Menurut beberapa kawan, Tritos merupakan orang yang dangkal emosinya. Ia gampang marah dan hanya tertawa pada candaan-candaan yang berhubungan dengan kematian atau hal-hal lain yang orang lain tak akan menganggapnya sebagai lelucon. Oleh sebab itulah, sekali lagi menurut kawan-kawannya, ia tak pernah menikmati hidup yang sesungguhnya.
Omong kosong dan tai kuda, Tritos menyanggah. Ia pernah merasakan hidup. Berkali-kali, malah.
Ia merasakan hal itu di medan pertempuran.
Ya, ia merasa benar-benar hidup kala menyapu leher musuh atau membabat kaki dan tangan mereka. Bagaimana tidak, sementara dia melihat orang mati dan dia tidak mensyukuri napasnya, aliran darahnya, tenggorokan yang masih dapat tertegun? Pertempuran, menurutnya, merupakan ringkasan dari segala cerita umurnya yang boleh dibilang panjang menurut ukuran orang Gaedrin. Dari kecil ia sudah belajar bertarung karena asuhan keras Sekolah Perang Vercii, dan ia sudah memenuhi sumpah yang setiap lelaki Gaedrin ucap jika beranjak dewasa: ia akan meludah pada mata musuh, atau sebisanya menatap lawan kala mereka meregang maut.
Ini semua kulminasi dari pelajaran-pelajaran yang tak akan terlupakan bagi Tritos. setelah berkali-kali melihat kematian, beberapa kematian dari mereka yang jauh lebih hebat darinya membuat Tritos sadar bahwa pada akhirnya, semua orang akan mati sendiri. Perut yang robek. Infeksi yang bercokol. Pemotongan kaki dan tangan yang didera kebusukan, semua lelaki perempuan tertangguh yang pernah dikenalnya pun merengek kala maut bernapas di tengkuk mereka.
Ia sudah menerima kenyataan itu sejak lama. Justru, hal itulah yang menguatkannya. Menerima kenyataan berakibat jauh lebih baik daripada sekedar menipu diri.
Karena ia tahu bahwa ia akan mati sendiri, ia menjadi kuat. Maka lihatlah ia sekarang. Tritos melawan dunia, berkawankan pedang dan kedua tinjunya semata, tak ada yang lain. Satu tebasan untuk satu masalah yang menghadang.
Namun, Tritos kembali mengingatkan diri untuk jangan terlalu larut dalam pertarungan. Sebagai kapten, masih ada satu hal yang harus dilakukan agar semua berjalan mulus. Ia mengambil pin Romana kecil, yang jauh di dalam lubuk hatinya ingin dibuangnya ke kedalaman Hekate sehingga tak ditemukan lagi. Tapi ia menekan dorongan tanpa logika itu, dan mendekatkan pin tersebut ke mulutnya.
Suara nyaring terdengar, menggaung di keramaian raung Hekate untuk kedua kalinya di hari ini.
Tritos memasukkan benda kecil itu lagi ke dalam saku. Seorang Nastes dengan tampang yang amat buruk bahkan bagi biasanya kaum mereka berada tak lebih dari seperempat tombak dihadapannya, bergegas maju setelah melempar tombak yang dengan mudah dihindari oleh Tritos. Si kanibal jelek berlari dan mengangkat kapak untuk membelah kepalanya, tapi Tritos punya banyak kesempatan untuk berkelit.
Ia memukulkan telapak tangannya yang bebas pada sisi tumpul pedang. Salam dari murid Vercii. Ia menyeringai, pandangannya tidak terpusat ke si kanibal, melainkan pada seberang sungai, pada bukit yang belum lama lalu ditempatinya.
--
“Itu tandanya, Sersan,” Regis, salah satu kawan akrab Gallius memperingatkan begitu suara nyaring yang membuat bulu kuduk meremang datang dari arah sungai. Regis memang selalu formal seperti ini, ia hanya akan melepas titel Gal jikalau sedang beristirahat atau makan malam.
Gallius mengangguk sebagai jawaban. Matanya menyapu rekan-rekannya sesama auksilia. Memang kurang dari lima puluh orang, tapi mereka semua bersenjata lengkap. Bisa dibilang, perlengkapannya kurang lebih sama dengan legiun. Belum lagi masing-masing membawa busur dua kali panjang lengan mereka serta sekantong anak panah, jarang terlihat kecuali dipakai oleh auksilia yang benar-benar mahir menggunakannya, serta punya modal untuk membeli busur bagus seperti itu.