Quin menyesap anggur Romana yang diencerkan sembari menatap horison tak berkesudahan pantai di perbatasan Romana-Gaedrin.
Di penginapan mewah tertinggi yang bisa didapatkannya, karena selagi ia telah mencapai tempat kemewahan mengalir mudah, maka ia harus memanfaatkan hal itu semaksimal mungkin. Tidak seperti di Gaedrin yang tiap ia melayang pandang entah mengapa selalu ada sesuatu yang terlihat kusam, baik orang-orangnya ataupun bangunannya.
Meski begitu, Quin tahu bahwa di sini adalah tempat kesenjangan terasa lebih tajam daripada bagian Romana manapun, baik Provinsi maupun bagian inti. Karena kedua bangsa sudah terikat dalam hubungan tuan-bawahan, disinilah pusat perpusaran penduduk kedua negeri. Pusat beda antara "kami" dengan "mereka".
Pusat terjauh tempat para kulit coklat diijinkan leluasa bergerak. Hanya sedikit orang Gaedrin ataupun Sirnok yang diperbolehkan untuk melintas masuk ke kawasan dalam kota-kota agung Romana. Quin bisa lihat lalu-lalang manusia masuk dan keluar dari gerbang, dibawah pengawasan mata siaga para penjaga kota. Legiun tidak kelihatan, mereka mendapat tugas jaga malam sesuai dengan jadwal yang selalu diubah mendadak agar tak tertebak para calon musuh.
Bukit Masketas—sekarang terlihat di sudut mata Quin samar-samar— merupakan tembok alami yang memisahkan Gaedrin serta Romana. Pasukan dari kedua negeri dahulu kala harus mengorbankan banyak orang hanya untuk mengambil tempat itu. Setelah memukul mundur orang-orang Gaedrin dari sana, para insinyur terbaik Romana segera ditugaskan untuk mendirikan benteng di tempat yang sama. Lima puluh tahun kemudian hasilnya nampak, kekuasaan mereka bisa dibilang hampir absolut di bukit dan sekitarnya, termasuk kota dan beberapa desa dan tak pernah sekalipun ada pasukan yang mampu menembus dinding-dindingnya yang kokoh, bagaikan karang yang tak bosan dihempas gelombang, dan tetap mampu bertahan.
Duduk di kursi yang nampak rapuh serta meja mewah, Quin nampak seperti seorang bangsawan. Tentu saja anggapannya akan begitu, andaikata kulitnya tidak coklat, andaikata bola matanya biru, bukan abu-abu.
Quin tahu dari dulu bahwa warna kulitnyalah yang menghambatnya untuk meraih kesuksesan. Semua orang memandang rendah hanya karena warna kulitnya berbeda tanpa mengindahkan kualitas hasil-hasil pikirannya, Quin sangat membenci hal itu.
Ia mengedar pandang sekali lagi.
Pemandangan masih luar biasa, terutama jika ia menatap ke timur. Dengan ratusan perahu kecil yang merapat serta satu-dua kapal pedagang besar, pelabuhan yang sangat ramai. Menjajakan segala macam mulai dari buah-buahan, sutra, kulit kayu manis, wewangian, pewarna kain, dan tentu saja, budak. Matahari nampak sangat berkuasa di langit. Tanda-tanda bahwa musim dingin akan datang tak terasa untuk saat ini, seolah semua masih sama seperti musim panas belaka. Panasnya menyengat ujung kepala, membuatnya terkantuk-kantuk.
“Menikmati pemandangan, Puan?”
“Suatu hari nanti,” Quin menoleh cepat sembari bicara dengan gigi mengertak, “aku akan tahu kau mengendap-endap disekitarku sehingga kau tak akan mengagetkanku.”
“Tapi hari itu bukanlah hari ini,” jawab si tudung gelap sembari tersenyum. Ia masih mengenakan pakaiannya yang tak sesuai dengan cuaca. Quin bertanya-tanya apakah dengan berbalut jubah gelap serta tudung seperti itu ia tidak merasa gerah, padahal dirinya sendiri yang mengenakan pakaian cerah saja masih merasakan kegerahan.
Quin sudah menaruh kecurigaan jangan-jangan ia tak punya baju ganti. Entah kemana larinya semua emas-emas yang didapat pria itu.
“Tak ada kursi untukmu duduk.”
“Saya merasa cukup nyaman berdiri di sini.”