Pertengahan hari sudah menjelang, namun hawa masih dingin.
Harus dimaklumi, mengingat mendekati musim salju Gaedrin memang seperti ini, berbeda dengan Romana yang masih bisa menikmati mentari lebih lama lagi. Tetap saja, Tritos mengeluhkan tentang dinginnya ujung-ujung jari. Bahkan, melangkahkan kaki yang merupakan cara lain untuk menjaga panas tubuh tak membuat kehangatan berkenan mampir pada dirinya.
Kali ini ia sedang berada di atas bukit kecil, mengawasi anak buahnya mengular untuk menyeberang sungai Hekate. Hewan-hewan muatan itu kentara sekali tak pernah diajak menyeberangi sungai yang cukup dalam lagi beraliran deras hingga harus dipaksa berulang kali, terutama seekor keledai yang kelihatannya sangat berjiwa pemberontak.
“Hewan keras kepala,” Adis yang berada disampingnya menggumam, rupanya sedang mengawasi hal yang sama. ia tidak kesal karena penundaan, malahan terhibur melihat seorang auksilia kelihatan benar-benar harus bersusah-payah agar si keledai mau mematuhi arahannya.
“Di mana Gallius?” Tritos bertanya, suasana hatinya sedang buruk karena hawa yang tak mendukung sehingga tak berencana untuk berbincang lebih jauh tentang si keledai. Lagipula, belakangan Tritos baru tahu kalau Adis suka melontarkan banyak candaan tentang apapun sehingga ia merasa lebih baik mencegah sebelum obrolan tak berguna seperti itu terjadi.
“Mengurus mata-mata,” ia menjawab sambil menahan tawa, perhatiannya teralih kala melihat si auksilia tergelincir, tali yang mengikat si keledai terlepas dari genggamannya. Sejenak kemudian ia muncul dari air, dibantu oleh seorang kawannya yang menyeringai, tubuhnya kuyup dan ia menyumpah-nyumpah berang.
Semangat Gallius sebagai wakil Tritos memang tak diragukan lagi. meski begitu dia tetap harus memeriksa apakah Gal mengirim orang yang cukup sehingga bisa mengetahui keseluruhan medan yang memang asing. Tritos membiarkan Gallius mengatur beberapa hal seorang diri, berharap agar ia bisa belajar bagaimana cara mengatur bawahannya. Tritos memang tak melupakan bahwa ia orang Romana, pengetahuannya siapa tahu suatu saat akan berbalik menghantam kaumnya sendiri.
Namun, memberi kesempatan bagi anak muda untuk belajar mungkin memang sudah jadi penyakit bagi orang tua sepertinya.
“Darimana kau berasal, Adis?” Tritos mendadak bertanya. Ia melirik bekas luka di berbagai bagian tubuh si perempuan. Satu di lengan, kelihatan cukup lebar, sementara di pipinya, sejalan dengan garis mulut terlihat bekas seperti disobek oleh pisau yang mengerikan. Kau tidak mendapatkan luka seperti itu hanya karena pekerjaan dapur.
“Kaki Menara Timur,” ia menjawab pendek.
Tempat Mata Dunia mengawasi Gaedrin. Adis tak mengatakan hal itu, karena kini bola mirip indra penglihatan raksasa yang ada di atas menara seputih gading itu telah sirna. Mahakarya sihir milik Gaedrin tersebut kini menjadi milik Romana, disembunyikan sebagai hasil jarahan dan pengingat, bahwa kalaupun Panji Babi Hutan Gaedrin bangkit lagi, mereka tak akan bisa mengembalikan semua kejayaan seperti sedia kala. Satu lagi luka yang terlalu dalam untuk sembuh sepenuhnya.
“Orang-orangnya berani,” Tritos menimpali. “Aku ingat kalian menahan Romana selama tiga bulan meski mereka telah merampas menara. Terakhir kudengar di sana masih ada dambaan untuk hidup bebas.”
Adis mengangkat bahu. "Kata-kata penyulut kekacauan itu mungkin keluar dari mulut orang tak patuh-hukum. Mereka yang merasa lebih untung berada di bawah seorang raja seperti dahulu daripada di bawah Tahta Romana. Hidup di sana lebih baik sekarang, apalagi para penyihir pengawas menara yang seenaknya sendiri sudah tak ada."
“Apa?!” Tritos menoleh cepat sampai urat lehernya tertarik. Ia mengabaikan rasa sakit di lehernya untuk membelalak pada Adis. “kau tidak berpikir bahwa hidup dibawah pecut para penjajah ini lebih baik, bukan?!”
Adis menyeringai melihat reaksi Tritos yang berlebihan. “Adikku tinggal di sana. Suaminya seorang Romana asli. Ia memiliki toko roti dan kudengar ia cukup sukses. Sudah merupakan bukti yang cukup bagiku.”
“Orang-orang Romana mengambil manusia sebagai budak,” Tritos mendesis, heran bagaimana perempuan ini bisa-bisanya memiliki rasa simpatik pada para penjajah. "Kau tentunya mengerti? Atau jangan-jangan kau tutup mata atas praktik tersebut?”
Adis mengangkat kedua lengannya seperti menyerah. Namun, ia masih tetap dengan seringainya. “Dengan segala hormat, Kapten. Para penyihir juga suka menculik sebagai bahan percobaan. Di bawah kekuasaan Romana, kini praktiknya dilarang, semua penyihir ditumpas tanpa ampun. Aku tak keberatan mereka mengambil budak. Lagipula mereka hanya mengambil beberapa, kebanyakan tukang maling dan segala padanannya, sementara para penyihir melakukan percobaan sihir yang mengerikan secara terang-terangan, dengan enaknya membedah perut kawan senegeriku seolah itu bukanlah hal yang buruk. Kalaupun ada yang tutup mata, itu adalah sang raja sendiri yang tak segera memberantas hal gila itu.” Adis mengeluarkan tawanya yang khas sebelum menambahkan, “pajak di bawah Romana jauh lebih ringan, kau tahu?”