Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #12

11. Excusor

Tritos langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk cepat bergerak, untuk secepatnya kembali ke wilayah dalam dari Gaedrin setelah para pengejar kembali.

Segera, setelah Tritos memerintahkan mereka yang larinya paling cepat untuk memanggil para pengejar yang siap menjagal Nastes pelarian. Ia mendesak dan tidak mengindahkan kata-kata anak buahnya, tidak menerima satu alasan pun, bahkan sama sekali tidak peduli pada mereka yang mengatakan bahwa saudaranya meninggal dan ia ingin menguburkan mayatnya.

Tritos langsung menghajarnya dengan pukulan tatkala ia masih bersikeras.

Tritos berhasil melukainya dengan cukup parah, sebelum sang kapten dipegangi, itupun dengan susah-payah oleh empat orang. Si auksilia akhirnya mengalah, dengan berat hati setuju pada pilihan untuk membakar semua mayat auksilia yang gugur. Adis-lah yang menyarankan hal itu, segera setelah si Ahli Pasok menghitung-hitung persediaan minyak yang dibawanya.

Sebenarnya tak baik bagi anak buah untuk melihat bahwa kapten yang memimpin mereka meraih kemenangan jugalah yang memukul seorang auksilia sampai kelopak matanya bengkak sebelah, tapi mereka tak tahu Monoria itu seperti apa. Hanya mereka yang berdarah Gaedrin saja yang cukup tahu, sementara kebanyakan kulit-pucat menganggap itu hanya gertak sambal dari para kanibal.

Meski begitu, mereka tak mengutarakan keengganan untuk mundur keras-keras, tak lain karena wajah Tritos nampak sama sekali jauh dari tampang yang bisa mentolerir pembangkangan untuk saat ini.

Prosesi kremasi ratusan Nastes beserta seratus empat puluh auksilia yang gugur berlangsung lambat. Api besar yang mereka nyalakan menghasilkan asap membubung ke angkasa, beserta bau daging terbakar yang menyengat. Sore yang mulai turun pun berwarna merah, menandai langit ikut berduka melihat darah lagi-lagi tertumpah berkat anak-anaknya yang berkonflik lagi dan lagi.

Tritos mengawasi mereka yang melakukan prosesi duka selagi ia berada di atas bukit, bersama Adis dan Gallius, beserta seorang kanibal yang menggantungkan diri pada belas kasihan Tritos untuk bertahan hidup.

Tritos berpaling pada si kanibal yang kini terikat kencang, wajahnya lebam bekas pukulan hasil karya Tritos. “Jadi kau ini pewaris dari sang Kepala Suku sehingga mereka tak mau bahaya menimpamu?”

“Y-ya,” ujar si Nastes putus-putus. Tritos memang bisa melihat kesamaan penampilannya dengan si kepala suku, badan tegap lagi kekar itu, menjulang di atas para Nastes yang lain. Rupanya Nastes punya sentimen khusus terhadap pewarisnya, sehingga banyak yang memilih untuk menyerah dan mendampingi si anak kepala suku ketimbang melihat pengganti pemimpin mereka yang Tritos habisi ikut menyusulnya ke dunia bawah.

Mengherankan, bagaimana ia bisa maju ke garis depan dan berhadapan dengan Tritos, atau mungkin karena kemelut pertarungan terlalu membingungkan sehingga ia secara tak sengaja bertemu dengannya. “Dan kalian bergerak ke Gaedrin untuk menghindari para telinga-lancip?”

“Telinga—?”

“Monoria.” Tritos melambaikan lengannya tak jelas.

“Ya,” si Nastes menjawab lagi sembari terbatuk, kemudian meludahkan darah yang menggumpal di sudut bibirnya.

“Kalau begitu di mana anak-anak, beserta sisa perempuan dari sukumu?”

Si kanibal terbatuk lagi. matanya nanar kala menjawab, “tertawan.”

“Omong kosong,” sergah Gallius, “mana mungkin ada yang meninggalkan keluarga mereka untuk kabur—”

“Kau diamlah!” Tritos menyalak. Amarah yang dipendamnya akibat kelakuan pemuda Romana itu tersulut. “Kau tak tahu apa-apa tentang mereka. Apa yang kusebut perempuan dari suku mereka adalah wanita entah dari Gaedrin atau Sirnok yang mereka culik dan … ubah menjadi tak lebih dari budak seks, dan tidak mereka anggap penting sama sekali. Jadi. Tutup. Mulutmu. Sekarang.”

Gallius langsung diam. Rahangnya terkatup erat dalam upaya keras untuk menahan makian yang pasti akan dilontarkannya. Tritos tahu apa yang ada dipikirannya. Meski Romana melakukan perbudakan, mereka tak akan lakukan hal yang sangat rendah seperti itu.

Lihat selengkapnya