Malam ini malam terakhir sebelum para auksilia berangkat menuju ke perbatasan.
Dalam melatih kepiawaian memainkan senjata, Tritos tak pernah memberikan kelonggaran. Ia keras dan tegas, baru mengijinkan rehat sejenak saat mereka yang dilatihnya terluka atau kelelahan sampai akan pingsan.
Meski begitu keras, ia tetap berusaha tahu jalan pikiran mereka masing-masing dengan cara berbincang disela-sela waktu yang disediakan saat makan malam dan setelahnya: agar sakit hati selesai begitu latihan juga usai. Perlahan-lahan mereka juga mulai sadar bahwa Tritos membentak-bentak dan menyiksa semata untuk kebaikan auksilia sendiri, agar kemampuan meningkat dan disiplin tidak goyah saat menghadapi musuh yang sebenarnya.
Tritos mulai mengenal mereka, satu-persatu.
Itu perlu. Setengah anggotanya adalah bekas tahanan yang dijanjikan kebebasan. Beberapa punya reputasi sebagai desertir yang kabur tidak hanya sekali dari medan tempur. Tritos rasa ia harus tahu siapakah yang berniat kabur pada kesempatan pertama begitu mereka menginjak tanah yang bukan dibawah pengawasan legiun, demi kekompakan pasukan kecil yang berada di bawah pimpinannya ini.
Hasilnya cukup berarti, walau ia masih belum yakin pada beberapa orang. Beruntung, ia sedang memimpin pasukan kecil. Ditambah seribu orang lagi, dijamin akan sangat susah untuk menjaga agar tak ada yang melarikan diri saat pedang asli benar-benar ditarik dari sarungnya, bukan pedang kayu untuk latihan.
Sejauh ini Tritos cukup puas dengan kerja Gallius. Ia cekatan dan mudah bergaul, walau kadang tak bisa mengontrol sifat sombong serta kerasnya kala beradu argumen. Meski begitu, Tritos tetap menghargai usahanya dalam mendekati orang-orang yang memiliki kemungkinan besar untuk kabur. Sementara Adis? Ah, ia luar biasa. Kalau bukan karena dia, Tritos harus mengatur semua sendirian, pembagian ransum, penetapan jadwal jaga malam, dan tetek-bengek membosankan yang tak pernah Tritos beri perhatian lebih meski ia tahu hal-hal tersebut juga penting. Fakta bahwa Adis juga orang Gaedrin juga membuat anak buahnya yang lain tahu bahwa ia tidak sedang pilih kasih pada orang-orang Romana.
Tritos menatap kekosongan kantung minumnya, berpikir-pikir apakah menenggak minuman keras lagi akan baik bagi kesehatannya. Melangkah dalam barisan dengan pusing yang menekan akibat mabuk semalam sebelumnya bukan pengalaman yang menyenangkan, Tritos bisa pastikan itu setelah berkali-kali mengalami.
Ia menikmati kehangatan yang memancar dari api unggun yang dinyalakannya sendiri sebelum benar-benar memutuskan. Ah, mungkin satu lagi, setelah itu ia akan beristirahat. Hari sudah terlalu larut dan orang tua sepertinya butuh istirahat yang cukup kalau tak mau encok mengganggu pinggangnya.
“Berminat untuk mencoba minuman saya, Kapten?” Gallius muncul dari samping tenda Tritos, wajahnya sumringah. Buyung yang ada di genggamannya kemungkinan besar menjadi alasan ia jadi ceria seperti itu.
Demi tujuh lapis langit. Bahkan wadah minum bocah ini berbahankan gading, yang pastinya dibawa oleh para pedagang dari Afrii, menyeberang lautan demi sampai ke tangan anak Romana ini. Harganya mungkin seperempat dari total bahan makanan yang mereka bawa.
“Kau sudah—”
“Saya sudah menjalankan rutinitas yang biasa, kecuali masih ada hal lain yang akan anda perintahkan. Patroli berpasangan sudah berangkat sesaat yang lalu. Saya juga sudah memeriksa sebagian kemah,” Gallius menyela sebelum Tritos selesai bicara, “semuanya beres.”