Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #14

13. Fel

Quintilia mengawasi kumpulan kemah legiun kedua belas sementara rencana tersusun dikepalanya.

Ia kini berada di sebuah penginapan paling mewah yang bisa ditemukannya, meski tentu saja menganggap penginapan di Gaedrin dengan sebutan mewah rasa-rasanya memang terlalu berlebihan jika dibandingkan pengalamannya selama berada di lingkar dalam Romana. Ia berada di lantai atas, ruangan paling bagus. Quin baru akan rela tidur di kasur jerami jika pilihannya antara kasur buruk penuh serangga biang gatal itu atau kedinginan di luar.

Quin sebenarnya ingin membuntuti Jenderal Atre ke Sirnok, untuk mempelajari kehendak-kehendaknya yang masih belum dapat sepenuhnya ditafsir olehnya. Ia rasai pikiran pak tua itu sulit diprediksi, rasanya seperti sedang menelusuri sebuah labirin yang misterius dengan belokan yang tak dapat diduga.

Quin tahu bahwa pak tua itu memberikan kesan bahwa ia merupakan orang yang setia, bahkan sang Jendral Tinggi pun percaya padanya, seperti yang sudah disebutkannya berkali-kali dalam korespondensinya dengan Quin.

Namun, tidak semudah itu meyakinkan Si Pisau Berbunga. Memang akan sangat seru melihat ia memberontak suatu saat nanti, terutama melihat wajah orang-orang tua nan kolot Romana terkejut setengah mati saat melihat bahwa mereka dikalahkan dalam permainan tipu muslihat. Tapi, belakangan Quin merasa kalau dia harus jadi yang pertama tahu rencana-rencananya sehingga bisa melakukan langkah antisipasi. Jadi pahlawan yang membunuh bibit pemberontakan sebelum ditanam itu ada untungnya tersendiri.

Quin belum memastikan apa yang sebenarnya Atrebates inginkan, makanya ia ingin mengawasi Sang Jendral lebih jauh lagi. Tapi, rupanya Jendral Tinggi punya rencana baru untuk Quin.

Beberapa hari lalu, Quin menarik surat perintahnya dari kaki seekor merpati putih. Oleh karena perintah itulah ia tetap tinggal di sini untuk sementara, alih-alih melakukan pengawasan pada Atre di Sirnok.

Quin masih mengawasi tenda-tenda, sembari sesekali menikmati pemandangan asap dari unggun yang mulai dinyalakan, hari sudah menjelang petang.

Sejak ia mengamati, tak ada yang cukup menarik kecuali adanya pasukan berkuda yang berangkat saat siang masih hadir di dunia. Dengan jumlah yang cukup besar pula, lengkap dengan bendera dan segala tanda kebesaran sehingga mungkin saja Jenderal Ates ada diantara mereka. Sepertinya ia sudah tak sabar untuk menemui kawannya sehingga pergi menjemput.

Lamunan Quin buyar tatkala seseorang mengetuk pintunya.

“Masuk,” kata Quin merdu. Pintu terbuka dengan derit pelan, menunjukkan sosok seorang pria berpunggung bungkuk. Kulit coklat gelapnya keriput, sepertinya ia sudah berumur lebih dari enam puluh. Kulit jari-jemarinya seluruhnya menempel pada tulang, sekilas mirip tengkorak dalam temaram cahaya lilin. Tangannya yang aneh itu menggenggam sebuah kotak kecil.

“Pesanan anda, Puan,” bisiknya dengan suara bergetar.

“Bagus, Joai. Sekarang bawa ke sini supaya aku bisa lihat.”

Si pria tua menggumamkan sesuatu tentang kaki dan kepegalan diri. Meski begitu ia tetap melangkah, pelan-pelan meninggalkan pintu yang masih terbuka. Ia lebih mirip laba-laba yang sedang bergerak mencari mangsa daripada seorang manusia tua. Ia mengangsurkan kotak itu pada Quin yang kali ini memandang keluar ruangan sekali lagi.

Quin berpaling padanya, kemudian memasang senyum manis.

“apa kau begitu malas hingga tak mau membukakan kotaknya untukku?”

Pak tua itu mendengus. Ia mengaitkan jari kurusnya pada katup kotak, dengan hati-hati membuka untuk memperlihatkan kantung kulit domba berukuran kecil. Quin mengambil kantung itu dengan ujung jarinya seolah-olah tak mau mengotori tangannya, kemudian memasukkan benda itu ke saku tunik.

Quin mengangkat alis. Si tua tak kunjung pergi, dan masih berani untuk berada dihadapannya. Bau badannya mulai membuat Quin muak dan ia yakin bau ini akan menempel lama kalau ia tidak cari angin nanti.

Pria itu pura-pura terbatuk begitu tahu bahwa Quin tak berencana untuk melayaninya dalam pertukaran kata lebih jauh lagi.

“Bayaran.” ia mengucap pendek saja.

Tanpa diduga Quin tertawa. Pelan, merdu, beracun.

“Kau meminta emas padaku?” Quin bertanya tak percaya sembari menutupi mulutnya yang tertawa dengan balik telapak tangan. “Astaga, astaga, astaga. Setelah ini aku akan pergi ke perkemahan legiun, Joai Tua. Aku tak laporkan seluruh tindak kriminalmu pada mereka saja sudah cukup sebagai bayaran untuk barang remeh ini.”

“Anak buahku menunggu di bawah,” Joai berucap percaya diri. Ia mencoba menegakkan badan supaya kelihatan lebih mengancam, namun gagal karena penyakit punggungnya tak mengijinkannya untuk tegak. “Dengan segala hormat, Puan Romana yang agung, anda tak akan bisa lolos dari mereka. Jadi aku minta emasku sekarang juga.”

Quin hanya diam saja atas ancaman itu, membuat Joai menjadi lebih berani. Si tua tersenyum memperlihatkan isi mulutnya yang sudah tak ada giginya lagi, merasa yakin bahwa ia telah menang.

“Tak kusangka hari ini adalah hari aku melihat Quintilia yang sangat licik berhasil terpojokkan, dan semua ini dengan tanganku sendiri. Sekarang aku tahu bahwa reputasimu hanyalah omong besar—”

Ia belum selesai bicara kala sebuah anak panah terlontar, melesat cepat dan menancap tepat di dahinya. Ia terdorong oleh hal itu, membuatnya menabrak dinding sebelum akhirnya merosot pelan ke lantai. Wajah pak tua yang malang itu menunjukkan ketidakpercayaan yang amat sangat, matanya melotot seperti mau copot sebelum Quin menendangnya hingga si calon mayat tersungkur. Tak terhindarkan lagi, darah menggenang di kamar terbaik penginapan itu selagi Joai berkelojotan dalam proses akan menjadi seorang mendiang.

“Ada masalah, Puan?” tanya seseorang datar. ia memegang busur, sekantong anak panah menggantung di punggungnya. Wajahnya tak kelihatan, disembunyikan oleh tudung gelap.

Quin menguap sembari menutupi mulutnya sekali lagi mendengar pertanyaan retoris itu. “Lucu melihat bagaimana mereka selalu bermonolog sebelum mampus,” Quin berkata santai. “Oh, ya. Dibawah ada anak buah si Joai ini. Mungkin lima atau enam orang. Semuanya memiliki tato di lengan, bergambar laba-laba berkaki delapan. Pastikan mereka tidak menghalangiku nanti.”

Si jubah gelap menghormat ala legiun kemudian berbalik.

Lihat selengkapnya