Ying mengawasi bayang-bayang terakhir dari seorang auksilia yang lenyap ditelan kelamnya hutan. Menuju ke rumah-rumah para Nastes. Seperti menggoda Hakim Neraka sendiri untuk bermain-main dengan nyawa, alih-alih menjaga baik-baik jiwa yang sudah dititipkan oleh Kahyangan pada raga ini.
Wei ada di tengah-tengah mereka, ikatan sihir yang ia buat dengan lelaki ahli petir itu menjamin semuanya. Tapi tetap, canggung rasanya jika kehadiran Wei yang selama ini sudah dianggapnya sebagai sebuah kewajaran mendadak pergi jauh. Mereka sudah bersama sekian lama.
“Kau tak apa-apa, ‘kan?” Adis bertanya pada Ying, dahinya berkerut. "Aku tak tahu apa-apa tentang sihir, tapi sepertinya mempertahankan hubungan gaib seperti itu melelahkan.” Adis mengerlingnya sekali lagi untuk memastikan, “ini mungkin hanya perasaanku, tapi kau nampak … letih.”
“Aku baik-baik saja,” ujar Ying setelah mengatur napas untuk menenangkan diri. Ia jarang berkenan untuk mengobrol dengan orang lain, pun penguasaannya dalam berbahasa Premon masih belum lancar. Namun, Adis bisa dimasukkan dalam pengecualian, mengingat ia orang yang cukup dikenalnya selaku Ahli Pasok yang sering dijumpai. Ying enggan untuk melukai perasaan orang kecuali mereka memang pantas menerima hal itu.
“Aku hanya cemas akan keadaannya. Wei sudah seperti kakakku sendiri. Kami saling menjaga satu sama lain sejak insiden busuk di Roma. Kalau desas-desus tentang Monoria benar adanya, dan ia kali ini sedang menyusul bahaya ….” Ying menelan ludah, kata-katanya terhenti di ujung lidah.
“Meski aku jelas tak akan pernah memahami apa yang kau tanggung saat ini, aku tetap mengharapkan kau berpikiran positif, Ying.” Adis berkata tanpa memandanginya. “Aku yakin bahwa Kapten Tritos tak akan pernah mengirim orang kecuali ia yakin bahwa mereka setidaknya memiliki kesempatan untuk bertahan hidup, seberapapun kecilnya kemungkinan itu.”
Ying melirik perempuan berambut cepak itu, berusaha untuk mencari-cari kebohongan dalam mata abu-abunya, namun ia tak menemukan apapun. Satu lagi bukti bahwa Adis tak pernah berpura-pura. Ia benar-benar percaya pada Kapten Tritos dengan sepenuh hati.
Ying sendiri tak yakin. Tapi, mengutarakan hal itu pada Adis tak akan merubah apapun. Maka ia akhirnya berucap, “Ya, baiklah. Lagipula Wei sendiri yang menyatakan persetujuannya, jadi aku tak berhak untuk mengubah keinginannya. Terima kasih telah mencemaskanku, Adis.”
Ying mengangguk sekali untuk pamit, ingin pergi dan berniat membenamkan diri dalam kesunyian di sisi gelap hutan sebelum Adis mencengkeram lengannya. “Hei, hei, maafkan ketidaksopananku, tapi sendirian untukmu tak akan baik setelah semua ini.” Senyum Adis yang ramah membayang, meski Ying tahu kepedihan masih dirasakannya, bukan kepedihannya sendiri namun merasakan kepedihan orang lain.
“Walau kau tak bisa melihat Wei, setidaknya kau bisa memantau keadaannya dengan sihirmu itu. Jauh lebih baik daripada tidak tahu sama sekali. Sekarang, kita rayakan kemenangan dengan minum saja, bagaimana?” Adis mengeluarkan kantung minumnya. Ying sangat curiga bahwa isi dari kantung dari kulit kambing itu lebih dari sekedar air, terutama setelah Adis segera mengedar pandang untuk mengetahui apakah ada yang mengawasinya atau tidak.
Ying mengangkat tangannya, tak habis pikir. “Bukannya Kapten melarang kita untuk minum saat sedang bertugas?”
Adis berdecak. Ia menggaruk kepalanya sebentar sebelum menjentikkan jari, mengagetkan Ying. “Memang! Tapi kita tidak sedang melakukan kontak senjata sekarang. Aku ingat kapten membuat pengecualian tentang itu. Eh, kalau pun ia tahu, aku yakin Kapten Tritos akan maklum.” Adis dengan rasa was-was yang dibuat-buat mengawasi Tritos, yang kini sedang mengobrol dengan seorang auksilia mengenai penempatan Nastes yang ditawan, apakah harus di tengah barisan atau di bagian depan kala mereka nanti berangkat.
Ying tersenyum sedikit melihat ekspresi Adis yang dibuat-buat. ia tahu Adis melakukan hal itu untuk menghindarkan sejenak pikirannya dari misi yang diberikan Tritos pada Wei. Ying menghargai kepeduliannya. Benar-benar menghargainya. Maka dari itu ia menerima kantung itu yang diangsurkan itu untuk meneguk isinya berkali-kali.
“Wow, oke, tenang,” Adis yang takjub menerima kantungnya kembali, yang kini isinya tinggal setengah. “Aku tak tahu orang Timur Jauh suka minum juga. Orang Romana menyebut kami Gaedrin minum seperti seekor kuda pacu, tak tahu kalau di seberang laut sana ada kaum yang sama.”
“Bangsa manapun akan senang untuk meneguk berkah dari Kahyangan. Kami diijinkan minum sejak umur dua belas musim panas.”
“Beruntung sekali kalian,” Adis memutar mata, kemudian menenggak minumannya. Ia mengusap bibirnya dengan balik telapak tangan sebelum melanjutkan. “Aku baru merasakan minuman pertamaku saat umur enam belas, itupun ketahuan ayahku akibat bau yang menempel ke pakaian. Aku dihajarnya sampai buang air besar bercampur darah selama tiga hari.”
Adis menyerahkan kantung itu lagi pada Ying, lantas tertawa melihat air mukanya. Ying terdiam sejenak sebelum mengerjap, baru sadar bahwa dia dibodohi saat Adis tertawa lebih keras. Ying membalasnya dengan senyuman.
Setidaknya sekarang Ying tahu bahwa ia bisa memanggil seseorang dengan sebutan "teman" dalam kelompok prajurit ini. Ia baru meneguk lagi kala Tritos meniup-niup pin Romananya, sekali lagi mengeluarkan bunyi nyaring yang menggema.