Gallius ingin kejayaan, dan betapa rasa malunya membludak kala ia tergelincir saat mengambil langkah pertamanya ke sungai, akibat sebuah batu berlumut sialan yang entah bagaimana masuk ke air saat auksilia atau mungkin para Nastes menyeberang.
Beruntung, ia bisa menyeimbangkan langkah-langkahnya sehingga tidak terjatuh. Ia mengangkat kepala untuk melirik sejenak para Nastes. Beruntung ia melakukan hal itu sekarang, rupanya di saat yang sama ada seorang kanibal yang melemparkan tombak padanya. Ia tak akan mampu menghindar, maka ia mengangkat perisai.
Tombak itu menghantam telak bagian tengah tamengnya, dan lamat-lamat Gallius bisa merasakan tangannya mati rasa akibat hantaman keras itu. Ia menggigit bibir sekali sebelum menghentakkan perisainya dan menjatuhkan tombak yang menancap, untuk kemudian melangkah cepat lagi, diikuti oleh semua anak buahnya yang juga sedang berjuang menghindari atau menangkis serangan jarak jauh dari para Nastes.
Gallius ingin tahu bagaimana kemajuan Kapten Tritos dalam menghadapi barisan utama para kanibal, tapi mustahil baginya untuk melakukan hal itu sekarang. Maka, ia memusatkan perhatian diri untuk secepatnya mencapai para Nastes, tak sabar untuk menghantamkan perisainya pada wajah para jahanam itu.
Keinginannya segera tercapai. Lagi-lagi beruntung tak ada tombak yang mengarah padanya. Itu juga mungkin disebabkan karena tombak-lempar mereka habis untuk dilesatkan pada auksilia di sisi yang lain.
Gal menghantam Nastes yang paling dekat dengan perisai, memastikan bahwa beban tubuhnya juga disalurkan ke depan. Cukup berhasil, membuat kanibal yang baru mau angkat kapak itu terpental ke belakang dengan bunyi tulang patah yang cukup memuaskan.
Gal tak berlama-lama untuk menikmati kemenangan kecil itu, karena ada satu lagi Nastes yang mengambil alih tempat kawannya. Ia mengayun kapaknya yang dengan senang hati ditangkis dengan perisai oleh Gal. Si pemuda melepaskan napas yang entah sejak kapan ditahannya saat pedang pendek merobek perut si barbar yang tanpa perlindungan. Nastes itu roboh dengan jeritan yang seharusnya membuat bulu kuduk meremang, namun saat ini Gal telah terpompa, darah berpacu serta naluri bertahan hidup mengambil alih sehingga ia dapat mengabaikan hal itu.
Gal segera melaju begitu melihat salah satu anak buahnya hampir terkena sabetan kapak di wajah, yang berhasil dihindarinya dengan jarak mungkin hanya sejari. Gal meraung saat lagi-lagi menabrak dengan perisai, tak lupa untuk menambahkan beban tubuhnya pada hantaman tersebut. Ia menusuk leher si Nastes yang roboh, dan dengan begitu langsung mencabut nyawanya. Gal meluruskan diri sambil mengawasi salah satu Nastes tinggi-besar yang berkoar menantang angkat senjata ke arahnya.
Gal mengarahkan pula hadapan tubuh pada si besar itu. Menanti dengan sabar, perisai menutupi bagian depan badan serta pedang pendek siap hujam: cara berpendirian standar dari seorang legiun Romana yang sejati.
Hari ini Gal tahu bahwa ia bisa setara dengan Tritos asalkan mau berusaha. Jalannya masih panjang, walau Gal sudah bisa melihat ayahnya tersenyum bangga dari kejauhan.
--
Bocah tolol. Tritos membatin berang. Ia menyalurkan emosinya pada Nastes terdekat yang masih cukup berani untuk menghadapinya. Kanibal itu mati dengan usus terburai serta jantung hampir pecah.
Tritos mengerling bukit yang kini kosong, dengan mata tuanya ia masih bisa melihat tumpukan-tumpukan buram yang ia tafsir sebagai kantong anak panah serta busur yang ditinggalkan begitu saja. Padahal, Tritos sudah menekankan berulang-ulang pada si bocah tolol untuk tetap di sana dan hanya harus bergerak saat para kanibal mulai mundur.
Tapi, rupanya dia punya ide lain.
Sekali lagi, bocah itu benar-benar bodoh. Ia hanya bersama lima puluh orang. Begitu para Nastes ini cukup sadar bahwa ada mangsa empuk dalam jangkauan mereka, maka riwayat si bocah akan habis sudah. Tritos sambil lalu melakukan sapuan bersih ke salah satu leher Nastes, yang menurutnya merupakan sebuah kesalahan sekarang karena darah muncrat mengenai wajahnya, mengganggu penglihatannya yang sudah tak sebaik dulu.
Tritos mendengus sambil mengusap wajahnya yang kotor, bau amis yng kuat menyeruak di hidungnya.
Sekarang, ia juga harus menyelamatkan pemuda itu beserta seluruh bawahannya yang rupanya juga ikut-ikutan tolol untuk mengekor padanya.
Tritos mengedar pandang sejenak. Tak masalah Tritos melakukan hal itu, karena para Nastes sudah melihatnya beraksi. Sepertinya, mereka menganggap bahwa sekian waktu Tritos tak bergerak adalah saat yang menguntungkan, karena ia tak membunuh orang saat sedang diam. Bahkan, para Nastes kini hati-hati dan ambil jarak dari jangkauan senjata Tritos.
Si veteran tua mengerling barisan tengah Nastes yang sedang sengit-sengitnya digempur oleh anak buahnya. Ia bisa terus menekan bagian itu sebelum si bocah yang cari mampus benar-benar mampus. Ia sudah menanamkan pengetahuan ke kepala bocah itu, mengajarinya macam-macam sehingga akan sayang sekali untuk melihat otaknya yang cemerlang hancur serta hanyut di aliran Hekate.
Tritos sudah ambil keputusan. Ia melangkah menuju barisan tengah musuh, di tengah jalan menghabisi dua orang yang menghalangi sebelum turun sekali lagi dalam gelanggang barisan depan.
--
Adis sudah pernah melewati banyak pertempuran. Faktanya, ia ikut bertempur dalam apa yang orang se-negerinya sebut sebagai Perang Anasir, perang penaklukan Gaedrin.