Sudah dua bulan Tritos berada di kapal dagang ini.
Kapten kapal orangnya supel dan suka mengobrol, lancar berbahasa Premon pula. Namanya Kaburu. Ia ramah, seramah yang bisa diharapkan oleh Tritos yang jarang bisa menemui orang yang bisa diajak berbincang tentang pembunuhan namun bisa menebar senyum sekalian. Tritos bertanya-tanya mengapa ia malah memilih jadi seorang kapten kapal alih-alih memimpin sekelompok tentara bersenjata di bawah panji-panji Romana. Bayarannya tidak buruk, menilik dari Ates yang selalu punya anggur bagus di tendanya serta kantong uang yang bergemerincing keras.
“Karena ini,” Kaburu menjawab sambil menunjuk kulitnya yang hitam legam. Tak ada seorangpun di benua yang Tritos tinggali memiliki warna kulit sekelam malam. Itu hanya dimiliki oleh mereka yang tinggal di lautan pasir benua Afrii. Tempat di mana savananya menjadi tempat hidup hewan-hewan yang menurut Tritos masih merupakan mitos kalau saja tak ada bukti kulit atau bagian tubuh mereka, seperti singa atau gajah.
"Mereka mungkin masih mampu menerima kalian, orang Gaedrin. Tapi tidak denganku.”
“Mereka memang suka membeda-bedakan orang hanya berdasar warna kulit,” Tritos berkata kasar, membuat Gal yang berada di sebelahnya memutar mata.
Sang kapten kapal hanya menyeringai, menunjukkan deretan gigi putih bersih yang sempurna. Masih sebuah misteri bagaimana Kaburu bisa memiliki gigi sebagus itu sementara para pelaut identik dengan gusi yang rusak dan kehilangan isinya secepat Monoria menggulung pasukan manusia.
Kaburu meluruskan syal bulu biri-birinya, tebalnya tak kira-kira. Bagi orang daratan ini terlihat aneh, walau Tritos sendiri telah merasai bagaimana kejamnya angin laut di waktu malam. “Aku tak mengeluh, Orang Gaedrin. Jauh lebih menyenangkan hidup seperti ini, jual anggur di Burazhong dan jual sutra di Roma daripada terus-menerus mematahkan hidung atau memotong lengan orang. Walau bajak laut dan pajak dagang Romana benar-benar menguras kantong. Sisi baiknya kau tahulah: jauh lebih sedikit rampok di lautan daripada di daratan.”
Tritos tak tahu jawaban atas hal itu. yang jelas ia tahu bahwa permainan senjata orang ini cukup hebat, sehingga ia ragu apakah darat dan laut apa bedanya dalam hal resiko perdagangan, sehingga membuat orang ini merasa perlu untuk melatih ilmu pedang. Tritos juga sudah mengawasi anak-buah Kaburu ini, tak satupun dari mereka yang kelihatan tak bisa bertarung. Ini mungkin hanya spekulasinya saja, tapi sepertinya bisnis yang dijalankan oleh orang ini bukan murni perdagangan semata.
Tritos mengalihkan pandang dari senyum lelaki ramah didepannya itu.
Wei dan Ying selalu membayanginya, selalu berkata tentang "menjalankan tugas" walau Tritos selalu menyuruh mereka untuk santai sedikit. Maksudnya, mereka bahkan bersikeras mendampinginya untuk ke kabin saat ia mau berak. Dedikasi orang Burazhong memang mengagumkan kalau saja mereka tidak menjaga pintu saat ia buang air, membuatnya merasa seperti ditunggui sehingga kotorannya enggan keluar. Maklum, penyakit lama prajurit tua yang biasa bersiaga.
Adis tidak kelihatan. Mungkin ia berusaha untuk tidur dan melupakan mabuk lautnya yang belum sembuh juga. Menggelikan, melihat ia selalu lari ke sisi kapal dan menumpahkan seluruh isi perutnya walaupun sudah lama merasakan sensasi digoyang ke kiri dan kanan oleh arus selama sebulan lebih.
Sang kapten kapal menghirup anggur yang ada dihadapannya sembari mengawasi Tritos.
“Sebenarnya aku sudah lama penasaran, Orang Gaedrin. Ada perlu apa kalian di Roma?” ia mengalihkan pandang pada kedua orang Burazhong yang berada di sisi kanan-dan kiri Tritos, kemudian pada Gallius. Kedua ajudan Tritos meluruskan punggung, sementara Gal nampak acuh tak acuh.
Kapten kapal itu mengusap mulutnya dengan siku baju. “Aku hanya ingin tahu mengapa komposisi kelompok kecilmu ini begitu … unik. Lain daripada yang lain.”
Dua orang Gaedrin, dua Burazhong, dan seorang pemuda dari keluarga bangsawan Romana. Tritos tahu benar mengapa ia mengistilahkan diri mereka dengan sebutan "unik". Tapi, ia memutuskan bahwa memberitahukan yang sebenarnya bakal beresiko besar. Bukan mustahil orang Afrii dihadapannya ini akan menjual informasi tentang adanya mereka ke orang-orang tak bertanggung jawab di Roma, terutama jika diimbangi dengan harga yang pas.
“Urusan legiun,” Tritos berkata tak nyaman, sementara kedua pengawal pribadinya tanpa sadar mendekatkan tangan ke arah senjata. “Suksesi dalam pemerintahan sebentar lagi. Romana akan dipimpin oleh sang Imperator yang baru. Jadi, kami sebagai wakil dari legiun enam belas akan mendapatkan perintah selanjutnya di ibukota.”
SI kapten kapal hanya mengawasinya dengan wajah datar. Tritos tahu ia tak pandai berbohong, tapi ia bahkan tak dapat menebak apakah orang ini tahu hal itu atau tidak.