Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #22

21. Adiuvaret

Tritos mengawasi para penyihir dengan rasa penasarannya yang biasa. Pandangan yang ia lakukan setiap ia bertemu dengan sekelompok orang yang belum pernah dikenalnya. Sorotan mata yang seolah berkata-kata, “tunjukkan padaku kemampuanmu hingga aku merubah persepsiku atas dirimu”.

Mungkin karena itulah, wajah mereka dingin kala memandangnya balik. Sekelompok wanita Nastes itu rata-rata masih muda, tak mungkin jauh dari umur dua puluhan dan sangat elok, meski Tritos tahu ini lebih karena sihir Druidik ketimbang karena perawatan diri seperti laiknya orang Romana. Lamat-lamat Tritos bisa membedakan mereka dari orang Gaedrin dari rambut ikal serta kulit yang lebih gelap daripada orang Gaedrin.

“Dia dikutuk-Monoria,” salah satu mendesis dalam Premon. Beberapa menggumam pelan dalam bahasa Nastes kasar, tak ada satupun yang terdengar ramah.

“Ya,” Tritos menjawab pendek sembari menggaruk dahinya. Tempat seorang Monoria menyentuhnya dengan ujung pedang kayusihir, satu kesempatan saat Tritos sedang lengah. Belakangan ia ketahui bahwa itu pertanda bahwa ia mendapat pengakuan dari mereka, pengakuan bahwa Tritos merupakan salah satu dari sedikit manusia yang tak mereka pandang dengan main-main. Kejadiannya dulu sekali kala jiwa masih muda dan pandangannya belum jauh, saat mendiang gurunya mengajaknya ke utara jauh untuk menggasak Monoria langsung di rumah mereka sendiri. Gurunya lebih hebat daripadanya, tapi usia tua membuatnya harus mengalah pada ratusan legiun yang mengepung Sekolah Perang Vercii.

Kerumunan para penyihir yang berjumlah puluhan orang itu menepi, menunjukkan satu-satunya penyihir tua dan wajahnya menggelambir karena dimakan usia.

“Tentu saja ia Dikutuk-Monoria,” si penyihir tua berucap setelah mengamati Tritos sejenak. “Dia murid sekolah perang. Salah satu yang terbaik, mungkin. Kau Tritos si Pedang Selatan, kalau aku tak salah terka?”

“Benar sekali.” Tritos menjawab, “dan sebenarnya sama sekali tidak bisa disebut terkaan karena kau telah berbincang dengan anak buahku. Tetap, aku perlu berterima kasih pada kalian karena telah menyelamatkannya.”

“Ia sekarat, maka kami membantu,” salah satu menjawab sederhana. Ini ditanggapi dengan gelengan oleh beberapa yang tak setuju dengan pernyataan tersebut. Tritos menebak bahwa mereka harus melalui tahap saling bantah terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan untuk menolong Wei.

"Tak ada lelakimu yang keberatan akan beban baru ini?" tanya Tritos heran.

Satu-dua menyeringai. Si tua berkata, "mereka sudah jadi lebih bijak, Tritos, sejak aku pegang kuasa. Nastes tidak lagi seperti yang dulu. Tidak, setelah aku memastikan bahwa perempuan dipandang seperti kalian orang Gaedrin memandang perempuan kalian."

"Kalian tetap menculik orang."

"Perlu," kata si penyihir menekankan, dan dia tak menambahkan bumbu lain lagi. Sebuah kepastian bahwasanya walau perempuan Nastes tidak diperlakukan seperti dulu, masih banyak hal yang tetap sama, terutama gemarnya mereka menculik manusia untuk dikorbankan di altar-altar dewa mereka yang haus darah.

Lihat selengkapnya