulang rusuk Tritos dengan sikunya. Beruntung umurnya tidak sebegitu jauh dengan Tritos sehingga dia tidak begitu keberatan, meski tetap saja terganggu akan invasi ke kawasan pribadinya tanpa ijin. Adis masih menyeringai kala berbisik ke telinganya dengan kurang ajar, “Biarkan sajalah, Kapten. Toh itu hanya sebuah lagu, tak ada pengaruh nyatanya bagi Gaedrin. Anggap saja tak lebih dari sebuah karya seni dengan lirik yang mudah dihapal.” Untuk ukuran bangsa Gaedrin, Tritos akui Adis cukup santai serta ceria. Terlalu ceria, malah.
“Lagu lebih daripada sekedar hiburan bagi legiun,” Gallius menyambar begitu menemukan ada yang ia bisa bantah, nadanya merendahkan pengetahuan Adis yang tentu menurutnya tak seberapa. “Mereka membuat lagu untuk segala hal yang terjadi pada mereka. Kemenangan, kekalahan, bahkan ketika menyeberang sungai dan salah satu kencing di celana akibat melihat hewan air yang berbahaya. Bisa dipastikan bahwa sepasukan legiun selalu memiliki dua-tiga prajurit yang dididik sebagai ahli musik, supaya masih ada yang bisa mengarang rima jika pemusik utama gugur. Ini lebih dari sekedar lagu: ini merupakan catatan sejarah legiun sejak pertama berdiri.”
“Drama dan dekadensi, sekarang aku tahu mengapa kalian sudi mengangkat orang berkulit coklat sepertiku sebagai kapten. Kalian terlalu lena karena kesenangan dunia,“ ucap Tritos jijik. “Percayalah, Gal. Aku sudah melakukan hal-hal buruk dan keji untuk penghinaan yang lebih kecil daripada ini. Tapi sudahlah, biarkan saja. Toh kita sedang buru-buru.”