Tritos mendengar sebuah suara janggal dari bagian kanan barisan auksilia.
Bunyi berdebum dan memekakkan telinga itu membuat bulu kuduknya berdiri. Ia mengingat-ingat suara apa itu, sebelum mencapai konklusi bahwa suara tersebut mestinya berasal dari adu sihir. Ia ingat Mistar, rekannya terdahulu pernah melakukan hal yang sama dengan seorang Pendeta Romana dalam salah satu aksi di pertempuran Markae. Langit menggeletar oleh nyala berbagai rupa, beberapa harus tutup mata dan telinga kala kesilauan dan gelegar geledek dimainkan oleh penyihir.
Ia tak tahu siapa yang melakukan hal itu, mengingat dalam auksilia ini tak ada satupun yang memiliki kemampuan sihir. Ia harus memeriksa untuk melihat apakah musuh memiliki penyihir yang cukup hebat sehingga dapat mengacaukan semua.
Tapi, merelakan barisan tengah tempat ia mati-matian menembus rekatnya pertahanan jelas membuatnya merugi. Lagipula, tujuan awalnya adalah segera mencapai Gallius dan menendang bokong mudanya yang terlalu ambisius. Maka, ia menguatkan diri untuk mengusir rasa penasarannya.
Kesadaran Tritos kembali kala gerakan berpedangnya yang tanpa cela berkat tuntunan naluri kandas di tengah jalan. Rasa sakit, sebuah goresan tercipta di lengannya. Cukup besar dan hujam rasanya sampai ke ujung kepala, membuatnya kehilangan akal sedetak jantung sebelum ia memindahkan pedang secepat kilat ke tangan kirinya yang sehat, dilanjutkan dengan membalas serangan. Lawannya berkelit dengan mudah, kemudian mundur empat langkah untuk mengambil jarak.
Tritos mengawasi lawan barunya ini sejenak, sebisa mungkin mengabaikan denyut sakit kucuran darah di lengan kanannya. Ia tinggi-besar, lebih tinggi sekepala dari orang-orang Nastes biasa. Ia tidak mengenakan pakaian ataupun zirah. Pelindung tubuhnya hanya celana kulit kusam, ditambah dengan balut guratan-guratan mantra dan jejampi di badannya yang ditulis dalam bahasa yang Tritos tidak mengerti.
Kapak yang dipegangnya terbuat dari baja, berbeda dengan kebanyakan Nastes yang masih menggunakan batu obsidian. Kapak itu mengeluarkan denging janggal yang bahkan dapat terdengar di antara kemelut teriakan, jerit, serta denting besi beradu. Jelas bahwa itu bukan senjata biasa.
Dapat ditebak bahwa lawannya kali ini adalah seorang Kepala Suku. Nastes selalu menghargai kekuatan seseorang dalam bertarung, dan menempatkan mereka-mereka yang piawai berkelahi sebagai pemimpin. Kepemimpinan berdasarkan kekuatan.
Cepat atau lambat ia akan menemui lawan yang dapat mengimbanginya. Si Kepala Suku menyeringai garang sembari sedikit merundukkan badan, seperti beruang siap terkam.
Berbeda dengan Tritos yang sudah lama bertarung hingga berlumuran darah dan keringat di mana-mana, ia nampak segar. Tak diragukan lagi memang ia menunggu Tritos kelelahan sebelum memutuskan sudah saatnya untuk menghabisi. Si Nastes besar merangsek maju, dan tangkisan Tritos yang tergesa menunjukkan bahwa si Nastes jauh lebih cepat. Lengan kiri Tritos yang sekarang memegang pedang pun tergetar hebat saat kedua besi tempaan itu beradu.
Alih-alih memaksa bertempur yang pasti akan membuatnya luka hebat atau malah mati, Tritos memilih bergerak mundur, segera setelah melakukan tangkisan kedua dan memilah pijakan agar jangan sampai terpeleset batu-batu licin di dasar Hekate. Si Kepala Suku mengejar, sementara dalam hati Tritos menghitung jarak sembari satu-dua kali melempar pandang ke belakangnya.
Tritos tahu ia akan kalah jika terus memaksa bertarung. Tenaganya sudah terkuras, maka ia memilih sebuah cara yang tak akan membuatnya bangga, tapi setidaknya ia akan tetap hidup.
Tritos mengira-ngira jarak lagi.
Tritos cepat merogoh pin Romana-nya, meniup tiga kali, menimbulkan bunyi nyaring dengan tiga kali jeda. Si Kepala Suku sudah memotong jarak dengan kecepatan yang mengejutkan selama Tritos sibuk meniup. Ia segera mengayunkan kapaknya menyamping, disertai dengan denging yang terus terngiang-ngiang di telinga seperti sebuah jerit minta tolong. Tritos menghindar dengan cara merundukkan badan rendah sekali, sekejap terlihat seperti berjongkok.
Kapak itu tak menemukan sasarannya.
Si Kepala Suku belum sempat membenarkan pegangan kapak tatkala hujan kerikil dan batuan kecil menghantamnya dari berbagai sisi. Tritos tertawa keras melihat si Kepala Suku harus berhadapan dengan kekuatan penuh anak buahnya yang memegang ketapel. Ya, berkat tiupan pin Romananya yang menjadi perintah bagi para auksilia jarak jauhnya untuk menyerang musuh. Tritos melesatkan pedang begitu melihat si Kepala Suku masih berupaya melindungi diri dari hujan kerikil, mengincar kakinya, dan mendapat hasil yang gemilang.
--