Tritos masih bimbang apakah ia telah mengambil keputusan yang benar.
Ates memberinya tatapan mencemooh saat dia memberikan penjelasan. Tritos tahu, Ates menganggapnya tak lebih dari melarikan diri sebab takut. Tak sulit untuk membayangkan bahwa perjalanannya ini dilakukan hanya karena Monoria kian hari kian dekat saja. Walau ia memiliki alasan, Tritos akui memang susah untuk percaya bahwa ia hanya pergi untuk melaksanakan sesuatu daripada hanya mejadi seorang pengecut yang tak layak menyebut dirinya sendiri sebagai pejuang.
Meski begitu Ates tak bisa mengeluh. Dia mendapat tambahan penyihir untuk dipekerjakan. Si penyihir tua menganggap berada di bawah perintah Ates merupakan hal yang mengganggunya langsung dari sisi personal, maka Ates terpaksa mengganggap ia sebagai rekan alih-alih bawahan yang bisa diperintah sesukanya. Puluhan wanita yang bisa menembakkan bola api dari tangan masing-masing tak bisa dianggap enteng, maka akhirnya Ates merelakan Tritos pergi untuk melabrak jantung Romana.
Tritos sebenarnya berpikir untuk melakukan manuver tipuan, berputar ke daerah dekat Garat kemudian berdiam di situ sampai seluruh Nastes datang dan mau tak mau harus ikut mempertahankan Nautilus, tapi peringatan si penyihir renta esok harinya membuat Tritos berpikir dua kali. Tritos masih saja bertanya-tanya bagaimana si penyihir tua bisa tahu apa yang ingin dilakukannya, tapi waktu semakin mendesak dan celakanya pengetahuannya dalam ilmu sihir memang tak seberapa. Maka ia menyimpan ini sebagai perkara yang harus diselesaikan nanti.
Tritos memilih empat orang sebagai pendampingnya. Wei dan Ying yang menjadi pengawal pribadinya, beserta Adis dan Gal. Adis langsung menyatakan ia harus ikut, maka Tritos tak bisa untuk berkata tidak, meski tahu dalam lubuk hati bahwa peraturan legiun menetapkan ia sebagai Ahli Pasok harus tinggal. Tapi, bantahannya tentang Ahli Pasok legiun yang jauh lebih baik daripada dirinya membuat Tritos langsung tutup mulut, protesnya tak jadi mewujud. Kalau ia mau menghina dirinya sendiri seperti itu, yah, Tritos memang membutuhkan anak buah yang sangat setia sepertinya.
Sementara itu Gal … tak ada yang ingin dilakukannya sekarang kecuali pergi ke Roma dan membantai si Jendral Tinggi. Tritos tak tahu dari mana Gallius mendengar rencana keberangkatannya, tapi sosok si pemuda Romana yang biasanya angkuh kini berlutut dan memohon untuk diijinkan ikut membuat hatinya terenyuh hingga Tritos memberikan ijin.
Beberapa auksilia ingin pergi juga, tapi ia menolak. Bukannya ia tak percaya akan kemampuan mereka, ini lebih karena Tritos merasa bahwa lebih banyak orang lagi akan membuatnya mudah ketahuan. Belum lagi larangan bahwa orang Gaedrin hanya boleh berada di pelabuhan dan sekitarnya jika sudah masuk wilayah inti Romana.
Tritos selesai memasukkan seluruh perbekalan yang sanggup ia bawa. Tritos memondong karung beratnya, melangkah keluar dari ruangan, lantas mengerling tanah lapang di mana para rekrutan baru berlatih di bawah pengawasan legiun. Lamat-lamat Tritos bisa mendengar suara Ates yang berteriak-teriak tentang siapa saja yang menyerang dengan ogah-ogahan akan dijatuhkan ke dalam laut langsung dari dinding Nautilus.
Tritos menghela napas, menjauhi keramaian itu untuk menuruni tangga. Jalan menuju ke gua buatan memang berbatu, tapi semua tertata dengan cukup rapi dan lama-kelamaan polanya mudah ditebak sehingga tak begitu mengganggu pergerakannya. Sayangnya, cahaya tak sampai ke tempat ini sehingga Tritos mencomot satu obor yang tergantung, bertanya-tanya apakah para prajurit yang memasangnya akan berkeluh-kesah atau tidak.
Tritos terus turun, jalan makin melebar. Ia bertemu dengan satu dua legiun, hanya bertukar anggukan sebelum melanjutkan jalan untuk menyelesaikan urusan masing-masing. Sampailah Tritos pada gua buatan yang langsung terhubung ke lautan, tempat perahu-perahu kecil milik pedagang tertambat, suasana cukup sepi, hanya perahu-perahu kecil yang tertambat menyumbangkan suara kala ombak pelan beradu dengan badan mereka.
Batu dan karang yang sebelumnya terjal kala nama Ilmanes masih tersemat telah dihaluskan oleh ahli batu dan kikir terbaik dari Romana. Tritos melangkah dengan tenang, menghampiri unggun yang berada dekat dengannya, bayang-bayang seseorang yang sudah dikenalnya dengan akrab berpaling.
“Kapten.” Ying, satu-satunya yang berdiri mengangguk padanya, Tritos membalasnya dengan anggukan yang sama.
Ada tiga orang di sana, selain Ying. Wei, yang sedang mengukir sebuah kayu dengan pisau, tangannya yang terampil bergerak dengan presisi yang luar biasa. Ia sedang membentuk seekor hewan berkepala panjang yang mereka orang Burazhong panggil dengan nama "Naga", sudah nampak bentuknya walau masih perlu diperhalus lagi. Adis, yang entah kenapa Tritos tak heran ia sedang minum dari kantung minum kulit kambingnya, padahal hari masih terlalu siang untuk mabuk. Gal, yang wajahnya sangat tegang seolah-olah ia akan menemui cambukan sekali lagi walaupun ia duduk dengan posisi bersandar ke dinding yang terkesan santai.
Empat orang kawan yang akan mendampinginya untuk menuju kota Roma.
Tepat setelah duduk di kayu gelondongan yang memang dipergunakan sebagai tempat duduk, Tritos meluruskan kaki untuk mendekat mencari kehangatan dari api yang menyala: gua ini memang dingin adanya. Ia berdeham setelah mengedar pandang, dibalas dengan ekspresi yang beragam.
“Kawan-kawan,” ia berkata, “jadi, disinilah kita.”
“Menunggu perahu yang menjemput,” Ying menyahut, matanya memantulkan nyala api. “sekali lagi saya menuju Roma. Seharusnya saya merasa takut, mengingat terakhir kali saya berada di sana, rantai-rantai masih mengikat kaki dan tangan ini. Tapi sama sekali tak ada perasaan itu. Saya malah merasa ….” Ia kebingungan untuk mengungkapkan kata-kata yang memang tak begitu dikuasainya. Ia berpaling pada Wei, meminta bantuan.
“Tenang,” Wei menjawab tanpa mendongak dari pekerjaan tangannya. “Merasa tenang.”
“Ya.”